Politik Pakar Hukum Tata Negara Minta Bawaslu dan DKPP Dibubarkan

Pakar Hukum Tata Negara Minta Bawaslu dan DKPP Dibubarkan

68
0
Pakar Hukum Tata Negara Minta Bawaslu dan DKPP Dibubarkan
Pakar HTN Feri Amsari.(MI/Usman Iskandar)

PAKAR hukum tata negara (HTN) sekaligus peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari meminta agar Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dibubarkan. Seluruh sengketa pemilihan, termasuk masalah etik penyelenggara, katanya, dapat diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia menegaskan, bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, dan DKPP merupakan penyelenggara yang bersifat satu kesatuan. Sebagai gambaran, ketiganya berdiri pada kamar yang berbeda dalam satu kamar. Namun, kenyataannya, Feri menyebut bahwa ketiga lembaga penyelenggara itu saat ini berdiri pada rumah yang berbeda.

“Ini akan menjadi problematika serius dalam penyelenggaraan pemilu,” katanya dalam diskusi bertajuk Evaluasi Penegakan Kode Etik Pemilu yang digelar Pusako di Jakarta, Senin (5/8).

Baca juga : Pakar HTN: Jangan Menunggu Hancur Baru Dibenahi

Feri mengusulkan agar KPU menjadi satu-satunya penyelenggara pemilihan. Sementara, Bawaslu dan DKPP dibubarkan. Baginya, masalah etik yang menjerat penyelenggara pemilihan dapat diselesaikan lewat MK.

Itu berkaca dari praktik yang diterapkan oleh negara-negara bersistem presidensial lainnya. Menurut Feri, selain presiden, negara presidensial dapat memakzulkan hakim. Dalam konteks di Indonesia, penyelenggara pemilu semestinya juga dapat dimakzulkan di MK. Ia mengingatkan, salah satu kewenangan MK adalah menangani sengekta lembaga negara.

“Begitu lembaga negara menjalankan kewenangan, dan dianggap sebagai masalah sengketa, termasuk di dalamnya etik, warga negara bisa menyengketakannya di MK. Kalau berhasil, yang dicita-citakan MK sedari dulu, yakni constitutional complaint, bisa jalan,” terang Feri.

Baca juga : MK Harus Cermati Kasus Pelanggaran Etik Sebelum Putuskan Sengketa Pilpres

Feri sendiri menilai DKPP periode saat ini tidak sepenuhnya mengerti tugas dan fungsi lembaga DKPP. Contoh sederhana yang diberikannya adalah pemutaran lagu kebangsaan Indonesia Raya sebelum sidang DKPP dimulai. Ia menilai, pemutaran lagu kebangsaan dalam lembaga quasi peradilan tidak perlu dilakukan.

“Bukannya lagu kebangasaan tidak penting ya, tapi ketika dinyanyikan di tempat yang tidak tepat, jadi salah,” ujarnya.

Lagu kebangsaan, sambung Feri, umumnya diputar saat momen pernghormatan maupun kemenangan. Masalahnya, DKPP merupakan lembaga quasi peradilan yang bertugas memeriksa masalah-masalah etik penyeelnggara pemilu. Baginya, prosedur peradilan di DKPP bukanlah sesuatu yang patut untuk dirayakan.

Baca juga : Respons DKPP, Bawaslu Sebut Pencalonan Gibran Tidak Bermasalah

“Makanya enggak pernah di MK, di Mahkamah Agung, nyanyi lagu kebangsaan. Ini tidak paham esesnsi DKPP-nya,” pungkas Feri.

Pada kesempatan yang sama, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai DKPP saat ini cenderung terjebak pada anasir-anasir politik dalam menjatuhkan putusan. Salah satu contohnya tampak dalam tulisan opini Ketua DKPP Heddy Lugito dalam sebuah surat kabar nasional.

“Seolah-olah mereka (DKPP) ada di persimpangan antara menegakan etika dan menjaga citra pemilu di mata publik. Padahal hal itu tidak perlu menjadi sesuatu yang dibenturkan,” kata Titi. (J-2)

Tinggalkan Balasan