Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman menilai pemerintah harus merumuskan ulang aturan dan definisi terkait kerugian perekonomian negara dalam Tindak pidana korupsi.
“Ke depan harus dirumuskan ulang mengenai kerugian perekonomian negara, apa yang dimaksud kerugian perekonomian negara, bagaimana cara perhitungannya, siapa yang menghitungnya, dan bagaimana cara untuk membebankan kepada para pelaku,” katanya saat dihubungi, hari ini.
Untuk itu, Zaenur mendorong pemerintah untuk segera merumuskan hal tersebut melalui revisi UU Tipikor. Menurutnya, formulasi dalam Undang-Undang Tipikor saat ini tidak relevan dengan kondisi kejahatan korupsi di Indonesia belakangan ini.
Atas dasar itu, kata Zaenur, perlu untuk mengatur keseragaman pemahaman dalam mengajukan tuntutan dan menjatuhkan putusan agar pidana yang diberikan memberi efek jera.
“Saya paham putusan atas (Harvey Moeis) ini bagi masyarakat terasa menggelikan karena masih sangat kecil, maka harus dirumuskan melalui revisi UU Tipikor,” tukasnya.
Sementara itu, Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) Universitas Mulawarman, Orin Gusta menuturkan bahwa dalam beberapa kasus, hakim kerap menjatuhkan hukuman uang pengganti. Namun, hukuman itu bisa diganti dengan subsider pemenjaraan yang pada akhirnya mengurangi pidana.
“Banyak putusan tipikor saat ini yang memang cenderung rendah ditambah lagi persoalan rumit karena uang pengganti yang digadang-gadang dengan jumlah besar, dan uang pengganti itu bisa subsider dengan kurungan. Ini celah yang biasa dimanfaatkan, belum lagi nanti adanya pengurangan hukuman,” katanya.
Selain itu, Orin menegaskan bahwa banyak kasus Tipikor yang melibatkan para elite dan pihak yang berkuasa. Sehingga sering kali proses hukum mampu diintervensi secara politis.
“Pada kasus tipikor memang vonisnya cenderung dilakukan secara bersama-sama dan oleh mereka yang punya pengaruh, belum lagi jika ada aktor lain yang terlibat di balik suatu kasus,” tandasnya. (Dev/P-2)