Jakarta, IndonesiaDiscover – Diperkirakan lebih dari dua miliar orang terinfeksi hepatitis B di seluruh dunia. Bahkan, lebih dari 296 juta orang di antaranya adalah penderita hepatitis B kronis. Penyakit itu tergolong berbahaya, dan berpotensi berkembang menjadi fibrosis, sirosis, kegagalan hati, dan kanker hati.
Isu terkini terkait virus hepatitis dan mutasi yang menyertainya itu dibahas dalam webinar bertajuk “Isu Terkini Mengenai Biologi Molekuler & Bioteknologi dalam Penelitian Virus Hepatitis” yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (ITB). Webinar itu dilaksanakan bertepatan dengan peringatan Hari Hepatitits Sedunia.
Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN, Indi Dharmayanti saat membuka webinar pada Rabu (26/7/2023) lalu menyampaikan, sejak 1997, salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi tingkat keparahan virus hepatitis adalah dengan vaksinaksi hepatitis B pada bayi. Meskipun upaya itu dapat menurunkan angka prevalensi, di sisi lain upaya itu bisa menimbulkan mutasi gen yang memengaruhi patogenisitas dari hepatitis.
“Merujuk pada kondisi tersebut, tentunya riset terkini untuk hepatitis masih sangat dibutuhkan,” ucap Indi Dharmayanti dalam keterangan tertulisnya dikutip dari laman BRIN di Jakarta, Sabtu (29/7/2023).
Lebih lanjut, Kepala Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman BRIN, Elisabeth Farah Novita Coutrier, menyebutkan bahwa riset dan inovasi terkait penanganan dan strategi pengendalian penyakit hepatitis terus dilakukan oleh pusat risetnya. Di antaranya adalah penelitian untuk mengungkap mutasi penyebab kegagalan vaksinasi hepatitis B dan mutasi penyebab kegagalan deteksi dan pada progresivitas penyakit, misalnya sirosis dan kanker hati.
Salah satu narasumber webinar tersebut, peneliti Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman BRIN, Korri El Khobar mengungkapkan, hasil riset yang ia lakukan menunjukkan bahwa variasi tinggi dari virus hepatitis B (VHB) dan virus hepatitis C (VHC) dapat memengaruhi penjalanan penyakit dan respon terhadap pengobatan.
“Infeksi VHB dapat dicegah dengan vaksin hepatitis B, sedangkan infeksi VHC dapat diobati dengan pengobatan Direct Acting Antivirals yang efektif,” ungkap Korri dalam paparan berjudul “Epidemiologi Molekuler Virus Hepatitis di Indonesia.”
Korri menambahkan, pengobatan Direct Acting Antivirals (DAA) melalui terapi antiviral menjadi obat efektif yang menghambat replikasi VHC dengan tingkat SVR lebih dari 95%. Namun, Korri menuturkan, akan tetap terjadi kegagalan terapi DAA pada hepatitis C kronis karena adanya substitusi nukleotida terkait resistensi yang dapat berkembang menjadi variasi virus terkait resistensi.
“Variasi genotipe VHC dan manisfestasi klinis terkait progresi penyakit hati yaitu genotipe VHC-1b dapat menyebabkan progresi penyakit hati yang lebih parah dan kejadian kekambuhan penyakit setelah transplantasi hati,” ucap Korri. Oleh karena itu, Korri mengingatkan, meskipun saat ini infeksi VHB dan VBC dapat dicegah dan diobati, namun deteksi dini VHB dan VHC lebih diutamakan untuk dapat mengurangi transmisi virus dan menghambat progresi penyakit.
Isu terkini lain virus hepatitis juga disampaikan periset peneliti Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman BRIN, Caecilia Sukowati dalam paparan berjudul “Patogenitas Molekuler Virus Hepatitis dan Efeknya pada Kesehatan Manusia.” Caecilia menjelaskan, patogenesis infeksi VHB dan VHC umumnya diperantarai oleh sistem imun inang. Namun, virus mampu mengembangkan berbagai mekanisme untuk menghindari eliminasi dari respon imun dan dapat terus bereplikasi dalam inang yang terinfeksi selama bertahun-tahun.
“Tak hanya itu, komponen virus sendiri dapat menyebabkan kanker tanpa jalur peradangan. Kemampuan protein virus baik tipe liar atau mutasi mampu mengubah fungsi sel normal, mengaktifkan jalur onkogenik, dan menjadikan sel-sel hati pada mutagen lain lebih sensitif. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakstabilan jalur persinyalan molekuler pada manusia yang berakibat kerusakan hati yang berkepanjangan,” ungkap Caecilia.
Lebih lanjut, Caecilia juga mengungkapkan bahwa terkadang orang yang telah terinfeksi virus hepatitis tidak menyadari gejala pada tubuhnya. Hal ini yang patut diwaspadai karena virus hepatitis tersebut dapat menular kepada orang lain. Pada saat ini, terdapat metode deteksi virus hepatitis yang bermutasi dan dapat dimanfaatkan sehingga resiko penularan dapat dikurangi.
Sumber Foto: Humas BRIN