Pariwisata UNESCO-RI Berkomitmen Pertahankan Kelestarian Subak sebagai Warisan Budaya Dunia

UNESCO-RI Berkomitmen Pertahankan Kelestarian Subak sebagai Warisan Budaya Dunia

9
0

SIARAN PERS 

TIM KOMUNIKASI DAN
MEDIA WORLD WATER FORUM KE-10

NO.123/SP/TKM-WORLDWATERFORUM2024/05/2024

 

UNESCO-RI Berkomitmen Pertahankan
Kelestarian Subak sebagai Warisan Budaya Dunia
 

Badung, 22 Mei
2024 –
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO) bersama Pemerintah Indonesia berkomitmen merawat dan mempertahankan
kelestarian sistem pengairan pertanian Bali atau yang biasa disebut dengan
Subak sebagai bagian dari warisan budaya dunia.

Demikian dikatakan
Deputy Director General of UNESCO, Xing Qu saat menyampaikan sambutan dalam
diskusi bertajuk “Subak and Spice Routes: Local Wisdom Water Management” pada
gelaran World Water Forum (WWF) ke-10, di BICC, Nusa Dua, Selasa (21/5/2024).

Menparekraf Sandiaga Salahuddin Uno saat melakukan kunjungan kerja di Desa Jatiluwih, Tabanan, Bali, Jumat (3/5/2024). Kunjungan tersebut untuk meninjau persiapan perhelatan World Water Forum (WWF) ke-10 yang diselenggarakan pada 18–25 Mei 2024. (Foto: Biro Komunikasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif).

Sistem irigasi
Subak telah ada sejak ribuan tahun silam dan bertahan sampai kini karena dijaga
secara turun temurun. Pada 29 Juni 2012 UNESCO pun menetapkan bahwa Subak
sebagai warisan budaya dunia, dan hingga saat ini tetap konsisten berkomitmen
mempertahankannya.

Subak yang dikelola
masyarakat adat Bali melalui mekanisme irigasi berlandaskan filosofi Tri Hita
Karana (keseimbangan dan keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan) dinilai
mampu menjadi contoh harmonisasi hubungan antara air dengan manusia.

“Salah satu
upayanya, termasuk melakukan advokasi perlindungan warisan budaya terkait
dengan air demi mengatasi tantangan permasalahan air di abad ke-21, semuanya
sangat terkait erat dalam konteks Subak,” kata Xing Qu.

Xing Qu juga
memaparkan sejumlah inisiatif dan program yang dilakukan UNESCO dalam
meningkatkan promosi dan edukasi terkait dengan bagaimana memanfaatkan air
secara bijak. Sejumlah inisiatif itu diantaranya dukungan pendidikan terkait
dengan pengelolaan air, peningkatan kapasitas, dan memfasilitasi kerja sama air
lintas batas. Upaya ini selaras dengan semangat yang digaungkan dalam World
Water Forum ke-10 di Bali.

“Kita harus
merefleksikan kembali bagaimana hubungan kita dengan air, bagaimana selama ini
kita telah mengkonsumsi dan mengolah air. Kami juga akan merilis
inisiatif-inisiatif baru di Indonesia untuk mendukung pengelolaan air yang
lebih berkelanjutan,” ungkap Xing Qu.

Xing Qu pun
menyampaikan kekagumannya terkait dengan kehidupan masyarakat Bali yang selalu
berhubungan erat dengan air. Sejak lahir hingga meninggal, berbagai upacara dan
ritual yang dilakukan umat Hindu di Bali itu selalu melekat dengan air.

Sebab itu, jika
masyarakat tidak lagi bisa mengakses air dan terjadi krisis, maka kondisi ini
akan menjadi ancaman. Menurut dia, jika hal itu terjadi, dampak krisis air
tidak hanya akan dialami oleh masyarakat di Bali saja sebagai pusat destinasi
wisata dunia, melainkan juga berpotensi dialami masyarakat global.

Sementara saat
diskusi yang sama Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Hilmar Farid mengungkapkan kearifan lokal soal tata kelola air
sudah melekat di masyarakat Indonesia.

Selama ribuan
tahun, masyarakat Nusantara sudah mengolah air sebagai sumber utama kehidupan.
Kearifan lokal ini menjadi ‘perpustakaan peradaban’ yang sangat besar dan
menjadi pembelajaran serta bisa berkontribusi bagi masyarakat global.

“Apabila kita mau
mempelajari khazanah itu dengan baik, saya yakin, kita semua akan bisa
menemukan solusi atas permasalahan air yang kita hadapi saat ini. Bali telah
memiliki basis nilai pengelolaan air yakni solidaritas dan konektivitas. Mereka
yang hidup di hilir dan menikmati air dari hulu, juga harus bisa berterima
kasih dengan masyarakat di hulu,” ujar Hilmar.

Menurut dia, isu
pengelolaan air sangat kompleks karena perlu penanganan komprehensif dan
dibutuhkan kerja sama lintas negara. Subak bisa menjadi contoh yang baik karena
sistem pengelolaan air ini menawarkan cara yang efektif dan berkelanjutan. 

Filosofi air bagi
masyarakat Bali juga ditegaskan oleh Sekretaris DPP Peradah Indonesia Bali, I
Ketut Eriadi Ariana, yang bergelar Jero Penyarikan Duuran Batur, saat menjadi
pembicara. Dia mengatakan, masyarakat Bali menganggap air sebagai representasi
manusia secara menyeluruh, baik di dalam maupun di luar.

“Ketika mata air
hilang, pikiran orang Bali pun hilang. Ada teks kuno Bali yang membicarakan
soal pengelolaan air dan berbagai aturan cara menjaga dan merawat air. Subak
tidak hanya sekadar terasering, tapi merupakan bentuk solidaritas,” katanya
dalam diskusi tersebut.

Dalam mengatasi
berbagai tantangan isu air, butuh kolaborasi bersama, termasuk pemberdayaan
masyarakat, meningkatkan kesejahteraan petani, serta melakukan edukasi secara
berkelanjutan. “Saya tekankan bahwa tata kelola air dunia, harus didasari oleh
nilai solidaritas dan konektivitas sehingga bisa keluar dari malapetaka air,”
katanya.

Selama
penyelenggaraan World Water Forum ke-10, peserta dan pengunjung juga bisa
menyaksikan pameran jejak rempah bertajuk “Telu, Spice Market, Balinese Culture
Art” dan “Subak Cultural Landscpe” di Museum Pasifika, Nusa Dua, Bali, mulai
21-25 Mei 2024. (Ni Ketut Sudiani/Ayu Sulistyowati/Firda Puri/TR/Elvira Inda
Sari)

**

Untuk Informasi lebih lanjut, silakan menghubungi kontak di
bawah ini.

Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian
Kominfo – Usman Kansong  (0816785320).

PCO World Water Forum ke-10 – Dede Ariwibowo
(08111830020)

 

Dapatkan informasi lainnya di
https://indonesiadiscover.com/kategori/world-water-forum dan https://s.id/worldwaterforumpedia

Tinggalkan Balasan