Indonesia Discover –
Ida Dayak yang bernama asli Ida Andriani menjadi viral di media sosial setelah keberadaan pengobatan alternatif berubah menjadi kisruh.
Antropolog asal Kalimantan Timur menilai pengobatan alternatif masih diminati karena “keputusasaan” masyarakat untuk berobat.
Namun, dokter spesialis ortopedi mengingatkan masyarakat untuk mempertimbangkan segala risiko sebelum mengunjungi pengobatan tradisional.
Di sisi lain, pemerintah mencuatkan wacana kewajiban pengobat tradisional untuk memiliki surat tanda daftar penyembuh tradisional (STPT).
Kehadiran pengobatan alternatif dari pasar ke pasar oleh Ida Dayak diketahui sejauh ini baru dimulai pada awal tahun 2021.
Siapakah Ida Dayak?
Dari hasil informasi yang dihimpun berbagai media, diketahui nama asli Ida Dayak adalah Ida Andriani. Beliau lahir di Pasir Belengkong, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur pada tahun 1972.
Pengobatan tradisional yang dijalankan oleh Ida Dayak yang akhir-akhir ini ramai justru mengalami goncangan di tahun 2021. Ia mentraktir warga sekitar dari satu pasar ke pasar lain, sambil menawarkan sebotol Minyak Bintang seharga Rp 50.000.
Saat Ida Dayak mengoleskan Minyak Bintang pada pria tersebut, ia merasakan kesemutan di kakinya. “Masih bengkok jadi ada penitinya,” katanya sambil meluruskan tangan pria itu.
“Nggak usah bayar, gratis kok,” kata Ida Dayak.
Video ini telah dilihat 35,5 juta kali dengan 30.000 komentar. Sejumlah media lokal kemudian memberitakannya. Sejak saat itu, video terkait pengobatan tradisional yang dilakukan oleh Ida Dayak kerap mendapat komentar yang melimpah.
Selain mengatasi patah tulang, video pengobatan tradisional Dayak Ida yang beredar antara lain mengobati orang yang sulit bicara, membolehkan pengguna kursi roda untuk menggerakkan kaki, urat terjepit, dan mata rabun.
Namun, penyebutan nama “Dayak” juga mengundang pertanyaan antropolog Universitas Mulawarman, Martinus Nanang. Pasalnya, masyarakat Kabupaten Paser cenderung mengakui diri sebagai etnis Paser yang terpisah dari Dayak.
“Ibu Ida bisa saja lahir di Paser. Saya tidak tahu dia lahir di Paser dari keluarga Pasernya atau orang luar yang lahir di Paser.”
Berdasarkan motif busana dan aksesoris yang digunakan oleh Ida Dayak, “bukan motif etnik Paser, melainkan etnik Dayak Kenyah atau kelompok Kayanic yang terdiri dari Kayan, Kenyah dan Bahau.”
Menurut Martinus, kemungkinan kata Dayak digunakan karena harga jualnya lebih tinggi. “Kata Dayak punya nilai jual, eksotismenya itulah yang dijual dengan kata Dayak,” ujarnya.
Kepopuleran Ida Dayak dan munculnya sejumlah akun yang mengatasnamakan Ida Dayak
Ida Dayak tampak dikawal ketat oleh sekitar 10 anggota TNI untuk mencegah massa diinjak-injak di Gelanggang Olahraga (GOR) Kartika Madivif 1, Cilodong Kostrad, Depok, Senin (03/05).
“Kegiatan hari ini kami hentikan. Kami pulang pergi dengan mobil. Kalian tidak perlu kembali,” teriak seseorang melalui pengeras suara.
Hal itu tercermin dari akun @idadayak7.
Ini merupakan hari pertama kegiatan pengobatan alternatif bagi perempuan Kaltim yang semula dijadwalkan dua hari, 3-4 April 2023.
“Bagaimana bisa selesai semua ini dalam sehari, bahkan tidak datang dari luar kota. Bukan Bu Ida yang tidak datang. Masuklah, tapi di dalam dan pasiennya juga penuh,” demikian keterangan tertulis dalam surat tersebut. video. memotong.
Dalam keterangan terbarunya, Ida Dayak mengimbau calon pasiennya untuk tidak membeli Minyak Bintang di toko on line. Minyak khas Kalimantan ini digunakan sebagai obat dan dijual oleh Ida kepada pasiennya selama berobat.
“Perlakuan adil [gratis]. Kalau bisa, jangan beli obat online, itu tidak boleh. Karena Ibu Ida tidak mau menjual narkoba secara online. Video saya hanya digunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab,” ujarnya dalam sebuah unggahan.
BBC News Indonesia menemukan setidaknya ada 29 akun berbeda dengan mencari kata “Ida Dayak”. Beberapa akun Instagram ini menawarkan Minyak Bintang serta jadwal perawatan.
“Itu hanya penipuan, mau tidak mau. Karena ketemu Bu Ida langsung ketemu. Tidak ada uang, tidak ada pendaftaran. Pengobatannya gratis,” kata Ida Dayak.
Dalam pemeriksaan serupa, BBC Indonesia juga menemukan lebih dari 30 akun yang masuk dalam kata kunci pencarian “Ida Dayak” di TikTok. Beberapa akun ini juga menjual Minyak Bintang dan layanan pendaftaran.
Mengapa pengobatan alternatif Ida Dayak diminati?
Antropolog sosial budaya dari Universitas Mulawarman Kalimantan Timur, Martinus Nanang, mengatakan masih ada sebagian masyarakat yang percaya akan kekuatan gaib.
“Sepertinya iman masih kuat di Indonesia,” kata Martinus kepada BBC News Indonesia, Rabu (04/05).
Faktor ini mendominasi alasan mengapa minat masyarakat terhadap pengobatan alternatif masih besar, kata Martinus.
Keyakinan akan alasan lain ini kemudian dibuktikan dengan video yang beredar di masyarakat melalui media sosial.
“Orang-orang suka melihat apa yang sulit dipercaya, tapi itu terjadi. Kalau lihat videonya, kalau tidak diedit, kelihatannya benar,” ujarnya.
Apalagi, lanjut Martinus, pengobatan alternatif ini juga difasilitasi oleh TNI. “Masyarakat semakin percaya, masyarakat akan terkesan ibu Dayak ini tidak main-main sampai ada lembaga yang mendukungnya,” ujarnya.
Dalam sebuah unggahan, bahkan mantan Panglima TNI Andika Perkasa menyempatkan diri menyapa Ida Dayak saat sedang makan.
Masih ingat Ponari?
Martinus juga menilai minat masyarakat terhadap pengobatan alternatif bukan karena menolak pengobatan medis.
“Di Kalimantan, di pedalaman, kalau orang sakit malah tidak ke alternatif. Beli obat dulu, ke dokter, ke rumah sakit. Nanti kalau sudah nekat kembali ke alternatif,” katanya.
Kondisi ini, kata Martinus, umumnya berlaku juga bagi masyarakat di daerah lain. Orang yang frustasi karena penyakitnya tidak kunjung sembuh karena pengobatan medis akan mencari orang yang mempunyai mujizat kesembuhan.
Ia pun yakin hal itu akan terus eksis di masyarakat Indonesia.
Sebelumnya, ada juga kasus pengobatan alternatif yang sempat heboh di Indonesia, namun kemudian mundur.
Contoh hype pengobatan alternatif ini adalah Ponari Batu Petir (2010-2011) dan Ningsih Tinampi (2015).
Namun lambat laun, pengobatan alternatif tersebut tidak lagi menjadi perbincangan netizen.
“Saya yakin, ke depan akan ada orang-orang seperti itu. Tapi dia tidak akan menjadi fenomena yang dominan. Muncul lalu tenggelam, lalu muncul lagi yang lain,” kata Martinus dan menambahkan bahkan tidak perlu ditolak. bahkan jika tidak dapat diterima untuk berdebat.
“Biarlah masyarakat berkembang menilai sendiri, tidak perlu ditolak. Dan masyarakat mencari jalan, apalagi kalau tidak. solusi pamungkas ketika yang lain tidak bekerja. Orang akhirnya mencari jalan terakhir, oh itu bisa membantu.”
Dalam kasus tertentu, pengobatan alternatif justru dikembangkan menjadi pengobatan medis, seperti pijat refleksi.
Bagaimana menurut pakar kesehatan?
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Ari Fahrial Syam menilai, “aksi” yang dilakukan Ida Dayak adalah pengobatan tradisional pada umumnya.
“Jadi seperti misalnya cara pengobatan yang juga sering digunakan oleh para dukun, terapi alternatif yaitu melemaskan otot, atau juga untuk dukun patah tulang yang melakukan proses urut yang dibarengi dengan pemberian minyak. , ” Prof . Ari kepada BBC News Indonesia, Kamis (04/06).
Hal yang membuatnya besar adalah informasi yang mudah tersebar melalui media sosial. “Sekarang dengan cara viral jadi orang-orang streaming,” ujarnya.
Prof. Ari juga mengatakan, “wajar” jika masyarakat menginginkan layanan ini karena ada kemungkinan sudah “bolak-balik” ke rumah sakit, namun belum juga sembuh.
“Tapi tentu saja masyarakat menilai sendiri, apakah dia benar-benar mendapat manfaat, atau hanya manfaat plasebo, itu hanya ilusi,” kata guru besar di Departemen Ilmu Penyakit Dalam itu.
Spesialis ortopedi dan traumatologi, dr. Oryza Satria mengakui keberadaan obat tradisional patah tulang di Indonesia. Tapi dia tidak bisa menyebutnya benar atau salah.
“Intinya, jangan sampai pasien merasakan sakit, baik pengobatan tradisional maupun pengobatan harus mengikuti aturan ini,” kata dr. Oryza seperti dikutip dari Antara.
Ia pun menanggapi pengobatan Ida Dayak yang menurutnya memiliki “ilmu yang berbeda”.
“Dari segi ortopedi, sudah ada standarnya, baik dari segi anatomi maupun komposisi tubuh manusia… kemudian tindakan yang diperlukan, misalnya operasi, semua ini ada standarisasi ilmiahnya,” tambah Dr Oryza.
Meski demikian, ia tetap mengimbau masyarakat untuk mempertimbangkan risiko sebelum melakukan pengobatan tradisional. Dikatakannya, masyarakat harus mencari informasi yang benar dan terpercaya agar tindakan yang dilakukan tidak berdampak buruk.
“Setiap tindakan yang dilakukan harus jelas mengenai risiko dan komplikasi yang ditimbulkan, baik dalam jangka pendek, menengah maupun panjang, karena semua tindakan memiliki risiko dan komplikasi, jangan mudah percaya dengan obat instan atau janji manis,” ujar Dr. Oryza.
Di sisi lain, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, belum ada aturan yang melarang pengobatan tradisional.
Namun, keberadaan tenaga ahli tersebut harus disertai Surat Tanda Daftar Kesehatan Tradisional (STPT). Hal ini merupakan bagian dari upaya perlindungan konsumen, tenaga kesehatan dan pelayanan publik yang diatur dengan undang-undang.
“Tentu kami akan memberikan pembinaan tentang pengobatan tradisional atau pengobat tradisional (hatra) termasuk hatra yang memiliki STPT,” kata Siti Nadia kepada Kompas.TV.
Terkait penanganan Ida Dayak, Siti Nadia belum bisa memastikan apakah sudah STPT atau belum.
“Jadi, kita perlu mengecek ke dinas kesehatan setempat apakah sudah dilakukan sosialisasi tentang hatra di daerah tersebut,” lanjut Siti Nadia.