Sosial Budaya Hujan Buatan, Mencegah Kekeringan hingga Banjir

Hujan Buatan, Mencegah Kekeringan hingga Banjir

5
0

  Sejumlah petugas memasukkan garam ke dalam pesawat Cassa A-2104 untuk persemaian garam dengan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) di Skadron Udara 2, Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (28/12/2022). ANTARA FOTO/ Asprillia Dwi Adha

Hujan Buatan, Mencegah Kekeringan hingga Banjir

Teknologi modifikasi cuaca bukan barang baru bagi Indonesia. Sejak 1977, proyek hujan buatan itu sudah dimulai.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi selama sepekan sejak periode Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2023, sejumlah wilayah Indonesia, khususnya Pulau Jawa, berpotensi mengalami hujan dengan intensitas lebat hingga sangat lebat. Atas dasar itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui surat resminya pada 23 Desember 2022, meminta BRIN untuk melaksanakan operasi teknologi modifikasi cuaca (TMC) di wilayah Jawa Barat.

Untuk itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama dengan (BNPB), BMKG, dan TNI-AU melakukan operasi TMC, untuk mengantisipasi cuaca ekstrem di Jawa Barat. Hal ini dilakukan untuk mengurangi intensitas curah hujan selama periode Nataru.

Koordinator Laboratorium Pengelolaan Teknologi Modifikasi Cuaca BRIN Budi Harsoyo menyatakan, operasi TMC difokuskan pada tiga titik rawan banjir jalur transportasi darat di area Pantura, yakni di Jembatan Cipunegara, km 136, dan km 151 ruas Tol Cipali.

Budi Harsoyo menjelaskan, dalam pelaksanaan operasi ini juga memperhatikan informasi kejadian bencana yang dirilis oleh BNPB, seperti banjir atau longsor. “Di titik-titik yang terjadi banjir atau longsor kita akan coba hindari penyemaian garam (NaCl), paling aman adalah menyemai di wilayah perairan laut, sehingga hujan dapat diturunkan di laut,” katanya, di tengah persiapan operasi TMC di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (29/12/2022).

Dalam operasi TMC tersebut, BRIN mengerahkan 15 personel peneliti dan perekayasa. Setiap hari, tim operasi TMC merencanakan enam sorti penerbangan penyemaian awan. Namun, aktualnya menyesuaikan dengan seberapa tinggi potensi hujannya.

Saat pelaksanaan operasi TMC, ulas Budi, tim juga mencoba untuk mendistribusikan curah hujannya. “Artinya, tidak mungkin meniadakan hujan sama sekali kalau potensi ancamannya sudah sedemikian tinggi. Tapi kita akan mencoba mengupayakan meredistribusi curah hujannya, baik secara spasial, maupun temporal,” jelas peneliti BRIN tersebut.

Waktu terbang hanya sejak pagi sampai dengan batas matahari terbenam, sekitar pukul 17.15 WIB. Hal ini mengingat penerbangan modifikasi cuaca merupakan penerbangan berisiko tinggi.

Kepala Dinas Penerangan TNI AU Indan Gilang menambahkan, operasi TMC direncanakan berlangsung selama periode 25 Desember 2022 sampai 3 Januari 2023, dengan didukung oleh dua unit armada pesawat Cassa 212-200 yang didatangkan dari Skadron Udara 4 Lanud Abdulrahman Saleh, Malang.

Total kru yang dilibatkan berjumlah 22 orang. Sampai dengan Kamis (29/12/202), garam yang disemai kurang lebih 8,8 ton, dengan jumlah jam terbang 20 jam dalam 12 sorti. Setiap sorti penerbangan, pesawat Cassa membawa 800 kg garam.

Dari pantauan, rata-rata pergerakan angin saat ini dari barat ke utara. Oleh karena itu, Tim TMC mempercepat pertumbuhan awan dengan penyemaian garam, sehingga pertumbuhannya berada di wilayah laut khususnya di Selat Sunda. Dengan begitu, hujannya diturunkan di sana, sehingga tidak sempat masuk ke daratan. Hal serupa juga diterapkan wilayah Jawa Barat bagian selatan.

 

Sejarah TMC

TMC bukan barang baru bagi Indonesia. Sejak 1977, proyek yang dulu lebih dikenal dengan istilah hujan buatan itu sudah dimulai. Ide itu muncul, saat Presiden Soeharto melihat pertanian di negara Thailand yang cukup maju. Setelah diamati, majunya pertanian Thailand disebabkan karena suplai kebutuhan air pertanian dibantu oleh modifikasi cuaca.

Kemudian, Presiden Soeharto pun mengutus Menristek BJ Habibie untuk mempelajari TMC. Di 1977, proyek percobaan hujan buatan dimulai, Waktu itu pelaksanaannya masih didampingi asistensi dari Thailand.

Jadi memang awalnya TMC ini dipelajari di Thailand, lantas diaplikasikan di Indonesia. Fokusnya untuk mendukung sektor pertanian dengan cara mengisi waduk-waduk strategis baik untuk kebutuhan PLTA atau irigasi.

Kepala Laboratorium Pengelolaan Teknologi Modifikasi Cuaca BRIN Budi Harsoyo menyebutkan, setelah melakukan percobaan hujan buatan 1977, baru tahun 1978 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berdiri. Kala itu, proyek hujan buatan saat itu berada pada Direktorat Pengembangan Kekayaan Alam (PKA).

Tahun 1985, berdiri UPT Hujan Buatan berdasarkan SK Menristek/Ka BPPT nomor 342/KA/BPPT/XII/1985. Lalu pada 2015, mulai dikenal istilah teknologi modifikasi cuaca sesuai dengan Peraturan Kepala BPPT 10/2015 yang mengubah nomenklatur UPT Hujan Buatan menjadi Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca.

Terakhir, yakni pada 2021, setelah terintegrasi ke BRIN, kini pelayanan TMC berada di Laboratorium Pengelolaan TMC di bawah Direktorat Pengelolaan Laboratorium, Fasilitas Riset dan Kawasan Sains dan Teknologi.

Dalam satu dekade terakhir, frekuensi bencana hidrometeorologi semakin meningkat, baik kebakaran hutan dan lahan, longsor, dan banjir sehingga pengaplikasian TMC berkembang untuk memitigasi bencana.

Tren permintaan TMC kemudian meluas sesuai kebutuhan, seperti penanggulangan kebakaran hutan dan pembasahan lahan gambut, penangulangan banjir dan pengurangan curah hujan ekstrem, hingga pengamanan infrastruktur dan acara besar kenegaraan.

Pertama kali, operasi TMC yang bertujuan untuk mengurangi curah hujan diaplikasikan untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan SEA Games XXVI Palembang 2011, kemudian dilakukan untuk penanggulangan banjir Jakarta pada 2013, 2014, dan 2020, MotoGP Mandalika 2022, hingga yang terakhir KTT G20 2022.

 

Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari


  Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Indonesia.go.id


Source link

Tinggalkan Balasan