IndonesiaDiscover –
DIREKTUR Center for Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri mengusulkan Kejaksaan Agung (Kejagung) berkolaborasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyita dana judi online (judol) yang mengalir lewat sistem pembayaran nasional yang diselenggarakan perbankan atau lembaga keuangan non-bank.
“Itu pernah kita lakukan saat krisis moneter 1998. Banyak bank mendapat guyuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dalam implementasinya bank disalahgunakan. Namun untuk menyelamatkan uang negara, penyelesaiannya di luar pengadilan,” papar Deni Daruri dalam keterangannya, Jumat (20/12).
Sehingga, kata dia, penyelesaian dana BLBI pada tahun tersebut, menjadi lebih cepat dan negara bisa melanjutkan kegiatan perekonomian yang lebih baik.
“Maka untuk mempercepat penyelesaian duit judol, sebaiknya BPK bekerja sama dengan Kejagung. Sita pendapatan judol di lembaga pembayaran di luar pengadilan, karena bank yang dulu menikmati BLBI dan rekapitalisasi uang rakyat sekarang juga menikmati judi online karena bank tersebut menjadi agregator sistem pembayaran,” tegasnya.
Lewat tindakan penyitaan duit-duit judi online itu, kata Deni, BPK bersama Kejagung akan memberikan efek jera kepada lembaga keuangan yang layanan transaksinya terkait dengan merchant judol.
“Lembaga sistem pembayaran, baik itu perbankan, e-wallet, operator seluler yang memfasilitasi judi online secara sengaja maupun tidak sengaja, mendapat ancaman pidana penjara hingga 6 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar berdasarkan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) pasal 27 ayat (2), dan pasal 45 Ayat (2),” kata Deni mengingatkan.
Selain itu, lanjutnya, Pasal 303 KUHP juga mengatur hukuman hingga 10 tahun penjara, atau denda Rp25 juta bagi pelaku perjudian.
Bank juga dapat kehilangan dana hasil judi online yang dianggap sebagai hak pemerintah dan pendapatan dari aktivitas ilegal ini akan disita.
“Sanksi ini menegaskan bahwa keterlibatan dalam judol tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga membawa risiko serius bagi reputasi dan operasional bank,” ungkapnya.
Ia menambahkan, berdasarkan data intelijen dari Kemenko Politik dan Keamanan, jumlah warga yang bermain judi online sepanjang 2024 mencapai 8,8 juta orang. Sebanyak 80% adalah masyarakat kelas menengah ke bawah.
“Jadi judi online merupakan wabah yang sangat serius yang telah menyebabkan risiko sistemik di sistem pembayaran. Selain itu, memengaruhi kehidupan masyarakat, baik secara sosial ekonomi, kesehatan, dan mental,” imbuhnya. (E-2)