
Chief Political Officer dari Political Strategy Group (PSG), Arief Budiman menilai, peningkatan suara Golkar yang mencapai 5,9 juta suara menunjukkan tren ke arah positif.
“Suara partai berlambang beringin hampir mendekati raihannya ketika memenangi Pemilu 2004. Saat itu, Golkar meraih 24.480.757 suara yang berhasil dikonversi menjadi 127 kursi di DPR,” kata Arief kepada wartawan, Senin (6/5).
Padahal, Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur saat itu berencana membubarkan Golkar melalui dekritnya. Lalu, perlawanan kencang kelompok proreformasi di akar rumput yang melabeli Golkar sebagai partai Orde Baru.
“Bukan berarti tidak ada dampak politik terhadap Golkar. Terbukti suara mereka menurun. Namun, bagaimanapun, Golkar tetap bisa selalu finish di tiga besar,” ucap Arief.
Resiliensi Golkar, lanjut Arief, dipengaruhi kemapanan institusi yang membuat mereka lekas mampu beradaptasi dengan era reformasi. Hal ini pula yang kemudian menjadi jalan kesuksesannya di Pileg 2024.
Arief menyebut, strategi Golkar di Pileg 2024 sebagai politik kredit-debit dengan modal genetik kemapanan institusional, Golkar mampu mengkalkulasi setiap langkahnya dengan cermat, untuk mengonversi setiap cost yang selama ini dianggap sebagai liabilitas menjadi keuntungan politik.
Bahkan, strategi politik kredit-debit membuat Golkar lebih luwes melangkah di Pemilu. Mereka tak ragu mengambil risiko atau ongkos politik, selama dalam perhitungannya akan mendatangkan keuntungan lebih besar.
“Golkar berani tetap menjaga dan memupuk faksionalisme di internalnya di tengah risiko perpecahan tak berkesudahan yang bisa memporak-porandakan organisasi. Lalu, Golkar membuka diri kepada caleg-caleg terafiliasi dinasti politik di tengah sentimen negatif terhadap praktik politik dinasti, yang sekaligus sebetulnya berpeluang mengingatkan publik pada sejarahnya sebagai parpol Orde Baru,” papar Arief.
Pendekatan semacam itu, menurut Arief, cukup mewakili sifat dasarnya sebagai parpol pragmatis. Meski pada pemilu-pemilu sebelumnya di era reformasi, Golkar lebih berhati-hati memainkannya.
“Mengingat, bagaimanapun sebagian besar dari kunci sukses politik adalah tentang kecermatan membaca momentum. Dan, hasil Golkar di Pemilu 2024 membuktikan strategi mereka diterapkan dalam momentum yang tepat,” jelas Arief.
Meski demikian, kebangkitan Golkar tetap punya tantangan untuk meraih kemenangan absolut di pemilu selanjutnya. Arief memandang, Golkar mungkin bisa menjuarai Pileg 2029, tapi akan kesulitan memenangi Pilpres jika belum mampu menghadirkan sosok kharismatik berkaliber nasional.
Oleh karena itu, penting bagi Golkar segera menemukan sosok kharismatik yang dipersiapkan secara khusus menyongsong Pilpres 2029. Pilkada yang berlangsung pada November nanti, bisa menjadi salah satu alat penyaringan.
“Mengingat tren kepemimpinan nasional sedang mengarah kepada sosok yang memiliki rekam jejak politik sebagai kepala daerah. Setidaknya dalam tiga pemilu terakhir yang mayoritas kandidat adalah mantan kepala daerah,” tegas Arief.
Selain itu, Golkar perlu kembali menjaring sosok dari kalangan teknokrat yang pernah menjadi nilai jualnya di masa lalu. Hal ini tak lepas dari kebijakan ekonomi Indonesia yang mulai kembali mengarah ke pembangunan fisik dan industri.
“Tantangan tersebut bisa jadi sangat berat bagi Golkar. Setidaknya bila melihat sosok politikus kaliber nasional mereka yang bercokol hari ini mayoritas adalah dari kalangan aktivis, bila tidak terkait trah dinasti,” papar Arief.
Oleh karena itu, masuknya sosok baru untuk didorong ke arah kepemimpinan nasional sangat mungkin mendapat resistensi dari faksi-faksi yang kini telah bercokol di dalam tubuh Golkar.
“Resistensi terhadap sosok BJ Habibie di masa lalu, barangkali tepat sebagai contoh nyata akan kemungkinan tersebut. Namun sekali lagi, Golkar memang mau tak mau harus mencari Habibie baru walau harus sampai ke dasar tumpukan jerami bila ingin menang absolut di pemilu mendatang,” pungkas Arief.