IndonesiaDiscover –
MENJELANG rencana kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada awal September 2024, para tokoh perwakilan agama-agama dan aliran kepercayaan di Indonesia mendeklarasikan komitmen bersama untuk menjaga “bumi sebagai rumah kita bersama” di tengah sejumlah persoalan krisis ekologi saat ini, yang salah satunya dipicu eksploitasi industri ekstraktif dan berdampak pada peminggiran dan pengabaian hak masyarakat lokal.
Para tokoh – yang mewakili Katolik, Protestan, Islam, Hindu, Buddha, Khonghucu, dan aliran kepercayaan Baha’i – mendeklarasikan komitmen itu dalam sebuah dialog lintas iman bertema “Kemanusiaan dan Ekologi” di Pura Aditya Rawamangan, Jakarta pada 14 Agustus 2024 yang diinsiasi oleh lembaga Gereja Katolik, Ordo Fratrum Minorum atau yang dikenal dengan Fransiskan.
Dalam paparannya, pemimpin Umum OFM atau Minister General Massimo Fusarelli, OFM menegaskan spiritnya mengedepankan dialog lintas iman dalam rangka merespon krisis ekologi saat ini. Secara khusus Massimo mengangkat semangat Paus Fransiskus yang memiliki perhatian khusus pada krisis ekologi saat ini dan harus menjadi perhatian seluruh umat manusia.
Baca juga : Tokoh Agama Temanggung Serukan Kerukunan Jelang Pilkada
Kata Massimo, Paus Fransiskus membawa semangat tersebut saat mengeluarkan ensiklik Laudato Si dan Fratelli tutti – dokumen Vatikan yang khusus bicara soal krisis ekologi dan dialog antaragama.
“Semangatnya adalah komitmen “merawat bumi sebagai rumah bersama dengan mewujudkan gaya hidup hemat dan menghormati kesucian atau kesakralan alam.”
Kita juga dipanggil untuk “menciptakan lingkungan hidup yang bersih, sehat, dan berkelanjutan” dan “memastikan hak-hak masyarakat adat dan generasi mendatang terpenuhi, kearifan lokal terpelihara, dan kesejahteraan bumi dimungkinkan,” kata Massimo.
Baca juga : Jelang Kedatangan Paus, BNPT Pastikan Gereja Katedral Jakarta Aman dari Ancaman
Para tokoh juga menegaskan komitmen mereka “mengejawantahkan cara hidup yang didasarkan pada semangat persaudaraan di tengah keberagaman, menghormati dan menjunjung tinggi martabat pribadi manusia, terutama mereka yang dikecualikan atau disingkirkan,” dan “menegakkan keadilan ketika terjadi diskriminasi, korupsi, dan eksploitasi” serta “mewartakan secara terus-menerus nilai-nilai perdamaian di tengah masyarakat luas.”
Selain Pastor Massimo Fusarelli, OFM, para tokoh yang mendeklarasikan komitmen ini antara lain Matias Filemon Hadiputro, pendeta dari Gereja Kristen Jawa; Nissa Wargadipura, perempuan Muslim dan pimpinan Pesantren Ekologi Ath-Thaariq; Budhy Munawar-Rachman, tokoh Muslim moderat; Atthadhiro Thera dari organisasi agama Budha Sangha Therav?da Indonesia; JM I Wayan Gelgel, perwakilan organsiasi Hindu Pinandita Sanggraha Nusantara; Budi S. Tanuwibowo, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia; dan Nasrin Astani, aktivis dialog lintas agama aliran kepercayaan Baha’i.
Pada kesempatan yang sama Tokoh Muslim Budhy Munawar Rahman memberi catatan tentang pentingnya peran agama-agama, yang pada prinsipnya memiliki ajaran untuk mendorong konservasi lingkungan dan aksi iklim.
Baca juga : IKDKI Wadahi Para Dosen Katolik Indonesia
Ia berkata, dalam Islam misalnya, ada konsep khalifah bahwa manusia adalah penjaga bumi dan memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan merawat ciptaan Tuhan, yang sejalan dengan ensiklik Laudato Si dari Paus Fransiskus yang “menekankan tanggung jawab kolektif untuk merawat bumi sebagai rumah bersama.”
Ia menyatakan, kerja sama lintas agama menjadi penting karena “Indonesia sedang bergulat dengan masalah lingkungan yang parah seperti deforestasi, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati.”
Dia katakan, soal komitmen seperti ini “sekarang adalah waktunya yang tepat, di mana agama-agama harus menyadari satu kriris yang sudah dan akan lebih besar lagi kita alami, yaitu krisis lingkungan, krisis iklim.”
Baca juga : Rencana Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia, PBNU Ingatkan Keberagaman
“Kita di Indonesia belum terlalu menganggap ini masalah, belum banyak orang yang membicarakan krisis iklim di rumah ibadah dan perhatian dari tokoh agama juga sangat sedikit, sehingga masyarakat tidak anggap ini sebagai masalah serius,” katanya.
Ia menyatakan, poin-poin dalam komitmen itu masih perlu dikonkretkan dengan mulai dari yang sederhana di kalangan umat masing-masing agama, seperti menanam pohon, olah sampah, sampai pada yang lebih luas soal mempertanyakan komitmen pemerintah pada isu lingkungan.
Ditambahkan oleh Yohanes Kristoforus Tara, dari divisi advokasi Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation [JPIC] Fransiskan bahwa komitmen pada ekologi dan kemanusiaan adalah panggilan universal semua umat beragama.
“Dengan komitmen bersama ini, kami memperkuat kembali energi untuk berjuang dan kini bersama lembaga-lembaga agama lainnyaa,” katanya.
Ia menyatakan, dialog ini juga merupakan bagian dari upaya persiapan menyambut kunjungan Paus Fransiskus ke Jakarta bulan depan.
“Sebagaimana yang ditekankan Konferensi Waligereja Indonesia, kunjungan paus sama pentingnya dengan upaya mendalami dan mencari bentuk-bentuk konkret implementasi pesan-pesannya dalam memperkuat persaudaraan semesta,” katanya.
“Dalam konteks dialog ini, kami juga ingin mengajak lebih banyak orang memahami masalah ekologi sebagai masalah kemanusiaan, sebagaimana yang selama ini ditekankan oleh Gereja, terutama dalam dokumen Laudato Si,” pungkasnya.(Z-8)