

Penciptaan lapangan kerja formal dinilai sebagai salah satu cara untuk memperhatikan kelompok masyarakat kelas menengah. Itu perlu diperhatikan agar golongan masyarakat tersebut tak memiliki persepsi bahwa pemerintah telah gagal mengelola perekonomian.
Hal itu diungkapkan Ekonom senior sekaligus Menteri Keuangan periode 2013-2014 Muhammad Chatib Basri dalam webinar bertajuk Indonesia’s Budget and Economic Outlook 2025, Selasa (20/8).
“Kita selalu melihat kebijakan ekonomi hanya pada 20% atau 40% terbawah dan mengabaikan kelas menengah. Ini benar-benar masalah besar di mana-mana, di mana-mana, di banyak negara, masalahnya selalu kelas menengah. Sayangnya, saya berdiskusi panjang dengan banyak kolega, ekonom. Tidak ada kebijakan khusus tentang itu,” ujarnya.
Baca juga : Lebaran, Masyarakat Kelas Menengah Bawah Masih Tetap Tertekan
Kelas menengah merupakan kelompok yang dominan memberikan kontribusi dalam perekonomian. Di Indonesia, sayangnya, mayoritas kelas menengah adalah pekerja informal yang acap kali tak memiliki upah layak dan memiliki kemampuan terbatas untuk mengakses pelayanan berkualitas.
Karenanya, pemerintah mesti bisa mencari cara untuk menciptakan lapangan kerja formal guna mendongkrak pendapatan yang layak bagi kelompok masyarakat itu. Menurut Chatib, sektor ekonomi kreatif hingga manufaktur menjadi jawaban yang paling mungkin diupayakan oleh Indonesia.
“Lapangan pekerjaan kelas menengah, harus fokus di sektor manufaktur atau formal. Itu sebabnya ekonomi kreatif, pariwisata, manufaktur, itu sangat penting. Jadi tantangan bagi Indonesia adalah kita perlu menghidupkan kembali industrialisasi,” tutur Chatib.
Baca juga : Kelas Menengah juga Perlu Dukungan Pemerintah
Pengembangan industri penghiliran di Indonesia sedianya memang menciptakan lapangan pekerjaan. Namun lapangan pekerjaan itu bersifat sementara. Kebanyakan masyarakat dapat bekerja ketika pembangunan pabrik, bukan ketika pabrik beroperasi.
Itu karena sektor penghiliran merupakan industri padat modal yang lebih membutuhkan kemajuan teknologi, alih-alih campur tangan manusia di dalamnya seperti industri yang padat karya. Tak dapat disangkal, maraknya investasi di sektor penghiliran turut mendorong pendapatan per kapita wilayah terkait.
Namun yang jadi persoalannya ialah tak banyak tenaga kerja, utamanya masyarakat sekitar dari beroperasinya industri tersebut. “Morowali itu sangat terkenal dengan nikelnya. Pendapatan per kapita di Morawali itu US$60 ribu (Rp929 juta, kurs: Rp15.485). Hampir sama dengan Singapura,” kata Chatib.
“Tetapi 39% tenaga kerja ada di pertanian, bukan di manufaktur, pemrosesan nikel. Jadi Anda bisa melihat implikasinya. Betapa tidak seimbangnya ini, sumber daya alam ini tidak menyediakan penciptaan lapangan kerja yang signifikan,” pungkas dia. (Z-11)