IndonesiaDiscover –
LAPORAN Bank Dunia di tahun 2022 menyebutkan, saat ini populasi dunia mencapai lebih dari 7,9 miliar jiwa, dan terus meningkat setiap tahunnya. Angka tersebut berbanding terbalik dengan ketersediaan air bersih dunia.
Indonesia sendiri diperkirakan akan mengalami krisis air bersih pada tahun 2040. Ancaman ini tentunya memerlukan penanganan dan antisipasi khusus agar masyarakat tidak kekurangan air bersih.
Pakar hidrologi sekaligus Dekan Sekolah Vokasi UGM, Prof Dr. Ing. Ir. Agus Maryono, IPM. ASEAN.Eng. dikenal sebagai orang yang memperkenalkan Gerakan Memanen Air Hujan Indonesia dan Gerakan Restorasi Sungai Indonesia.
Baca juga : UGM Kenalkan Teknologi Desalinasi Tenaga Surya untuk Penuhi Kebutuhan Air Tawar Bersih di Kawasan Pesisir
Lewat siaran pers, Agus Maryono mengatakan, air hujan dapat menjadi salah satu sumber air alternatif, terlebih dengan kondisi dua musim yang dimiliki Indonesia. “Sebenarnya air tanah itu tidak hanya dipompa, dipakai, dan diukur, tapi perlu dikonservasi. Salah satu konservasinya adalah dengan air hujan,” kata Agus.
Menurut Agus, air hujan yang turun setiap periode musim penghujan selama ini langsung dialirkan ke saluran drainase tanpa adanya upaya pengolahan kembali. Padahal, rata-rata curah hujan Indonesia mencapai 2.000-3.000 millimeter per tahun.
Air hujan yang dikonversi bisa diinjeksikan ke dalam tanah itu akan bisa memperbaiki kualitas dan kuantitas air tanah.
Baca juga : Menjaga Hutan Pulau Kecil Tetap Berkelanjutan
Selain memanen air hujan, Agus Maryono juga menyampaikan upaya restorasi sungai. Menurutnya, sungai memiliki peran strategis bagi kehidupan masyarakat, termasuk dalam hal ketersediaan air bersih.
Sayangnya, kondisi sungai-sungai di Indonesia justru sangat memprihatinkan dengan adanya tumpukan sampah dan ekosistem yang tidak terawat. Untuk itu, ia menawarkan lima konsep restorasi sungai, yakni restorasi hidrologi, restorasi ekologi, morfologi, sosial ekonomi, serta restorasi kelembagaan dan peraturan.
Kedua, solusi menghadapi ancaman krisis air ini sudah diterapkan bertahun-tahun di masyarakat dan menuai hasil yang signifikan. Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta dan Glintung, Malang menjadi dua desa yang memelopori Gerakan Memanen Air Hujan. Komitmen Kecamatan Tegalrejo menerapkan inovasi tersebut membuat daerah ini mendapat predikat Kampung Ramah Air Hujan.
Baca juga : Ancaman Kekeringan di Musim Kemarau, Perlu Pemanfaatan Sumber Air yang Efektif
Ide untuk memberikan solusi menghadapi ancaman krisis air bersih ini juga sudah disampaikan Agus Maryono dalam workshop internasional Groundwater Sustainability in Indonesia: A Scoping Study to Pilot a Participatory Groundwater Management Approach pada 7-8 Mei 2024 lalu di Jakarta. Workshop ini menjadi salah satu respons terhadap isu ketersediaan air beserta penanganannya, khususnya di Indonesia.
Workshop yang berlangsung selama dua hari ini merupakan hasil kerja sama dari beberapa lembaga, antara lain Western Sydney University, Indonesian National Committee of UNESCO International Hydrology Program (IHP), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air (PRLSDA). Selain itu, Departemen Urusan Luar Negeri Australia melalui Australian Water Partnership (AWP) juga menjadi sponsor utama dalam workshop ini.
Kesadaran akan ancaman krisis air bersih diharapkan dapat tumbuh di masyarakat, sehingga memunculkan kebiasaan bijak menggunakan air bersih. “Krisis air itu akan terjadi, karena perubahan iklim. Masyarakat akan tergantung pada air-air yang dari PDAM, lama-lama tidak bisa memenuhi kebutuhan. Saya harap pemerintah bisa mendesain untuk memaksimal air hujan ini untuk kebutuhan masyarakat,” tutup Agus. (H-2)