IndonesiaDiscover –
Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menilai sangat aneh jika pemerintah terus mengeklaim perekonomian Indonesia cukup baik namun di saat yang sama terus menambah anggaran bantuan sosial (bansos). Padahal bansos mestinya bersifat temporer dan darurat sebagai pencegahan bertambahnya penduduk miskin.
“Menjadi sebuah keanehan, di tengah klaim pertumbuhan ekonomi tinggi, bansos justru semakin besar dan luas secara sangat signifikan,” kata Yusuf melalui keterangan tertulis, Selasa (9/1).
Program Keluarga Harapan (PKH), misalnya, di akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yakni di penghujung 2014 hanya memiliki 2,7 juta keluarga penerima. Selang 4 tahun kemudian, penerima PKH bertambah menjadi 10 juta.
Dengan konsep graduasi, kata Yusuf, jumlah penerima PKH seharusnya menurun, alih-alih menjadi berlipat ganda jelang Pemilu 2019. Hingga kini pada 2023, jelang pemilu 2024, jumlah penerima PKH tetap 10 juta keluarga.
“Jika kita menerapkan konsep graduasi, 5% saja setiap tahunnya, antara 2018-2023 seharusnya jumlah penerima PKH menurun 2,3 juta, sehingga jumlah penerima PKH pada 2023 seharusnya tinggal sekitar 7,7 juta,” terangnya.
Baca juga: Potensi Politisasi Bansos Kian Masif, Pengamat: Pengawasan Harus Diperkuat
Jumlah penerima PKH yang terus dipertahankan besar, dan menjelang 2024 ditambah luas dengan bansos adhoc yaitu bansos beras dan BLT El-Nino, tidak mengindikasikan tingginya komitmen penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah.
Itu lebih menandakan besarnya motif politisasi bansos untuk mendapatkan keuntungan elektoral, sekaligus menandakan lemahnya upaya pemberdayaan ekonomi rakyat dan penciptaan lapangan kerja.
Secara substansi, penggunaan kekuasaan dan posisi jabatan publik untuk mendapatkan keuntungan personal terkategori sebagai korupsi. Dengan kata lain, imbuh Yusuf, secara substantif politisasi bansos termasuk salah satu bentuk korupsi.
“Namun secara teknis, adalah sulit membuktikan politisasi bansos jelang pemilu sebagai tindak pidana pemilu sebab bansos adalah kebijakan resmi pemerintah,” kata dia.
Baca juga:
https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/642762/presiden-upayakan-bantuan-beras-berlanjut-hingga-juni-2024
https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/642762/presiden-upayakan-bantuan-beras-berlanjut-hingga-juni-2024
Oleh karena itu, ke depan perlu ada regulasi yang mengatur perihal bansos. Beberapa arah regulasi tersebut di antaranya, pendistribusian bansos hanya boleh dilakukan oleh pejabat karir ASN, bukan oleh pejabat politik, apalagi setingkat presiden.
Kemudian bansos yang bersifat bagi-bagi uang seperti PKH atau bagi-bagi barang seperti BNPT atau bansos sembako, harus mengadopsi konsep graduasi bagi penerimanya. “Tidak boleh ada bansos yang meningkat jumlah penerimanya, bahkan hingga berlipat ganda tanpa ada rasionalitas yang kuat,” tutur Yusuf.
Kemudian fokus kebijakan penanggulangan kemiskinan seharusnya berbentuk pemberdayaan ekonomi rakyat dan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas, alih-alih terus mempertebal bansos.
Itu berkaitan dengan pernyataan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang menilai bansos merupakan alat pelestarian kemiskinan. Upaya untuk menekan angka kemiskinan menurut dia mestinya dilakukan melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Yusuf menyatakan sepenuhnya sependapat dengan sikap Wakil Kepala Negara. Sebab, sedianya bansos merupakan dukungan yang diberikan pemerintah dalam kondisi darurat kemiskinan. Konsep graduasi dalam bansos juga sejatinya telah diadopsi dan dimiliki Indonesia sejak lama.
Setidaknya ada dua konsep graduasi dalam bansos. Konsep graduasi pertama mengacu pada graduasi alamiah, yaitu karena seseorang sudah naik kelas ekonominya, tidak lagi terkategori miskin, sehingga tidak berhak lagi mendapatkan bansos.
Sedangkan konsep kedua mengacu kepada graduasi mandiri, yaitu ketika seseorang berdasarkan inisiatif pribadi berhenti dari kepesertaan bansos karena merasa sudah tidak lagi membutuhkan bantuan bansos. (Z-11)
Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menilai sangat aneh jika pemerintah terus mengeklaim perekonomian Indonesia cukup baik namun di saat yang sama terus menambah anggaran bantuan sosial (bansos). Padahal bansos mestinya bersifat temporer dan darurat sebagai pencegahan bertambahnya penduduk miskin.
“Menjadi sebuah keanehan, di tengah klaim pertumbuhan ekonomi tinggi, bansos justru semakin besar dan luas secara sangat signifikan,” kata Yusuf melalui keterangan tertulis, Selasa (9/1).
Program Keluarga Harapan (PKH), misalnya, di akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yakni di penghujung 2014 hanya memiliki 2,7 juta keluarga penerima. Selang 4 tahun kemudian, penerima PKH bertambah menjadi 10 juta.
Dengan konsep graduasi, kata Yusuf, jumlah penerima PKH seharusnya menurun, alih-alih menjadi berlipat ganda jelang Pemilu 2019. Hingga kini pada 2023, jelang pemilu 2024, jumlah penerima PKH tetap 10 juta keluarga.
“Jika kita menerapkan konsep graduasi, 5% saja setiap tahunnya, antara 2018-2023 seharusnya jumlah penerima PKH menurun 2,3 juta, sehingga jumlah penerima PKH pada 2023 seharusnya tinggal sekitar 7,7 juta,” terangnya.
Baca juga: Potensi Politisasi Bansos Kian Masif, Pengamat: Pengawasan Harus Diperkuat
Jumlah penerima PKH yang terus dipertahankan besar, dan menjelang 2024 ditambah luas dengan bansos adhoc yaitu bansos beras dan BLT El-Nino, tidak mengindikasikan tingginya komitmen penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah.
Itu lebih menandakan besarnya motif politisasi bansos untuk mendapatkan keuntungan elektoral, sekaligus menandakan lemahnya upaya pemberdayaan ekonomi rakyat dan penciptaan lapangan kerja.
Secara substansi, penggunaan kekuasaan dan posisi jabatan publik untuk mendapatkan keuntungan personal terkategori sebagai korupsi. Dengan kata lain, imbuh Yusuf, secara substantif politisasi bansos termasuk salah satu bentuk korupsi.
“Namun secara teknis, adalah sulit membuktikan politisasi bansos jelang pemilu sebagai tindak pidana pemilu sebab bansos adalah kebijakan resmi pemerintah,” kata dia.
Baca juga:
https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/642762/presiden-upayakan-bantuan-beras-berlanjut-hingga-juni-2024
https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/642762/presiden-upayakan-bantuan-beras-berlanjut-hingga-juni-2024
Oleh karena itu, ke depan perlu ada regulasi yang mengatur perihal bansos. Beberapa arah regulasi tersebut di antaranya, pendistribusian bansos hanya boleh dilakukan oleh pejabat karir ASN, bukan oleh pejabat politik, apalagi setingkat presiden.
Kemudian bansos yang bersifat bagi-bagi uang seperti PKH atau bagi-bagi barang seperti BNPT atau bansos sembako, harus mengadopsi konsep graduasi bagi penerimanya. “Tidak boleh ada bansos yang meningkat jumlah penerimanya, bahkan hingga berlipat ganda tanpa ada rasionalitas yang kuat,” tutur Yusuf.
Kemudian fokus kebijakan penanggulangan kemiskinan seharusnya berbentuk pemberdayaan ekonomi rakyat dan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas, alih-alih terus mempertebal bansos.
Itu berkaitan dengan pernyataan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang menilai bansos merupakan alat pelestarian kemiskinan. Upaya untuk menekan angka kemiskinan menurut dia mestinya dilakukan melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Yusuf menyatakan sepenuhnya sependapat dengan sikap Wakil Kepala Negara. Sebab, sedianya bansos merupakan dukungan yang diberikan pemerintah dalam kondisi darurat kemiskinan. Konsep graduasi dalam bansos juga sejatinya telah diadopsi dan dimiliki Indonesia sejak lama.
Setidaknya ada dua konsep graduasi dalam bansos. Konsep graduasi pertama mengacu pada graduasi alamiah, yaitu karena seseorang sudah naik kelas ekonominya, tidak lagi terkategori miskin, sehingga tidak berhak lagi mendapatkan bansos.
Sedangkan konsep kedua mengacu kepada graduasi mandiri, yaitu ketika seseorang berdasarkan inisiatif pribadi berhenti dari kepesertaan bansos karena merasa sudah tidak lagi membutuhkan bantuan bansos. (Z-11)