Sosial Budaya Sejarah Perayaan HUT Kemerdekaan di Istana Merdeka

Sejarah Perayaan HUT Kemerdekaan di Istana Merdeka

15
0

  Sejumlah prajurit TNI mengikuti gladi kotor Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan ke-78 Republik Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (13/8/2023). ANTARA FOTO/ Hafidz Mubarak

Sejarah Perayaan HUT Kemerdekaan di Istana Merdeka

Tercatat sudah tujuh pemimpin Indonesia menjadi inspektur upacara peringatan kemerdekan di istana buatan tahun 1873.

Setiap 17 Agustus bangsa Indonesia merayakan hari bersejarah memperingati kemerdekaan dari belenggu penjajahan selama 350 tahun. Satu hal yang selalu dinanti oleh masyarakat adalah upacara peringatan detik-detik proklamasi di Istana Merdeka Jakarta yang dipimpin oleh kepala negara serta dihadiri oleh para tokoh nasional, mantan-mantan presiden dan wakil presiden, serta pejuang kemerdekaan.

Tenda-tenda putih besar didirikan pada tiga sisi halaman istana buatan tahun 1873, yang berpohon rindang dan berair mancur untuk menampung tamu-tamu undangan, masyarakat umum, dan para pengisi acara. Hanya di istana berkelir putih bersih yang berlokasi di Jl Medan Merdeka Utara itulah, kita setiap tahunnya selalu mendengarkan naskah Proklamasi dibacakan oleh kepala negara diikuti penaikan bendera nasional di tiang setinggi 17 meter saat pagi hari dan penurunannya di waktu sore.

Tak lupa pula, aksi para pemuda terbaik dari 38 provinsi dalam Pasukan Pengibar Bendera Pusaka atau Paskibraka. Di mana mereka memamerkan kemampuan terbaik dalam hal baris-berbaris dengan kedisiplinan tingkat tinggi. Tidak ada toleransi untuk sebuah kesalahan sekecil apa pun.

Layaknya merayakan sebuah kemenangan, upacara di istana buah karya arsitek Hindia Belanda Jacobus Bartholomeus Drossares itu selalu menampilkan kegagahan pasukan TNI/Polri peserta upacara serta atraksi-atraksi kesenian nasional yang sungguh memikat. Begitu pula penampilan ribuan pelajar sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) dalam aubade menyanyikan lagu-lagu nasional. Sekolah-sekolah yang diundang umumnya berada tak jauh dari lokasi Istana Merdeka.

Namun, tidak banyak yang tahu kapan Istana Merdeka pertama kali dijadikan lokasi peringatan detik-detik proklamasi. Bangsa Indonesia justru lebih mengenal rumah pribadi Proklamator Soekarno di Jl Pegangsaan Timur nomor 56 atau sekitar 6 kilometer dari Istana Merdeka sebagai awal mula proklamasi dikumandangkan, pada 17 Agustus 1945.

Mengutip penjelasan di website Kementerian Sekretariat Negara, upacara perayaan kemerdekaan pertama kali diadakan di Istana seluas 2.400 meter persegi itu pada 17 Agustus 1950. Momentum itu bertepatan kembalinya Soekarno dari pengasingannya di Pulau Bangka pada awal 1950 selepas peristiwa Konferensi Meja Bundar, Desember 1949, sebagai pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda.

Sebelumnya Belanda sempat melancarkan Agresi Militer I sebagai upaya merebut kembali kemerdekaan Indonesia. Seperti dikisahkannya kepada Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Soekarno pun menginjakkan kaki pertama kali di Paleis te Koningsplein pada 7 Juli 1950. Masyarakat saat itu mengenalnya sebagai Istana Gambir karena terdapat banyak pohon gambir (Uncaria) di sekitarnya.

Selain memerintahkan pemasangan tiang bendera setinggi 17 meter untuk mengibarkan bendera merah putih yang telah dijahit ulang oleh Husein Mutahar. Awalnya bendera hasil jahitan Fatmawati tersebut terpaksa dipisahkan kedua warnanya saat peristiwa serangan Belanda di Agresi Militer I. Dalam halaman 389 cetakan keempat Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, diceritakan bahwa sebagai simbol negara, bendera tersebut harus diselamatkan untuk dikibarkan kembali pada waktunya.

Soekarno pun memerintahkan Mutahar selaku ajudan pribadinya, untuk menyelamatkan bendera pusaka tersebut dan meletakkan di dalam sebuah peti besi. Sebelum berangkat ke Yogakarta, Soekarno meminta pencipta lagu Syukur tersebut menyerahkan kembali bendera tersebut kepada dirinya di lain kesempatan. Pencipta lagu Hari Merdeka ini tak hilang akal. Demi menyelamatkan merah putih dari sitaan tentara Belanda, tentara berpangkat mayor laut itu pun membuka kembali jahitan bendera karya Fatmawati.

Lembaran kain warna putih ia sembunyikan di dalam bajunya dan kain merah ia selipkan ke tas pakaian. Setelah situasi aman, Mutahar yang kelahiran Semarang, 5 Agustus 1916 itu menjahit kembali lembar kain merah dan putih menjadi bendera pusaka di bekas lubang jahitan awal. Pada Juni 1948, Soekarno yang berada di pengasingan Pulau Bangka meminta ajudannya tadi mengirimkan bendera pusaka kepadanya. R Soedjono pun mendapat amanah menerbangkan bendera yang telah dibungkus koran kepada Soekarno.

Bendera itu pula yang akhirnya dikibarkan pertama kali pada 17 Agustus 1950 di Istana Merdeka, nama yang dipilih Soekarno menggantikan Istana Gambir. Nasib serupa juga dilakukan terhadap Istana Rijswijk yang berada di belakang Istana Merdeka dan oleh Sang Proklamator diberi nama baru Istana Negara. Ketika pertama kali memasuki Istana Merdeka, Soekarno mendapati kondisinya berantakan.

Itu terjadi setelah ditinggal pergi penghuni terakhirnya, Louis Joseph Maria Beel selaku Komisaris Tinggi Pemerintah Kerajaan Belanda di Indonesia. Beel yang juga Perdana Menteri Belanda era 1946-1948, menjabat Komisaris Tinggi sejak 29 Oktober 1948 sampai 18 Mei 1949 menggantikan peran Hubertus Johannes van Mook selaku gubernur jenderal terakhir Hindia Belanda. Mook angkat kaki dari Istana Gambir pada 1 November 1948 setelah memimpin Hindia Belanda sejak 14 September 1941.

Upacara penaikan bendera pusaka di Istana Merdeka pada 17 Agustus 1950 adalah ketiga kalinya sejak di Pegangsaan Timur pada 1945 dan setahun setelahnya, 17 Agustus 1946 di halaman Gedung Agung, Yogyakarta. Hal itu terjadi karena meski telah merdeka, situasi di Jakarta masih belum aman untuk diadakan upacara 17 Agustus dan menyebabkan Soekarno serta Mohammad Hatta selaku pemimpin Indonesia pindah ke Kota Gudeg dan memfungsikan Gedung Agung buatan tahun 1869 sebagai istana kepresidenan.

 

Saksi Tujuh Presiden

Dalam perjalanannya, Istana Merdeka telah menjadi saksi bisu puluhan tahun pusat peringatan Hari Kemerdekaan bangsa Indonesia. Bangunan bercorak Palladian, gaya arsitektur Eropa era abad 17 tersebut menjadi salah satu pencatat sejarah perjalanan bangsa di masa kemerdekaan. Tujuh presiden telah merasakan kebesaran Istana Merdeka termasuk menjadi inspektur upacara memperingati kemerdekaan.

Peringatan Kemerdekaan ke-22 pada 17 Agustus 1967 menjadi penanda bergantinya pemimpin bangsa, dari Bung Karno kepada Soeharto. Pada peringatan setahun berikutnya, yakni 17 Agustus 1968, bendera pusaka tak lagi dikerek demi menjaga nilai sejarahnya dan gantinya dibuatlah bendera duplikat terbuat dari sutra. Peringatan 17 Agustus 1997 untuk merayakan kemerdekaan Indonesia ke-52 tahun menjadi peristiwa terakhir kalinya Soeharto memimpin upacara.

Setahun kemudian, giliran Presiden BJ Habibie yang menjadi inspektur upacara HUT ke-53 Indonesia di Istana Merdeka. Habibie tercatat dua kali menjadi inspektur upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi. Saat Indonesia merayakan hari jadinya ke-55 pada 17 Agustus 2000, kepemimpinan telah beralih kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Waktu terus bergulir dan giliran Megawati sebagai Presiden Kelima RI yang memimpin upacara saat HUT ke-56 Indonesia, 17 Agustus 2001.

Ia sebagai Kepala Negara telah empat kali memimpin upacara penaikan dan penurunan bendera di Istana Merdeka. Selanjutnya, giliran Presiden Keenam Susilo Bambang Yudhoyono memimpin upacara sebagai Kepala Negara saat HUT ke-60 RI, 17 Agustus 2005 serta Presiden Ketujuh Joko Widodo sejak HUT ke-70 RI, 17 Agustus 2015.

 

Pindah Lokasi

Meski demikian, Istana Merdeka sempat vakum melaksanakan upacara 17 Agustus. Itu terjadi saat Indonesia memperingati  kemerdekaannya pada 17 Agustus 1963. Presiden Soekarno memindahkan lokasi upacara dari semula di Istana Merdeka ke Stadion Gelora Bung Karno. Tujuannya ingin mengenalkan stadion karya arsitek Indonesia, Friedrich Silaban, dan dikerjakan oleh insinyur-insinyur Uni Soviet itu kepada dunia.

Kala pandemi virus corona menebar dunia dan berimbas sampai ke Indonesia, hal menarik turut dirasakan di Istana Merdeka. Untuk pertama kalinya, seluruh peserta upacara saat upacara 17 Agustus 2020 diwajibkan memakai masker. Peserta upacara pun sangat dibatasi untuk menghindari penularan virus. Jumlahnya 67 orang terdiri dari tiga personel Paskibraka, 20 personel TNI/Polri sebagai pasukan upacara, 24 personel Korps Musik TNI, dan pasukan pelaksana tembakan kehormatan detik-detik proklamasi kemerdekaan yang berjumlah 17 orang.

Pihak Kementerian Sekretariat Negara kala itu tidak mengundang pejabat dan masyarakat. Bahkan selain petugas upacara, saat itu hanya dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Ketua MPR Bambang Soesatyo, Menteri Agama, Panglima TNI, dan Kapolri saja. Seluruh yang hadir juga wajib menjaga jarak dan membuat jalannya upacara begitu hening, lain dari biasanya meski kekhidmatannya tentu tak berkurang.

Tahun 2023 ini, Istana Merdeka untuk ke-72 kalinya menjadi saksi bisu peringatan detik-detik proklamasi. Acara itu merupakan HUT ke-78 RI, 17 Agustus 2023. Namun, bisa jadi upacara pada 17 Agustus 2023 ini menjadi yang terakhir disaksikan masyarakat di istana berciri khas enam pilar besar di teras depannya. Sebab, jika tidak ada aral melintang, pada 2024, Presiden Jokowi berkeinginan menggelar peringatan itu di Istana Kepresidenan di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang menjadi pusat pemerintahan baru Indonesia dan berada di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari


  Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Indonesia.go.id


Source link

Tinggalkan Balasan