
Perempuan itu sesungguhnya lebih dekat jarak dan hubungannya dengan Tuhan, karena inti sifat Tuhan yang paling utama yaitu Maha Pengasih dan Maha Penyayang (Basmalah) prosentase terbesarnya di berikan kepada perempuan.
Hanya perempuan yang mempunyai rahim (penyayang), oleh karenanya perempuan akan selalu bicara tentang kasih sayang sepanjang perjalanan hidupnya.
Karena sifat penyayangnya perempuan lah, dunia masih bisa merasakan keindahan dan kedamaian.
Karena sifat kasih sayangnyalah Raja yang dholim sekalipun bisa tunduk dan merubah aturan liarnya menjadi aturan yang lebih manusiawi.
Dalam bukunya yang berjudul “The Tao Of Islam” yang berlatar dari kajian pemikiran Saykh Al Akbar Ibnu Al Arabi, Prof Seichiko Murata yang sempat tinggal di Iran negri para Mullah, negeri yang banyak melahirkan para Filosof dan Tokoh Sufi Besar seprti Syam Uddin At Tabrizi, Al Ghazali, Syaikh Abdul Qadir Al Jillani dll. Selama lebih dari 3thn Seichicko Murata tinggal dan altif berdiskusi dengan para Mullah ketika dalam proses penelitiannya tentang gender untuk menyelesaikan doktoral nya mengatakan bahwa “Allah itu lebih bersifat Feminim bukan Maskulin”.
Munculnya gagasan pemikiran Feminisme dari Simone de Beauvoir sang pasangan gelap Jean-Paul Sartre (keduanya adalah seorang Filosof Modern Prancis), pemikiran Feminisme dari Virginia Woolf yang seorang Novelis yang karena depresi akibat tekanan persoalan hidupnya dan memutuskan untuk bunuhdiri dalam menghentikan tekanan tersebut. Pemikiran dari kedua tokoh kontroversial tersebut seringkali justru diterjemahkan dengan salah kaprah, kesetaraan laki-laki dan perempuan diterjemahkan berlebihan yang justru keluar dari hakikat fungsi dan pempuan diantara keduanya. Akibatnya membuat perempuan jaman sekarang justru lebih mengedepankan “Ego”nya dalam segala aspek kehidupan interaksi sosialnya.
Prof Seichiko Murata mengusulkan ketika mendidik anak perempuan, diusahakan sejak kecil di biasakan untuk dekat dengan boneka, agar pada masa dewasanya bisa kembali menjadi perempuan dengan nilai hakikat penciptaannya. Akan tetapi dalam konteks pendidikan keduanya mempunyai hak dan ruang yang sama.
Akan tetapi pendidikan untuk perempuan di tengah masyarakat saat ini, justru berkecenderungan untuk mengambil peran dan fungsi laki-laki. Akibatnya perang kekuasaan dalam rumah tangga menjadi sangat gaduh, perceraian pun meningkat tajam.
Pergumulan pemikiran antara gender dan feminisme ditengah masyarakat bercampur-aduk tak keruan, sehingga kebingungan kedua pemikiran ditengah para intelektual itupun menjadi ambigu dan hal ini ditangkap oleh masyarakat awam dengan sangat sederhana sesuai kemampuan dan kemauan mereka. Maka terjadilah perubahan sosial yang cukup ekstrem. Terutama perilaku masyarakat awam yang cenderung mengedepankan egonya, sementara alam bawah sadar mereka cenderung telah dikuasai oleh gaya hidup masyarakat indistri.
Beranikah perempuan masa kini kembali pada hakikatnya bahwa dia adalah seorang ibu dari anak-anaknya, sebagai istri yang mendampingi atau sebagai partner dalam mendampingi, mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Kehadiran perempuan dalam rumah tangga bukan sebagai tandingan atau pesaing pasangannya, jika dalam ajaran Islam, suami adalah Imam atau kepala rumah tangga, atau masinis dalam lokomotif perjalanan kehidupan, lalu jika perempuan juga mengambil sikap yang sama, maka perjalanan kereta api jelas akn menjadi oleh atau bahkan terhenti tanpa ada pergerakan.
Tanpa adanya perempuan dengan segala kasih sayang dan cintanya, bagaimana mungkin akan lahir bayi mungil sebagai penerus kehidupan ?
Tanpa keunikan cara berpikir dan kekuatan kesabarannya, bagaimana mungkin akan lahir dinamika peradaban dan kebudayaan manusia ?
Nashir Ngeblues