
ADA banyak cara untuk bermanfaat bagi sesama. Wiwit Sri Arianti memilih menjadi pekerja kemanusiaan dan relawan bencana. Pilihan itulah yang menjadikannya bagian dari kisah tsunami Aceh, gempa Padang, erupsi Gunung Merapi, dan likuefaksi Sulawesi Tengah.
Hati Wiwit pilu menyaksikan tayangan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 pukul 07.58 waktu setempat. Dia ingat betul, guncangan berkekuatan 9,3 skala Richter itu terjadi pada Minggu.
Sebagai staf Save the Children, organisasi internasional yang mendukung pemenuhan hak-hak anak, ibu dua anak itu langsung berniat berangkat ke Aceh. ”Begitu ada tsunami, lalu ditanya siapa yang siap berangkat,” katanya saat berbincang dengan Indonesia Discover pada akhir bulan lalu.
Niat Wiwit sempat ditentang dua anaknya yang masih remaja. Namun, tekad Wiwit sudah bulat. Beruntung, rembukan dengan suami dan kedua anaknya berjalan lancar. Keluarganya pun kemudian mendukung keberangkatannya ke Aceh.
”Saya datang ke Aceh pada Januari dan masih menemukan mayat di lokasi,” kenangnya. Bayangan itu belum bisa enyah dari memorinya sampai sekarang.
Wiwit yang semula berkecimpung di divisi trafficking anak-anak untuk kali pertama mendapatkan pengalaman terjun langsung ke lokasi bencana. Ketika itu dia dipercaya menjadi leader untuk Tim Pidie. ”Saya sempat ragu dan tanya kenapa saya yang ditempatkan di Pidie,” ujarnya.

HANGAT: Wiwit mendampingi anak-anak di perpustakaan yang juga difungsikan sebagai tempat belajar. (WIWIT SRI ARIANTI UNTUK JAWA POS)
Baca Juga: Oki Setiana: Ayah Ajarkan Saya dan Ria Ricis jadi Perempuan Tangguh
”Dari pertanyaan-pertanyaan saya, jawaban yang waktu itu saya peroleh hanyalah bahwa pemimpin di Pidie harus perempuan,” terang Wiwit. Jawaban itu tak membuatnya puas. Namun, tekadnya untuk membantu sesama tak goyah. Wiwit tetap menjalani tugasnya dengan sepenuh hati.
Seiring dengan berjalannya waktu, Wiwit paham alasan dirinya harus memimpin tim di Pidie. Ternyata sosok perempuan lebih bisa diterima masyarakat Pidie yang secara kasatmata tak bisa dia bedakan yang mana nasionalis dan separatis.
Di lokasi bencana, Wiwit juga bekerja sama dengan intel untuk memetakan daerah yang harus dikunjungi dan harus diberi bantuan. ”Kemampuan komunikasi dan keluwesan sebagai perempuanlah yang menguntungkan kondisi saya saat itu,” tuturnya.
Baca Juga: Selamat Hari Kartini, Dirut Pertamina: 30 Persen Perwira Pertamina adalah Perempuan