IndonesiaDiscover –
CABANG olahraga yang membawa Indonesia masuk era emas Olimpiade, bulu tangkis, terancam gagal untuk bisa mempertahankan perolehan medali dalam ajang Olimpiade Paris 2024. Satu-satunya yang tersisa ialah tunggal putri Gregoria Mariska Tunjung yang mampu melaju ke babak delapan besar. Namun, lawan yang harus dihadapi ialah pemain-pemain papan atas termasuk pemain asal Thailand Ratchanok Itanon pada perempat final.
Harapan terakhir di kelompok putra, pasangan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto, sudah terhenti lebih dulu. Fajar dan Rian tidak mampu menahan laju pasangan Tiongkok Liang Weikeng/Wang Chang pada perempat final.
Tradisi emas Olimpiade dikhawatirkan akan terhenti di Paris. Tiga cabang yang masih tersisa, yaitu atletik, angkat besi, dan panjat tebing, belum punya tradisi meraih medali emas. Tentu menjadi pertanyaan apa arti kegagalan pada pesta olahraga musim panas empat tahunan itu bagi Indonesia? Olimpiade merupakan ajang bagi bangsa-bangsa di dunia untuk menunjukkan keunggulan generasi muda mereka.
Baca juga : Harapan PBSI pada Fajar/Rian dan Gregoria
Oleh karena itu, tampil dalam Olimpiade bukanlah sekadar berpartisipasi. Di balik itu, ada kesungguhan, kemauan, dan keinginan untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin agar tidak gagal di puncak penyelenggaraan pesta olahraga dunia.
Masih ingat bagaimana perjuangan Indonesia untuk bisa menembus era emas pada Olimpiade Barcelona 1992. Sekretaris Jenderal PBSI Mangombar Ferdinand Siregar menyiapkan peta jalan untuk bisa menembus era emas.
Almarhum MF Siregar merupakan teknokrat olahraga yang dibina sejak zaman Bung Karno. Ia merupakan sarjana olahraga yang mengerti betul bagaimana pembinaan atlet harus dilakukan. MF Siregar merupakan master dalam bidang physical education dari Springfield College, Massachusetts, Boston, Amerika Serikat.
Baca juga : Asian Games Berakhir Besok, Medali Indonesia Mager di Peringkat 13
Latar belakang sebagai pembina renang membuat segala sesuatu harus terukur. Renang merupakan olahraga terukur dengan kemenangan seorang atlet bisa diketahui dari catatan kecepatan yang bisa diraih seorang atlet saat mempersiapkan diri menjelang kejuaraan.
Bulu tangkis bukanlah olahraga terukur, melainkan olahraga permainan. Namun, oleh MF Siregar, semua yang kualitatif diterjemahkan ke dalam data kuantitatif sehingga bisa diukur tingkat kemajuan dan peluang kemenangannya.
Hasil persiapan panjang yang dilakukan MF Siregar membuat Indonesia membuat sejarah besar. Pertama kalinya Indonesia Raya berkumandang di ajang Olimpiade. Tidak tanggung-tanggung, dua kali lagu kebangsaan Indonesia itu diperdengarkan untuk ‘pengantin bulu tangkis’ Susy Susanti dan Alan Budikusuma.
Baca juga : Bulu Tangkis Bidik 3 Medali Emas di Asian Games Hangzhou 2022
Pertanyaannya, apakah ada proses seperti yang dilakukan MF Siregar dalam persiapan atlet Indonesia ke Olimpiade Paris kali ini? Para pejabat dan pembina olahraga yang harus berani jujur mengevaluasi diri dari kegagalan itu.
Prestasi olahraga ialah proses, bukan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya. Citius, fortius, altius yang menjadi motto Olimpiade mensyaratkan bahwa mereka yang bisa lebih cepat, lebih kuat, dan lebih tinggilah yang akan menjadi juara.
Untuk itu, dibutuhkan komitmen dari semua pihak. Paling pertama ialah semua harus rela mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran. MF Siregar dengan tekun mencatat kemajuan dari setiap atlet bulu tangkis yang dibina. Ia perhatikan juga catatan dari pemain negara lain yang akan dihadapi di Barcelona.
Baca juga : Gregoria Wakil Indonesia Tersisa di Bulu Tangkis, CdM: Mohon Doa dan Dukungannya
Semua catatan itu diberikan kepada para pelatih sebagai bahan perbaikan. Mereka berdiskusi secara intensif bagaimana agar semua program bisa dijalankan dengan baik.
Di mana peran negara? Negara hadir untuk menyediakan semua kebutuhan yang diperlukan. Negara mengerahkan semua sumber daya yang dimiliki untuk membantu pembina dan pelatih menjalankan program mereka.
Atlet diminta untuk berlatih lebih keras. Kita beruntung ketika itu mempunyai atlet seperti Susy Susanti yang paham akan tanggung jawab pribadi yang harus dilakukan untuk meraih keberhasilan. Ada Alan dan Ardy Wiranata yang mau spartan melakukan latihan.
Karakter atlet harus dibentuk agar tidak mudah menyerah. Mental pemain harus ditempa agar tidak merasa kecil hati dan memiliki kepercayaan diri tinggi. Semua harus menempatkan bahwa mengharumkan nama bangsa menjadi tujuan utama.
Keberhasilan meraih medali Olimpiade nilainya lebih tinggi daripada materi. Pemain tenis sekelas Novak Djokovic dan Rafael Nadal dan bintang NBA seperti LeBron James mau tampil di ajang Olimpiade jelas bukan karena uang, melainkan karena ingin mempersembahkan yang terbaik kepada negara mereka.
Indonesia emas
Filosofi pembinaan seperti itulah yang semakin langka kita miliki. Padahal, pembinaan olahraga tidak bisa dilepaskan dari sains dan teknologi. Proses pembinaan harus berbasis kepada ilmu pengetahuan.
Atlet sepeda Tadej Pogacar mampu memenangi Tour de France yang menempuh jarak 3.498 km selama tiga pekan. Bukan hanya karena terampil mengendarai sepeda, melainkan ia juga memiliki fisik yang kuat karena konsumsi makanan yang begitu terukur oleh ahli nutrisi yang mendampinginya sepanjang balapan.
Dalam upaya meraih Indonesia emas 2045, kita harus mampu melahirkan manusia-manusia unggul. Mereka harus dipacu untuk bisa menjadi yang terbaik dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
Termasuk dalam pembinaan olahraga, kita harus memiliki orang-orang yang ahli dalam bidang olahraga. Kita perlu memiliki teknokrat yang memang ahli di banyak bidang, termasuk olahraga. Berulang kali kita sampaikan, kita harus mengirim putra-putra terbaik agar menggeluti ilmu di bidang keolahragaan seperti MF Siregar.
Pembagian tugas berdasarkan keahlian menjadi prasyarat dalam pembinaan olahraga. Yang namanya pejabat tidak perlu turun menangani urusan teknis karena ia bukan ahli di bidang itu.
Pesan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Anthony Blinken saat berbicara di Lee Kuan Yew School of Public Policy pantas untuk disimak. Kata Blinken, sebagai pejabat negara, ia tidak perlu bicara masalah politik dan terlibat dalam urusan pemilihan presiden. Tugas seorang menteri ialah menetapkan policy, merumuskan kebijakan yang bisa dijalankan.
Kegagalan dalam Olimpiade Paris tentu bukanlah kiamat. Namun, itu merupakan alarm bahwa ada yang keliru dalam pembinaan olahraga di Indonesia. Kita harus segera berbenah dan fokus dalam membina anak-anak Indonesia.
Kesuksesan pembangunan tidak bisa hanya diukur dari kemegahan pembangunan infrastruktur. Pembangunan karakter bangsa harus menjadi yang lebih utama apabila kita memang ingin menuju era Indonesia emas.