Sosial Budaya Memulai Hidup Baru di Kelenteng See Hien Kiong

Memulai Hidup Baru di Kelenteng See Hien Kiong

20
0

  Keramaian pada Kelenteng Fashion Street di Jl Klenteng, Padang, Sumatra Barat, Minggu (15/1/2023). ANTARA FOTO/ Iggoy El Fitra

Memulai Hidup Baru di Kelenteng See Hien Kiong

Kelenteng See Hien Kiong menjadi saksi bisu perkembangan dan akulturasi etnis Tionghoa di ibu kota Sumatra Barat sejak berabad silam.

Kilau lampu berpendaran dari atas sebuah panggung terbuka seperti hendak menembus langit, bersaing dengan lantunan musik technolewat pelantang suara hitam mengiringi lenggak lenggok peragawan dan peragawati di sebuah lapangan seluas sekira 300 meter persegi. Ratusan warga, tua-muda, remaja, dan anak-anak menyemut menyaksikan para model memamerkan busana putih dan merahyang dikenakan.

Suasana Minggu malam, 15 Januari 2023, di sepetak lahan tepat di ujung Jalan Kelenteng, Kelurahan Kampung Pondok, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang itu kontras dengan situasi sekitar yang cenderung sepi. Rupanya malam itu sedang berlangsung peragaan busana atau fashion show oleh sejumlah perancang busana Padang menyambut Hari Raya Imlek tahun 2023.

Temanya Kelenteng Fashion Street digagas oleh Andri Tanzil, seorang make-up artistternama di Padang yang menampilkan beragam kreasi pakaian paduan etnis Tionghoa dan Minangkabau. Terlepas dari acara itu, ada hal menarik yang dapat diangkat karena lokasi kegiatan berada di sepetak lahan dan bangunan yang semula adalah tempat persembahyangan etnis Tionghoa dan penganut Buddha, Tao, serta Konghucu.

Tempat itu bernama Kelenteng See Hien Kiong dan menjadi saksi bisu perkembangan dan akulturasi etnis Tionghoa di ibu kota Sumatra Barat sejak berabad silam. Kelenteng dibangun untuk memenuhi kebutuhan peribadatan masyarakat etnis Tionghoa yang jumlahnya semakin bertambah kala itu dan bermukim di sekitar kawasan Batang Arau, sungai yang membelah Padang.

Mayoritas pendatang etnis Tionghoa yang masuk ke Padang beraktivitas sebagai pedagang. Mereka kebanyakan adalah orang-orang Hokkian bermarga Tjiang serta Tjoan Tjioe asal Zhangzhou dan Quanzhou di Provinsi Fujian, Tiongkok. Ini seperti dikutip dari website Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumbar. Semula rumah ibadah itu diberi nama Kelenteng Kwan Im Teng, diambil dari nama dewi etnis Tionghoa, Kwan Im yang merupakan dewi kasih sayang.

Bentuknya masih sederhana yakni sebuah bangunan kayu beratap rumbia. Sebuah lonceng besar dengan cap “1841” di salah satu sudut bangunan menjadi penanda didirikannya kelenteng. Musibah menimpa kelenteng pada 1861 ketika bara hio sedang dihidupkan oleh Pendeta Sae Kong beterbangan ditiup angin dan menempel pada atap rumbia serta menyebabkan terjadinya kebakaran besar.

Kelenteng pun terbakar habis dan rata dengan tanah, hanya tersisa puing kayu dan beberapa patung saja. Saat Belanda menunjuk tokoh Tionghoa Kampung Pondok bernama Lie Goan Hoat sebagai kapten, ia pun berinisiatif untuk membangun ulang kelenteng pada 1893 bersama dua letnan, Liem Soen Mo dan Lie Bian Ek. Ketiganya mengajak seluruh etnis Tionghoa Padang bersatu mengumpulkan dana untuk pembangunan ulang kelenteng.

Bangunan baru pun berdiri di atas lahan lama setelah dibangun selama empat tahun. Pada 1905, namanya diganti menjadi Kelenteng See Hien Kiong. Secara harfiah, kelenteng itu mengandung makna bahwa masyarakat akan menemukan ketenangan dan kebahagiaan ketika ada di dalamnya. Kelenteng menjadi tempat orang mencari obat jika sakit, memberi keberuntungan bagi para pedagang, dan menjadi tempat memulai kehidupan baru.

Kapten Lie mendesain sendiri kelenteng dengan bantuan pekerja dari tanah Tiongkok. Ada sebuah kolam besar di halaman kelenteng dan ornamen patung naga saling berhadapan dan dipisahkan oleh guci besar keemasan dan sebuah jembatan kecil menghubungkan kedua naga. Bangunan induk kelenteng terdiri dari tiga ruangan, yaitu ruangan utama berada di tengah, ruang semedi di sisi kanan serta ruang perkantoran di sisi kiri.

Pada bagian depan bangunan induk terdapat dua buah tempat pembakaran hio. Bagian atapnya yang berwarna merah dibuat model tanduk atau gonjong seperti atap rumah gadang. Pada keempat ujung tanduk berhiaskan empat naga ditingkahi ukiran aneka motif khas Tiongkok warna emas. Pada ambang pintu masuk menuju bagian dalam bangunan induk, terdapat papan nama dengan tulisan warna emas yang menggantung pada atap.

 

Dihantam Bencana

Seluruh dinding luar penuh dengan hiasan ukiran dan lukisan 11 naga di sisi atas. Semua ornamen tersebut punya makna dan arti mendalam bagi masyarakat Tionghoa. Sayangnya seluruh keindahan itu nyaris musnah karena dihantam bencana gempa bumi berkekuatan 7,6 Skala Richter pada 30 September 2009. Kelenteng yang saat itu telah berusia 116 tahun mengalami rusak berat.

Ruang kanan dan kiri kelenteng runtuh dan membuat bangunan induk nyaris tak bersisa. Sehingga untuk kegiatan peribadatan dialihkan dengan membuat bangunan semipermanen beratap seng dan dinding terpal. Bangunan bercat kuning dan merah ini berada di sebelah timur kolam. Musibah kembali berulang ketika bagian atap kelenteng ambruk karena diterjang angin kencang disertai hujan lebat pada 25 Juni 2016.

Saat itu bangunan kelenteng sudah tidak dipergunakan lagi untuk beribadah karena masyarakat Tionghoa setempat sudah membangun kelenteng baru pada Desember 2010 dan selesai dikerjakan awal 2013 dan diresmikan Maret 2013. Lokasi kelenteng baru hanya sekitar 100 meter dari bangunan lama yang telah terdaftar sebagai aset cagar budaya Kelas A Kota Padang.

Desain bangunan baru Kelenteng See Hien Kiong mencontoh model kelenteng kuno Hokkian, Tjoan Tjiu. Bentuknya kini jauh lebih modern dan mewah serta dikerjakan oleh desainer dari Tiongkok. Kelenteng ini menjadi salah satu tujuan wisata sejarah di Kota Tua Kampung Pondok dan terbuka untuk umum serta hanya ditutup ketika sedang ada upacara keagamaan.

Pengunjung hanya bisa menikmati bagian luar bangunan termasuk halaman muka kelenteng dan dilarang masuk hingga ke dalam bangunan induk. Benda-benda bersejarah berusia ratusan tahun peninggalan dari bangunan lama ditempatkan di tempat baru ini. Misalnya, lonceng tua ditopang oleh kayu. Kemudian puluhan arca buatan Tiongkok berusia ratusan tahun yang ditempatkan di dalam bangunan kelenteng.

Terdapat papan identitas dari kayu berukir berisi nama arca seperti tulisan “Koean Im Hoe Tjo” untuk arca emas berpakaian kain warna jingga. Sedangkan dua arca yang ada di sebelahnya terdapat tulisan “San Pai Tjo Soe” dan “Mak Tjo Po”. Ketika menjelang perayaan Imlek, seluruh arca ini dibersihkan oleh masyarakat Tionghoa. Pengurus kelenteng pun tak lupa memasang 500 lampion merah yang digantungkan di atas halaman rumah ibadah dan akan menyala indah saat malam tiba.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari


  Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Indonesia.go.id


Source link

Tinggalkan Balasan