Produk tenun khas Sumba di toko cenderamata di Kupang, NTT. KEMENPAREKRAF
Semburat Kearifan Lokal pada Sehelai Tenun
Kain tenun merupakan salah satu produk kebudayaan Indonesia yang proses pembuatannya sarat dengan kearifan lokal.
Indonesia memiliki beragam jenis kain tenun. Namun hingga kini, belum ada mengetahui secara pasti jumlah jenis kain tenun khas Indonesia. Ada yang menyebutnya 19, tapi ada juga yang mengatakan 20 jenis.
Terlepas dari itu, setiap kain tenun khas Indonesia selalu mewakili indetitas dari daerah asalnya. Artinya, produk kain tenun merupakan salah satu produk kebudayaan nusantara yang proses pembuatannya sarat oleh kearifan lokal.
Kebanyakan, kain teknik tenun hanya dibuat dalam skala rumah tangga. Hasil-hasil tenun khas Indonesia yang telah kondang ke antero jagat adalah tenun Palembang, Jawa Barat, Sumatra Barat, Sambas, Banjar, dan Bugis.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), produk kain tenun yang dihasilkan masyarakat di sana dikenal memiliki motif yang begitu kaya. Boleh jadi, itu karena NTT memiliki 20 kabupaten dan satu kota yang dihuni oleh 15 suku atau etnis tertentu, dengan adat dan kebudayaan yang berbeda-beda.
Mereka, masing-masing suku, memiliki kreasi kain tenun mereka sendiri sesuai dengan adat, budaya, dan kesenian mereka. Ini terlihat dari corak hias atau motif tenunannya. Di Alor saja, ada setidaknya 81 motif tenun.
Banyaknya ragam tenun NTT, antara lain, karena di sana kain jenis itu memiliki banyak fungsi. Tak hanya menjadi busana sehari-hari, tenun juga dipakai sebagai busana tarian atau upacara adat, sebagai mas kawin, alat penghargaan dalam upacara kematian, alat pembayar denda adat, alat tukar (uang), perlambang strata sosial seseorang, alat penghargaan kepada tamu, sampai alat untuk menolak bencana.
Kerajinan tenun di NTT diajarkan secara turun-temurun. Masyarakat NTT menganggap kain tenun sebagai harta yang bernilai tinggi. Sebab, proses pembuatan kain itu sangat sulit dan membutuhkan waktu lama.
Tantangan Para Perajin
Sebagai bagian dari budaya bangsa, tenun pun harus mengikuti tuntutan zaman. Antara lain, menjadi produk yang berkelanjutan. Sebab bukan tidak mungkin, ketika ada rencana ekspor, muncul pertanyaan tentang pemenuhan kriteria ramah lingkungan atau eco friendly pada produk itu?
Itu memang menjadi tantangan tersendiri bagi perajin kerajinan khas, termasuk tenun. Lantas, apakah kiranya syarat itu menjadi persoalan tersendiri bagi para perajin tenun?
Bersyukur, hal itu bukanlah ganjalan bagi mereka. Pasalnya. sejak dahulu kala, mereka ternyata sudah membuat produk yang eco friendly.
Diketahui, tenun Sumba, misalnya, dibuat dengan menggunakan teknik pewarnaan dari bahan-bahan yang berasal dari alam. Sehingga, tentu proses pembuatannya tidak merusak lingkungan.
Kearifan lokal berupa penggunaan pewarna alami itu sangatlah penting. Terlebih karena saat ini industri tekstil cenderung didominasi pewarna kimia yang relatif berbahaya bagi tubuh serta dapat mencemari lingkungan.
Teknik pewarnaan tenun nusantara dengan menggunakan pewarna alami, salah satunya, dilakukan oleh para perajin tenun di Waingapu, Sumba Timur, NTT. Di sana, warna-warna yang diaplikasikan pada kain tenun ikat diambil dari tanaman-tanaman endemik lokal. Seperti, tanaman wuira (nila), akar mengkudu, serta daun dan kulit lobak.
Bahan dasar warna biru (indigo) dibuat dari tanaman wuira atau nila. Dalam proses pewarnaan, tanaman wuira yang telah dipanen kemudian diremas, direndam dalam air, serta dicampur dengan kapur.
Rendaman tersebut dibiarkan selama beberapa hari sehingga menghasilkan endapan indigo. Penggunaan tanaman wuira di masa lalu, sangatlah terbatas. Pasalnya, hanya kaum perempuan yang boleh memanen dan mengolah tanaman tersebut.
Lalu, untuk menghasilkan warna dasar merah, perajin harus memproses akar mengkudu. Berbeda dengan proses indigo, bahan-bahan pewarna merah harus ditumbuk agak halus. Setelah itu, bahan-bahan tersebut direndam dan diaduk dalam air sehingga mengasilkan olahan seperti bubur.
Sebelum benang dicelupkan ke larutan pewarna merah, terlebih dahulu dilakukan proses perminyakan. Benang dicelupkan ke dalam larutan dari bahan-bahan alami seperti kemiri agar warna merah dari larutan mengkudu dapat lebih meresap ke dalam benang.
Sebelum dicelupkan ke dalam larutan, benang diberi gambar/motif. Motif yang dibuat umumnya adalah apa yang ada di sekitar mereka seperti hewan jenis kuda, buaya, burung, dan ayam.
Motif-motif yang dibuat memang memiliki makna dan ceritanya sendiri-sendiri. Semisal motif burung dan ayam, yang menjadi simbol musyawarah. Lalu ular dan udang sebagai simbol reinkarnasi.
Tahap selanjutnya adalah pencelupan benang ke dalam larutan warna. Pencelupan dilakukan beberapa kali sesuai dengan kepekatan warna yang dikehendaki. Benang yang dicelupkan ke larutan indigo dapat menghasilkan warna biru atau biru kehitaman, sementara benang yang dicelupkan ke larutan mengkudu dapat menghasilkan warna merah atau coklat.
Tahap akhir dalam rangkaian proses produksi kerajinan tenun adalah menenun benang-benang yang sebelumnya sudah dicelupkan dan dijemur hingga kering. Umumnya, penenun adalah para perempuan.
Proses menenun rata-rata membutuhkan waktu sekitar satu minggu hingga dua minggu. Jika dihitung keseluruhan proses, dari tahap awal hingga menjadi sebuah kain, maka diperlukan waktu berbulan-bulan, bahkan bisa mencapai satu tahun, untuk menghasilkan sehelai kain tenun ukuran besar. Jadi, mari kita lestarikan produk berbasis budaya lokal, ya!
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda sari
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Indonesia.go.id