Pariwisata Olahan Hasil Alam di Tangan-Tangan Dingin Pelaku Pariwisata Desa Pabelan

Olahan Hasil Alam di Tangan-Tangan Dingin Pelaku Pariwisata Desa Pabelan

10
0
IndonesiaDiscover –


Gambar 1: Panorama Desa Pabelan dari Atas\

Saat Sobat Pesona melakukan perjalanan ke suatu tempat, selain tempat wisatanya, apalagi yang membuat kalian ingin kembali berwisata ke tempat tersebut? Barangkali kuliner khas dan kerajinan tangan yang cocok diburu sebagai cendera mata, bukan? Nah, kali ini kita intip yuk, Desa Wisata Pabelan di Magelang, Jawa Tengah, yang warganya mahir mengolah sumber daya alam menjadi produk kuliner dan kerajinan tangan istimewa. 

Pak Wahyudi, Perajin Bambu Sekaligus Pembuat Mainan Anak Tradisional

Gambar 2: Lokasi Kerajinan Bambu Milik Pak Wahyudi

Pak Wahyudi memulai profesinya sebagai pengrajin bambu semenjak tahun 90-an. Pada saat itu, jumlah perajin bambu di desanya masih sekitar 70 orang. Sayangnya, perlahan, jumlahnya semakin sedikit. Hingga pada saat ini, hanya sekitar empat orang tersisa.

Selain melanjutkan apa yang telah dikerjakan oleh kedua orang tuanya, Pak Wahyudi menjadi pengrajin bambu karena beranggapan bahwa bambu adalah salah satu bahan baku yang ramah lingkungan. Bambu dapat menjadi bahan baku pengganti plastik. 

Gambar 3: Salah Satu Pegawai Pak Wahyudi Membuat Lampu dari Bambu

Jenis yang dipakai Pak Wahyudi adalah bambu tutul, bambu ampel, dan lain-lain. Batang bambu yang berwarna hijau ditebang dan dijemur sampai kekuningan. Baru setelah itu, bambu dibentuk. Misalnya jadi peralatan makan, lampu, peralatan rumah tangga, kursi, meja, sedotan, sampai mainan anak tradisional seperti gangsing dan othok-othok. 

Hasil karya Pak Wahyudi sebagian besar merupakan pesanan, baik dari dalam maupun luar negeri seperti Jerman, Itali. Tetapi ada pula yang memang ingin dibuat dan nantinya dijual melalui media sosial. Untuk mainan tradisional anak, biasanya dititipkan di penjual keliling di sekitaran Candi Borobudur atau lokasi wisata.

Gambar 4: Pak Wahyudi Menunjukkan Karya Mainan Anak Tradisionalnya

Berbicara tentang mainan anak tradisional, karena dianggap turut melestarikan perkembangan mainan anak tradisional, maka Pak Wahyudi sering diundang oleh beberapa komunitas yang berperan aktif dalam pelestarian mainan tradisional anak atau komunitas anti-gadget, bahkan komunikas skala ASEAN. 

Selain itu, Pak Wahyudi juga menerima kunjungan eduwisata dari sekolah untuk memperkenalkan proses kerajinan tangan dari bambu dan cara memainkan mainan tradisional anak. Agar lebih menarik, diselipkannya pula beberapa filosofi dari mainan tersebut. Misalnya permainan gangsing yang mengajarkan pada anak bahwa ketika sudah terjatuh harus tetap bangkit lagi.

Gambar 5: Beberapa Mainan Anak Tradisional dari Bambu Karya Pak Wahyudi

Bu Nur Fadhilah Pelestari Jamu Tradisional

Gambar 6: Rempah-Rempah Bahan Baku Jamu Tradisional

Temulawak, Asam Jawa, Beras Kencur, Kunyit, Cabe Puyang, Sambiloto, dan rempah alami lainnya selalu hadir meja dapur rumah Bu Nur Fadhilah setiap harinya. Bahan-bahan alam ini akan diolah menjadi minuman jamu berkhasiat yang sudah dinanti-nantikan oleh pelanggan dari dalam maupun luar desa. Dibantu anak perempuannya, Rifa, Bu Nur Fadhilah selalu bersemangat mengolah dan menjual jamu yang resepnya sudah turun-menurun dari mbahnya. Di keluarganya, Bu Nur Fadhilah adalah generasi ketiga penjual jamu.

Gambar 7: Bu Fadhilah Melayani Pembeli Jamu

Sebagai penjual jamu, Bu Nur Fadhilah juga memberikan edukasi kepada pada pembelinya. Misalnya khasiat tiap jamu untuk kesehatan. Untuk jamu dengan rasa manis seperti beras kencur biasanya untuk daya tahan tubuh, sedangkan untuk jamu yang pahit biasanya untuk menyembuhkan penyakit. Dengan pengolahan rempah yang masih tradisional, maka rasa jamu dijamin otentik dan bebas pengawet. Pemanis yang dipakai adalah gula aren, gula jawa, dan bisa juga gula pasir sesuai selera. Lalu, setelah itu, jamu dimasukkan ke dalam botol untuk siap dijual dengan mengendarai sepeda motor. 

Mulai berjualan pada 2010, awalnya Bu Nur Fadhilah menggunakan sepeda untuk menjajakan jamu, sebelum akhirnya beralih ke sepeda motor.  Kedua generasi penjual jamu sebelumnya masih menjajakan jamu dengan cara digendong. Meski cara memasarkan jamu mengalami perubahan, namun cara pembuatan, cita rasa, serta khasiat kesehatannya masih terjaga, berkat ketelatenan Bu Nur Fadhilah melestarikan warisan leluhur. 

Pak Nyoman, Perajin Batu yang Sebulan Sekali Diundang ke Luar Negeri

Berangkat dari rasa kekagumannya dengan cara pembangunan Candi Borobudur yang mendetail dan bertahan hingga kini, Pak I Nyoman Alim Mustapha yang kala itu masih anak-anak mulai berpikir bagaimana caranya agar dirinya juga dapat melestarikan budaya warisan dari nenek moyang.  Maka dari itu, beliau mulai belajar memahat. Karya pertamanya di tahun 1969 tersebut adalah patung kepala Budha setinggi 25 cm yang dibuat dalam kurun waktu 1 minggu. 

Menariknya, berawal dari keisengan untuk menjual pahatan pertamanya di pinggir jalan rumahnya di Bali, rupanya seorang wisatawan asal Amerika berniat membeli karya tersebut, bahkan menawarkan order berjumlah banyak. Meski awalnya berpikir tidak mungkin membuat pahatan 1.000 buah kepala Budha dalam waktu 3 bulan, tetapi hatinya mendorong untuk menyanggupi pemesanan tersebut. Nyatanya, pesanan itu pun terselesaikan.

Gambar 8: Pak Nyoman bersama Salah Satu Karyanya

Merantau dari Bali ke Magelang dan menjadi pemahat tingkat internasional sepertinya sudah menjadi garis hidup yang dipilihkan Tuhan untuk Pak Nyoman. Sampai saat ini, beliau mengatakan bahwa 90% jumlah pembeli karyanya berasal dari berbagai belahan dunia seperti Asia Tenggara, Amerika, Afrika Selatan, Eropa, dan lain-lain. Tak heran, undangan untuk membuat patung maupun relief di luar negeri pun berdatangan. Karena sekarang sudah memiliki perajin hingga ratusan orang yang mumpuni, kadang Pak Nyoman hanya memantau dari tanah air dan mengirimkan anak buahnya untuk menyelesaikan proyek di luar negeri yang bisa bulanan lamanya. 

Gambar 9: Miniatur Candi Borobudur Karya Pak Nyoman

Beberapa karya Pak Nyoman dapat dilihat di Nakula Sadewa Edupark yang ia kelola. Cukup dengan biaya Rp 20.000/orang, sekolah maupun komunitas bisa mengikuti kegiatan wisata belajar di taman ini. Selain dapat berkeliling melihat hasil-hasil pahatan Pak Nyoman, pengunjung juga dapat memantau cara pembuatan pahatan tersebut di workshop. Jika pengunjung ingin mempelajari cara memahat, Pak Nyoman juga dapat mengajari.  

Gambar 10: Pak Nyoman Sedang Memahat di Workshop-nya

Seru ya, pemanfaatan hasil alam di Desa Pabelan ternyata tak hanya menjadi potensi wisata tapi juga sekaligus melestarikan budaya warisan  Nusantara. Tanpa ketekunan para pelaku pariwisata seperti mereka, bisa jadi permainan tradisional, jamu, serta seni pahat yang khas ini akan berangsur punah, lho. 

Yuk, Sobat Pesona, kita dukung para perajin ini dengan cara membeli produk mereka,  bahkan kalau bisa turut mempelajari dan menjaga keberlanjutannya. Keunikan ragam warisan budaya Nusantara, hanya ada #diIndonesiaaja!

Tinggalkan Balasan