

WAKIL Ketua MPR RI dari Fraksi PAN Eddy Soeparno mendukung dihapusnya parliamentary threshold alias ambang batas parlemen sebesar 4%. Menururnya, langkah itu akan memenuhi hak masyarakat yang telah memilih, tapi tidak tersalurkan karena partai politik pilihannya gagal lolos ke parlemen.
Berkaca dari Pemilu 2024, Eddy menyoroti sejumlah partai yang gagal tembus ke Senayan seperti PPP dan PSI. Padahal, suara yang diperoleh kedua partai tersebut cukup signifikan. PPP, misalnya, nyaris lolos karena hanya mendapat 3,9% suara.
“Berarti ada masyarakat yang memilih tetapi hak terpilihnya tidak tersalurkan karena partainya tidak masuk, calegnya yang dipilih tidak bisa masuk, sehingga akhirnya hilang suaranya,” kata Eddy lewat keterangan terulis, Jumat (17/1).
Menurut Eddy, ada 16 juta suara pemilih yang hilang karena partai yang dicoblos gagal melewati ambang batas parlemen 4%. Ia berpendapat, jika nantinya ambang batas parlemen dihapus, partai yang hanya memiliki satu atau dua anggota di parlemen harus berunding membentuk fraksi gabungan.
Baginya, wacana penghapusan ambang batas parlemen adalah bentuk keadilan demokrasi karena tidak menghilangkan suara pemilih. Kalaupun dalam diskusi ke depannya tidak dapat dinolkan, ambang batas parlemen diharapkan dapat ditekan serendah-rendahnya.
“Kalaupun tidak bisa nol, ya mungkin bisa serendah-rendahnya saja,” tandasnya.
Pakar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini juga sepakat agar ambang batas parlemen dihapus. Ia meningatkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023 yang mengamanatkan DPR serta pemerintah untuk mengatur ulang besaran ambang batas parlemen.
Menurut Titi, pembentuk undang-undang tak dapat menaikkan ambang batas parlemen jadi di atas 4%. Sebab, semangat putusan MK itu adalah mencegah banyaknya suara yang terbuang. Oleh karena itu, opsi yang mungkin dilakukan adalah menurunkan atau menolkan ambang batas parlemen.
“Inklusifitas politik di DPR adalah sesuatu yang baik bagi praktik demokrasi dan sistem presidensial di Indonesia untuk mencegah tirani mayoritas dan memastikan kontrol parlemen sebagai kekuatan penyeimbang tetap bekerja baik,” pungkasnya. (Tri/P-2)