Sosial Budaya Dari Pameran Giling Wesi, Subandi dan Usaha Melukis Waktu 

Dari Pameran Giling Wesi, Subandi dan Usaha Melukis Waktu 

16
0

Wayang juga sistem penanggalan adalah hal penting dalam kehidupan manusia Jawa. Pameran bertajuk Giling Wesi di Bentara Budaya Jogjakarta yang berlangsung pada 4–13 November lalu adalah upaya menafsirkan waktu lewat seni (wayang) oleh perupa cum guru Subandi Giyanto.

WAYANG menjadi napas kehidupan Subandi. Perupa kelahiran Bantul, 22 Juni 1958, itu mengenal wayang sudah lebih dari setengah abad yang lalu. Sejak kecil, Subandi bergelut dan berproses dengan wayang. ’’Saya natah wayang membantu bapak untuk dijual. (Hasil penjualan wayang) untuk makan sehari-hari,’’ kata Subandi pada pembukaan pameran.

Berangkat dari rasa cinta kepada wayang, Subandi mencoba mengenalkan budaya Jawa itu kepada generasi muda. Ada misi wayang tampil sebagai sesuatu yang pop, penuh warna, ceria, menyenangkan, dan hadir ke galeri. Namun, tentu misi itu tidak meninggalkan kedalaman makna atau filsafat dari wayang tersebut.

Maka jadilah Subandi menggelar pameran tunggal bertajuk Giling Wesi dengan menampilkan 85 karya bertema wayang. Karya-karya di pameran itu bertemakan pawukon atau sistem penanggalan tradisional yang mempunyai waktu terukur dan digunakan sebagai dasar penentuan segala aktivitas daur hidup dan kematian.

KARYA METAFORA: Dalam karya Niring Rubenda ini perupa Subanti Giyanto menggambar gergasi biru, monyet bersayap, api, ular, burung, serta anjing. (GUNTUR AGA TIRTANA/JAWA POS RADAR JOGJA)

’’Pawukon ini sesungguhnya penanda bahwa saya ada dalam waktu itu. Sebab, ini bisa jadi legasi atas sesuatu yang baru, belum ada yang lain dan diikuti generasi maka saya telah mengisi waktu dengan baik,’’ jelas Subandi.

Lulusan IKIP Jogja (Universitas Negeri Jogjakarta, Red) itu mengaku mempelajari semua gambar pawukon dari gagrag Jogja maupun Solo. Lalu, dia melukis pawukon sesuai gayanya. Mengawinkan gambar pawukon gagrag Jogja dengan paringkelan atau taliwangke. Maka, lahirlah lukisan pawukon gaya Subandi Giyanto.

Selain itu, dia melukis pawukon ala wayang beber dengan figur wuku dan dewa-dewa yang menaungi wuku tersebut. Tiliklah lukisan bertajuk Wuku Gumbreg di Tanah Emas. Subandi menggambar sapi betina yang berpijak pada tanah keemasan. Di tubuh sapi itu terdapat simbol-simbol wuku Gumbreg.

Tergambar dalam lukisan itu lambing wuku Gumbreg, yakni Raden Gumbreg sedang menghadap Sanghyang Cakra yang mencelupkan satu kakinya di bokor berisi air. Pohon beringin yang jadi simbol wuku tersebut juga tegak menaungi Sanghyang Cakra.

PENCIPTA: Perupa Subandi Giyanto di dekat lukisannya yang berjudul Kuda dan Wuku Wayang. (WULAN/JAWA POS RADAR JOGJA)

Kurator Sindhunata mengatakan, dengan wuku, sebenarnya manusia Jawa sangat mengenal kekuatan waktu. Manusia mencoba meraba bahwa waktu itu bukan sesuatu yang netral. Pameran bertema pawukon merupakan pengingat betapa waktu adalah hal terpenting dalam menentukan kehidupan manusia.

’’Cobalah Anda pikirkan betul, bahwa apa yang paling menentukan dalam hidup kita sebetulnya adalah waktu. Ketika waktu habis, ketika mati sudah tidak bisa apa-apa, ketika menanti sesuatu kita sudah terlambat. Maka betapa hebatnya kuasa waktu, tidak ada orang tak bisa mengarahkan kuasa waktu,’’ jelas Romo Sindhu, sapaan Sindhunata.

Tinggalkan Balasan