IndonesiaDiscover.com-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan risiko akibat penguatan dolar Amerika Serikat (AS) alias USD terhadap industri perbankan nasional dapat dimitigasi dengan baik. Hasil stress test menunjukkan pelemahan nilai tukar rupiah relatif tidak signifikan berpengaruh langsung terhadap permodalan bank. Mengingat posisi devisa neto (PDN) perbankan yang masih jauh di bawah threshold.
Baca Juga: Vicky Prasetyo Mau Kawin Lagi di Usia 40 Tahun, Ngaku Punya Strategi Baru Pertahankan Rumah Tangga
Bantalan permodalan perbankan yang cukup besar. Tercermin dari capital adequacy ratio (CAR) yang tinggi sebesar 27,72 persen. Hal tersebut diyakini mampu menyerap fluktuasi nilai tukar rupiah maupun suku bunga yang masih tertahan relatif tinggi.
Dana pihak ketiga (DPK) dalam bentuk valuta asing saat ini sekitar 15 persen dari total DPK perbankan sebanyak Rp 8.441 triliun. “Sampai akhir Maret 2024, DPK valas masih tumbuh cukup baik secara tahunan (YoY) maupun dibandingkan dengan awal 2024 (YtD),” ucap Dian.
Menurut dia, pelemahan nilai tukar rupiah juga dapat memberikan efek positif terhadap ekspor komoditas dan turunannya. Yang diharapkan dapat mengimbangi penarikan dana non-residen dan mendorong industri dalam negeri.
OJK melakukan stress test secara rutin terhadap perbankan dengan menggunakan beberapa variabel skenario. Antara lain, makroekonomi serta mempertimbangkan faktor risiko utama yaitu risiko kredit dan risiko pasar. Termasuk potensi dampak transmisi dari perkembangan perekonomian global dan domestik terhadap kondisi bank dan melakukan langkah mitigasi yang diperlukan.
Sejauh ini, lanjut dia, penguatan USD terjadi terhadap seluruh mata uang secara global. Tercermin dari indeks nilai tukar USD terhadap sejumlah mata uang utama lainnya (DXY) yang mencatatkan tren kenaikan sejak akhir Maret 2024. Melansir MarketWatch hingga pukul 17.44, indeks DXY berada level 106,4.
Beberapa faktor yang memengaruhi penguatan USD antara lain adalah kebijakan suku bunga high for longer yang masih berlanjut di tengah kuatnya perekonomian AS. Namun secara bersamaan dengan laju inflasi Negeri Paman Sam yang masih cukup jauh dari target 2 persen. Diperkuat oleh pernyataan The Federal Reserve (The Fed) yang belum akan terburu-buru menurunkan suku bunga dan akan terus melihat perkembangan data-data perekonomian ke depan.
Sementara itu, tensi geopolitik di Timur Tengah kini meningkat setelah konflik langsung Iran dengan Israel. Insiden itu membuat kekhawatiran akan terjadinya perang yang makin meluas. Sehingga dapat membebani perekonomian dunia, terutama dari kenaikan harga komoditas energi, mineral utama, serta kenaikan biaya logistik.
Peningkatan tensi geopolitik dan ketidakpastian global menyebabkan USD yang merupakan salah satu safe haven asset terus diburu para pelaku pasar. Dengan begitu mendorong penguatannya lebih lanjut.
Bank Mandiri memastikan kondisi likuiditas masih solid meski terjadi fluktuasi nilai tukar. Corporate Secretary Bank Mandiri Teuku Ali Usman menilai, optimalisasi pengelolaan aset liabilitas secara prudent dengan manajemen risiko menyeluruh menjadi strategi perseroan. Termasuk, risiko pasar maupun likuiditas.