IndonesiaDiscover –
TAHUN Baru 2025 segera menjelang. Kita harus mengatakan prestasi yang ditorehkan sepak bola Indonesia sepanjang 2024 sangatlah minim. Kita hanya mencatatkan juara untuk Piala AFF Putri, Piala AFF U-19, Piala AFF Futsal Putra dan Putri, serta juara dunia Esports FIFAe World Cup 2024.
Di ajang penyisihan Piala Dunia 2026 Grup Asia memang ada secercah harapan. Setidaknya kesebelasan ‘Merah Putih’ masih berada di posisi ketiga dari enam pertandingan yang sudah dimainkan. Empat pertandingan tersisa di 2025 nanti akan menentukan apakah tim asuhan Shin Tae-yong masih mampu bertahan dan membuat sejarah besar lolos ke putaran final Piala Dunia di Amerika belahan utara.
Ironis, di tengah mimpi besar tampil di Piala Dunia, fondasi sepak bola Indonesia tidak kunjung dibenahi. Perhatian terhadap sistem pembinaan di dalam negeri tidak seingar-bingar pembentukan tim nasional yang begitu agresif menaturalisasi pemain-pemain mancanegara berdarah Indonesia.
Entah sudah berapa banyak anggaran yang dikeluarkan untuk keperluan menaturalisasi para pemain yang begitu masif dan supercepat. Selama ini tidak pernah ada penjelasan tentang proses naturalisasi kecuali persetujuan dari DPR serta pengambilan sumpah setia di Kedutaan Besar Republik Indonesia.
Padahal penguatan fondasi sistem pembinaan nasional merupakan sesuatu yang vital. Sebab, kita tidak hanya ingin bisa lolos ke putaran final Piala Dunia 2026, tetapi juga prestasi sepak bola yang berkelanjutan.
Pengalaman banyak negara menunjukkan, penguatan sistem pembinaan di dalam negeri merupakan pilar kemajuan sepak bola. Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara Arab bisa melewati prestasi sepak bola Indonesia karena keseriusan membenahi dasar sepak bola mereka.
Mustahil kita memiliki sepak bola yang disegani apabila tidak memiliki pembinaan sepak bola usia dini yang benar dan kompetisi yang sehat. Tidak mungkin kita punya pemain dengan kemampuan teknik yang mumpuni kalau tidak tersedia lapangan sepak bola yang mencukupi, pelatih di berbagai tingkatan usia yang berkualitas, serta pengelolaan klub yang profesional.
Prestasi harus diraih secara berjenjang, tidak bisa tiba-tiba bermimpi tampil di puncak sepak bola dunia. Harus dimulai dari hadirnya klub Indonesia yang bisa berbicara tinggi di tingkat Asia, juga kesebelasan Indonesia yang bisa berjaya mulai dari level Asia Tenggara hingga Asia.
Kita tentu pantas merasa prihatin apabila penyelenggaraan kompetisi Liga 1 yang menjadi puncak pembinaan sepak bola nasional masih morat-marit. Bagaimana dalam laga PSM Makassar melawan Barito Putra bisa salah satu timnya bertanding dengan 12 pemain, contohnya.
Jangankan ada kelebihan pemain, kelebihan satu bola saja pertandingan harus dihentikan. Begitu sering kejanggalan dalam penyelenggaraan kompetisi sepak bola di dalam negeri terjadi dan sepertinya tidak kunjung lebih baik pengelolaan kompetisinya.
Dengan kompetisi yang tidak berjalan sehat, pasti tidak akan didapat pemain-pemain berkualitas. Kegagalan di ajang Piala AFF 2024 merupakan bukti nyata dari sistem pembinaan sepak bola yang belum kunjung membaik.
Di kandang sendiri di Stadion Manahan, Solo, kesebelasan Indonesia tersingkir di tangan Filipina, negara yang lebih dikenal prestasinya di cabang basket daripada sepak bola. Tidak bisa juga kita berdalih Piala AFF bukan target PSSI, karena menjadi janggal kalau kita berbicara level Piala Dunia, sementara di level regional tidak berdaya.
Indonesia sepanjang sejarahnya belum pernah memenangi Piala AFF yang sudah bergulir sejak 1996. Kejuaraan ini diselenggarakan setiap dua tahun sekali sebagai bagian dari upaya negara-negara ASEAN meningkatkan kualitas sepak bola kawasan.
Dari 14 kali penyelenggaraan kejuaraan, tujuh kali Indonesia mampu lolos hingga pertandingan puncak. Namun, kali ini bahkan untuk lolos semifinal pun tim ‘Garuda’ gagal.
Salah satu penyebab kegagalan ialah tindakan blunder kapten kesebelasan Muhammad Ferarri yang sengaja menyikut wajah pemain Filipina Amani Aguinaldo. Padahal sebagai kapten kesebelasan seharusnya ia menjadi teladan bagi pemain lain. Kini di era pemanfaatan video assistance referee, tidak ada tindakan di dalam lapangan yang tidak termonitor oleh wasit.
Naturalisasi pembinaan
Dalam sebuah wawancara televisi saya sempat ditanya, apa yang harus dilakukan PSSI? Saya katakan, kalau sekarang ini kita gencar melakukan naturalisasi pemain dari Belanda, seharusnya kita juga mau ‘menaturalisasi’ pembinaan sepak bola Belanda.
Di Eropa memang Belanda dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem pembinaan sepak bola yang baik. Terutama sekolah-sekolah sepak bola yang ada di ‘Negeri Kincir Angin’ itu mampu melahirkan pemain dengan dasar sepak bola yang benar sehingga kemudian bisa tumbuh menjadi pemain hebat.
Para pemain Belanda berkiprah di semua kompetisi yang ada di Eropa. Bahkan sejak zaman Johan Cruyff dan Johan Neeskens yang menjadi awal kebangkitan sepak bola Belanda, mereka kemudian diincar klub sekelas Barcelona.
Kedekatan sepak bola Indonesia dengan Belanda bukan terjadi saat maraknya naturalisasi sekarang ini saja. Di petengahan 1970-an, PSSI sudah mengikat kerja sama dengan Koninklijke Nederlandse Voetballbond (KNVB). Di antaranya dengan mengirimkan salah satu pelatih terbaik Belanda, Wiel Coerver, ke Indonesia.
Seharusnya kerja sama ini yang dilanjutkan PSSI. Kita meminta KNVB untuk membantu membangun sekolah sepak bola yang berkualitas di Indonesia. KNVB mengirimkan pelatih-pelatih untuk usia dini dengan menjalankan sekolah sepak bola itu sekaligus mendidik pelatih-pelatih Indonesia.
PSSI bisa melakukan itu karena mereka memiliki anggaran sampai Rp665 miliar untuk pembinaan di 2025. Tidak ada organisasi olahraga di Indonesia yang mempunyai anggaran sebesar PSSI. Kalau dengan anggaran seperti itu tidak bisa dihasilkan sistem pembinaan yang lebih berkualitas, sungguh sebuah pemborosan yang luar biasa.
Sangat disayangkan kalau anggaran yang besar itu 60% dialokasikan hanya untuk tim nasional. Bayangkan di tengah keterbatasan anggaran yang dimiliki negara, PSSI memiliki dana lebih dari Rp50 miliar setiap bulannya, tapi itu hanya diperuntukkan bagi tim nasional. Kalau PSSI memiliki konsep pembinaan yang baik, seharusnya tinggal mengeksekusi pembinaan yang lebih berjenjang karena pasti akan lebih bermanfaat.
Pembinaan sepak bola membutuhkan ketekunan dan kemauan yang kuat. Kita harus sabar untuk melahirkan pemain yang hebat dan kesebelasan yang kuat. Jangan karena gagal di ajang Piala AFF 2024, lalu kita mengatakan bahwa pemain lokal tidak bisa diandalkan dan berkesimpulan bahwa naturalisasi langkah yang tepat untuk membangun sepak bola Indonesia.
Naturalisasi pemain yang kita lakukan sekarang seharusnya hanya menjadi katalisator untuk mendorong PSSI mau bekerja lebih giat lagi. PSSI bersungguh-sungguh membangun sistem pembinaan sepak bola yang benar agar bisa lahir anak-anak Indonesia yang sama hebatnya seperti pemain naturalisasi yang dibina dan dibesarkan oleh KNVB.