IndonesiaDiscover –
SEJUMLAH pihak mendorong masuknya indikator implementasi Kampus Tanpa Rokok dalam akreditasi perguruan tinggi di Indonesia. Hal itu mengemuka dalam diskusi publik yang diselenggarakan Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI), Aliansi Akademisi Komunikasi Komunikasi untuk Pengendalian Tembakau (AAKIPT), dan Puskalit Kesehatan dan Gender LSPR Institute, di Jakarta, Rabu (16/10).
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) telah diatur dalam UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pada pasal 151 ayat (1), terdapat tujuh KTR yang terdiri dari fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja dan tempat umum, serta tempat lain yang ditetapkan.
Dalam hal itu, lingkungan kampus termasuk dalam tempat proses belajar mengajar sehingga KTR dinilai perlu diimplementasikan.
Ketua AAKIPT Eni Maryani menyampaikan bahwa secara legal memasukkan instrumen untuk penegakan KTR di berbagai universitas sangat bisa dilakukan. Pasalnya hal itu sejalan dengan peraturan perundangan yang berlaku.
“Asesor BAN PT/LAM PT perlu menilai penerapan budaya berkualitas, termasuk upaya mematuhi peraturan yang telah diberlakukan pemerintah terkait dengan penilaian akreditasi PT sebagai sebagai salah satu alat penjamin mutu pendidikan tinggi,” kata dia.
Majelis Akreditasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Bambang Suryoatmono mengatakan bahwa instrumen Kampus Tanpa Rokok bisa menjadi salah satu indikator dalam akreditasi perguruan tinggi. Hal itu sejalan dengan perundang-undangan yang ada dalam aturan pendirian PT.
Justru jika tidak dilaksanakan, kata Bambang, bisa dianggap pelanggaran terhadap perundang-undangan seperti dinyatakan dalam pasal 1 Permendikbud 7/ 2020 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran PTN, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin PTS.
“Salah satu pelanggarannya adalah terhadap UU nomer 17/ 2023 tentang Kesehatan, yang di dalamnya mengatur tentang Kawasan Tanpa Rokok di 7 tatanan, antara lain tempat proses belajar mengajar,” katanya.
Ketua Puskalit Kesehatan dan Gender LSPR Institute Lestari Nurhajati menyebut instrumen Kampus Tanpa Rokok harus menjadi salah satu indikator dalam akreditasi perguruan tinggi. Tujuannya untuk meningkatkan lingkungan kampus yang lebih sehat. Selain itu menjadi bentuk dukungan sivitas akademika dalam upaya pengendalian tembakau di Indonesia.
Lebih lanjut ia menegaskan bahwa Kampus Tanpa Rokok juga meliputi kampus tanpa iklan, promosi, sponsor rokok dan bentuk kerjasama apapun dengan industri rokok, termasuk beasiswa pendidikan.
Ketua TCSC IAKMI Sumarjati Arjoso menyayangkan tidak tercapainya target pemerintah dalam RPJMN 2020–2024, khususnya untuk penurunan prevalensi merokok usia 10–18 tahun menjadi 8,7% di tahun 2024.
Mengutip Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ia menyampaikan bahwa Indonesia mengalami kelambatan dalam penanggulangan masalah tembakau/rokok. Hal itu ditandai dengan sulitnya mengurangi prevalensi merokok khususnya di kalangan anak di bawah 18 tahun yang mana terjadi kenaikan dari 7,2% di tahun 2013 menjadi 9,1% di tahun 2019. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 juga menunjukkan bahwa sebanyak 56,5% remaja usia 15–19 tahun merokok setiap hari.