IndonesiaDiscover –
KENAIKAN tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dinilai berpotensi memperparah kesenjangan ekonomi di Indonesia. Itu karena PPN bersifat regresif dibandingkan Pajak Penghasilan (PPh) dan masyarakat miskin menanggung beban lebih besar ketimbang masyarakat kaya.
“PPN lebih bersifat regresif karena dibayarkan saat pendapatan dibelanjakan untuk barang dan jasa dengan tarif tunggal terlepas berapapun tingkat pendapatan konsumen. Karena itu setiap kenaikan tarif PPN akan berimplikasi pada kesenjangan yang semakin tinggi,” ujar Direktur Next Policy Yusuf Wibisono melalui keterangan pers, Senin (23/12).
Ia menjelaskan dari estimasi pengeluaran rumah tangga pada 2023, dengan tarif PPN 11%, konsumen miskin menanggung beban pajak sebesar 5,56% dari pengeluaran mereka, sedangkan konsumen kelas atas menanggung 6,54%. Beban PPN yang hampir merata ini menunjukkan bahwa kenaikan tarif menjadi 12% akan semakin menekan daya beli kelompok miskin dan menengah.
Simulasi Next Policy menunjukkan bahwa beban PPN terbesar justru ditanggung oleh kelas menengah. Dari estimasi total beban PPN Rp294,2 triliun pada 2023, sekitar 40,8% atau senilai Rp120,2 triliun dibayar oleh kelas menengah, yang hanya mencakup 18,8% dari total jumlah penduduk.
“Kelas menengah yang sudah mengalami tekanan ekonomi besar akan semakin tergerus oleh kebijakan ini,” kata Yusuf.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% juga akan melemahkan ketahanan ekonomi sebagian besar masyarakat yang kondisinya semakin rapuh, bahkan kelas menengah yang memiliki ketahanan ekonomi tinggi.
Pascakenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022 menunjukkan penyusutan jumlah penduduk kelas menengah dari 56,2 juta orang (20,68%) pada Maret 2021 menjadi 52,1 juta orang (18,83%) pada Maret 2023.
“Penduduk kelas menengah ini jatuh ke kelas ekonomi yang lebih rendah dengan ketahanan ekonomi yang semakin lemah,” ungkap Yusuf.
Sementara itu, penduduk calon kelas menengah melonjak dari 139,2 juta orang (51,27%) pada Maret 2021 menjadi 147,8 juta orang (53,41%) pada Maret 2023.
Dampak negatif kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 dipastikan akan semakin menekan daya beli masyarakat yang terlihat semakin melemah, terutama kelas menengah dan kelas bawah. Kejatuhan daya beli masyarakat telah melemahkan pertumbuhan ekonomi dalam tahun-tahun terakhir, terutama pasca kenaikan tarif PPN menjadi 11% pada 2022.
“Setelah tumbuh 5,31% pada 2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia melemah menjadi 5,05% pada 2023. Bahkan, dengan adanya dorongan pemilu pada 2024, pertumbuhan diperkirakan tetap stagnan di kisaran 5%,” ujar Yusuf.
Selain itu, Yusuf mengingatkan kenaikan tarif PPN akan mendorong inflasi yang tidak akan ringan. “PPN berlaku secara masif pada mayoritas barang dan jasa, sehingga kenaikan tarif ini akan memberikan tekanan psikologis pada harga barang secara umum,” kata dia.
Bahkan barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan dan listrik pelanggan rumah tangga, yang selama ini dibebaskan PPN, kini akan terkena PPN 12% ketika dipandang pemerintah tergolong mewah.
“Tekanan kenaikan tarif PPN pada tergerusnya daya beli masyarakat karena banyaknya barang dan jasa yang secara resmi bukan kebutuhan pokok namun secara empiris telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan terkena kenaikan tarif PPN ini seperti pakaian, sabun, pulsa internet, hingga layanan transaksi dengan uang elektronik,” kata Yusuf.
Pemerintah berencana meluncurkan paket stimulus untuk kesejahteraan sebagai kompensasi, termasuk bantuan beras selama dua bulan untuk 16 juta keluarga, diskon tarif listrik 50% untuk pelanggan dengan daya hingga 2200 VA selama dua bulan, dan perpanjangan PPh final 0,5% untuk UMKM hingga 2025.
“Namun kompensasi yang terbatas dan jangka pendek seperti demikian, tentu tidak akan sepadan dan memadai untuk mengkompensasi kenaikan tarif PPN yang bersifat permanen,” beber Yusuf.
Ia juga menyoroti pemberian insentif kepada kelas atas, seperti insentif PPN senilai Rp15,7 triliun untuk pembelian kendaraan listrik dan pembelian rumah hingga Rp5 miliar, yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip keadilan pajak.
“Kompensasi yang diberikan pemerintah tidak cukup untuk menutupi tekanan ekonomi yang akan dirasakan masyarakat akibat kenaikan tarif PPN ini. Bahkan, kebijakan insentif untuk kelas atas justru menunjukkan ketimpangan dalam prioritas kebijakan pemerintah,” pungkas Yusuf. (H-2)