Indonesia Discover –
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR pada Selasa (11/03), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyarankan agar dibentuk tim gabungan atau Satgas.
Tim Gabungan/Satgas tersebut, kata Mahfud, akan melibatkan sejumlah pihak, yakni PPATK, Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, Bareskrim Polri, Pidsus Kejagung, dan lainnya.
Satgas akan fokus pada laporan hasil pemeriksaan (LHP) dengan nilai paling besar yang sampai menyita perhatian masyarakat.
Tugas utama mereka adalah untuk “melakukan supervisi untuk menindaklanjuti keseluruhan LHA/LHP dengan nilai agregat sebesar Rp349.874.874.187”.
Dalam rapat dengar pendapat yang sama, Menkeu Sri Mulyani menjelaskan bahwa sumber data yang ia tampilkan di depan Komisi III beberapa pekan yang lalu sama dengan data yang dipegang oleh Mahfud MD.
“Secara ringkas 200 surat, 186 sudah follow up dan 193 pegawai 2009-2023 telah terkena hukuman disiplin.
“Kami akan menyampaikan, datanya sama tapi beda presentasi,” ungkap Sri Mulyani.
Ia menjelaskan alasan mengapa angka transaksi yang melibatkan pegawai Kemenkeu hanya berjumlah Rp 3,3 triliun, sedangkan pada presentasi Mahfud jumlah tersebut menjadi Rp3,5 triliun.
Sri mengatakan bahwa ia hanya menampilkan informasi dari surat-surat yang dikirimkan PPATK kepada Kemenkeu.
Sementara, surat-surat PPATK yang melibatkan pegawai Kemenkeu tetapi dikirimkan langsung ke Aparat Penegak Hukum (APH) untuk ditindaklanjuti, tidak ia presentasikan.
“Data yang ada nama pegawai kemenkeu yang merupakan surat-surat yang dikirim ke APH 64 surat dengan nilai [Rp] 13 T karena surat ini tidak ke kami dan kami hanya menerima informasi dari PPATK nomor surat saja.
“Kami tidak bisa menjelaskan lebih lanjut maka di Komisi XI kami fokusnya ke yang abu-abu [warna grafis] karena itu suratnya ke kami dan kami bisa buka kembali informasinya,” kata Sri Mulyani.
Di akhir rapat tersebut, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto meminta agar tim Gabungan atau Satgas yang disarankan Mahfud MD menyelesaikan semua laporan, baik LHA maupun LHP yang belum diselesaikan.
“Nanti 300 itu, yang LHA berapa, LHP berapa kemudian yang sekadar informasi berapa. Itu kita list, tugas Satgas ini yang menyelesaikan. Jadi saya kira Komisi III mendukung penuh poin keenam, untuk dibuatkan Satgas.
“Dan karena kita di sini komisi III dan setiap periodisasi rapat, kita selalu minta satgas bersama PPATK melaporkan progres. Sampai 300 laporannya PPATK selesai,” tegas Bambang.
‘Tidak ada perbedaan data dengan Sri Mulyani’
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD membantah bahwa ada perbedaan data dengan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada rapat Komisi XI sehari yang lalu.
Dalam rapat dengar pendapat umum (RDP) dengan Komisi III DPR Rabu (29/3) yang berlangsung sejak pukul 15.00 WIB hingga 23.00 WIB, Mahfud MD dicecer oleh para anggota Komisi III DPR yang mempermasalahkan perbedaan pemaparan antara dirinya dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Menjawab cecaran itu, Mahfud memastikan bahwa data yang ia pegang, yang merupakan hasil penyidikan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), merupakan yang paling lengkap.
“Enggak ada data beda. Cuma Sri Mulyani itu menerangkannya begini. Kalau PPATK kan rombongan, misalnya Rafael itu kan ada rombongannya. Ketika diperiksa oleh Sri mulyani, cuma satu yang diambil.
“Jadi ini rombongan, namanya pencucian uang,” tukasnya, menekankan bahwa datanya sama namun cara penafsirannya berbeda..
“Seperti memetik apel satu, ‘oh ini pajak, wah perusahaannya banyak sekali.’ Tapi pajaknya yang dihitung, bukan pencucian uangnya,” ujar Mahfud.
Selain itu, sambungnya, ada pula perkara administrasi yang membuat pembongkaran kasus pencucian uang sedemikian sulit. Sehingga beberapa surat laporan harus diserahkan secara fisik kepada Menteri Keuangan.
Namun, surat-surat tersebut tidak semuanya ditindaklanjuti oleh jajaran di bawah Sri Mulyani.
“Datanya Sri Mulyani salah, iya. Surat yang asli semula dikirimkan by hand. Ini tidak bisa diserahkan dengan surat karena sensitif. Sehingga by hand,” katanya.
Pada konferensi pers usai RDP, Ketua Komisi III Ahmad Sahroni membenarkan perkataan Mahfud. Ia mengatakan bahwa data yang dipegang oleh Mahfud adalah data yang otentik.
“Ada 300 surat yang diberikan oleh Bu Menkeu tapi tidak ditindaklanjuti. Maka itu datanya tidak sama dengan yang dimiliki oleh Bu Menkeu. Nah dari sini sinkronisasi akan digabung, untuk sama-sama diketahui oleh publik,” kata ketua Komisi yang akrab disapa Roni.
Ia pun menyampaikan bahwa kedua pihak akan segera dipertemukan agar dapat dilakukan sinkronisasi data.
“Untuk menemukan tindak pidananya, itu langkah masih panjang. Yang kita ingin ketahui adalah se-detail apa transaksi yang diduga transaksi pencucian uang.
“Ada 491 orang yang tadi pak Menko sampaikan. Oleh karena, itu kalau ada Bu Menteri Keuangan, ini akan kita sinkronisasi, kita sama-sama dudukin untuk menyajikan keterbukaan yang disampaikan Pak Menko,” ujar Roni.
Ada 491 ASN Kemenkeu diduga terlibat TPPU
Pada rapat dengar pendapat umum (RDP) dengan Komisi III DPR Rabu (29/3), Mahfud MD menyampaikan rincian hasil pemeriksaan Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
“Jumlah entitasnya 491 orang [ASN Kemenkeu]. Jangan hanya bicara Rafael, di sini ada jaringannya,” kata Mahfud dalam rapat terbuka yang disiarkan secara daring.
Namun, Mahfud mengatakan para entitas itu berupa agregat. Artinya, nama-nama dari pihak-pihak yang terlibat TPPU tidak akan diumumkan kepada publik, kecuali mereka sedang diproses secara hukum.
“Ini ada ketentuan di UU tidak boleh menyebut kalau menyangkut identitas seorang, kemudian nama perusahanan, nomor akun, profil identitas yang terlapor nilai tujuan transaksi itu semua tidak boleh disebut,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa jumlah total transaksi mencapai sekitar Rp349 triliun. Dana tersebut dibagi menjadi tiga kelompok. Kategori pertama berupa Transaksi Keuangan Mencurigakan Pegawai Kemenkeu (Rp35 triliun).
Kedua, Transaksi Keuangan Mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai kemenkeu (Rp53 triliun).
Kategori ketiga, yang mencakup jumlah terbesar, berupa Transaksi Keuangan Mencurigakan Terkait Kewenangan Kemenkeu Sebagai Penyidik TPA dan TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu (Rp260,1 triliun).
Sebelumnya, ia sempat menyampaikan bahwa terdapat sebanyak Rp300 triliun dugaan transaksi mencurigakan pencucian uang di Kemenkeu. Namun, tidak seluruhnya dilaporkan langsung kepada Kemenkeu.
“Betul. 200 [surat] yang disampaikan ke Kemenkeu. Seratus [surat] lainnya ke kementerian lembaga lain, tapi terkait Bea Cukai,” ungkap Mahfud.
Menuru dia, Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak mengetahui mengenai praktek-praktek pencucian uang yang terjadi dalam jajaran Kemenkeu.
“Kesimpulan saya, Bu Sri Mulyani tidak punya akses terhadap laporan-laporan ini. Sehingga keterangan terakhir di Komisi XI itu jauh dari fakta,” katanya.
Sebagai contoh, ia menyebut kasus penyelundupan emas hasil pencucian uang cukai yang melibatkan 15 entitas pada 2017. Laporan tersebut diselidiki oleh PPATK, namun surat laporan itu tidak sampai kepada Sri Mulyani.
“Karena bukan dia nipu, dia diberi data itu, data pajak padahal ini data bea cukai. Tadi penyelundupan emas itu, dia enggak tahu siapa yang bohong, tapi ini faktanya.”
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa Kemenkeu sepakat untuk menyelesaikan semua LHA yang diduga TPPU dari PPATK yang menyangkut pegawai Kemenkeu maupun pihak lainnya.
“Kemenkeu berhasil mengembalikan Rp7 triliun untuk pajak dan dari Bea Cukai masuk Rp1,1 triliun. Jadi Rp8,1 triliun,” sebut Mahfud.
DPR minta Sri Mulyani dipanggil lagi
Sejumlah anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta agar Menteri Keuangan Sri Mulyani dipanggil kembali untuk menjelaskan perbedaan pemaparan data yang disampaikan oleh Mahfud MD.
Sebab, pada rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI, Sri Mulyani menyebut bahwa dana transaksi mencurigakan TPPU yang berhubungan dengan pegawai Kemenkeu hanya sebesar Rp3,3 triliun.
Sementara, berdasarkan pemaparan materi yang disampaikan Mahfud MD pada RDP dengan Komisi III, Mahfud menyampaikan jumlah transaksi keuangan mencurigakan yang melibatkan pegawai kemenkeu adalah sebesar Rp35 triliun.
“Sri Mulyani menjelaskan kepada komisi XI, jauh berbeda dengan yang tadi bapak sampaikan. Ini yang membuat kami, mohon maaf saja, mana yang harus kami percaya?” ungkap anggota Komisi III, Benny K. Harman sambil memegang selembaran kertas pemaparan Sri Mulyani.
Lebih lanjut, ia mendesak agar pimpinan Komisi III memanggil Sri Mulyani untuk meluruskan perbedaan data itu.
“Kalau bisa besok, besok. Untuk menuntaskan ini, siapa yang sebetulnya melakukan pembohongan publik,” katanya.
Senada dengan Benny, anggota Komisi III Taufik Basari juga mengaku kaget karena data yang disampaikan kedua menteri jauh berbeda. Ia pun menyarankan agar DPR membentuk Pansus untuk mengusut tuntas isu tersebut.
“Karena kita sama-sama mencari kebenaran. Kita pansus-kan menurut saya. Kita pansus-kan, kita kejar. Mana data yang salah, apa yang terjadi mengapa kemudian ada data yang salah?
“Apa yang menyebabkan ini terjadi, kemudian tindak lanjut apa dari penegakan hukum yang kita bisa kawal,” kata Taufik.
Di sisi lain, anggota Komisi XI DPR RI dari fraksi Partai Golkar Mukhamad Misbakhun mengatakan usul anggota-anggota Komisi III untuk mengundang kembali Sri Mulyani sangat masuk akal.
Sebab, menurut dia, Sri Mulyani merasa terprovokasi oleh penyampaian Mahfud MD hingga dirinya terdorong untuk memberikan inisial individu yang terlibat dan jumlah dananya.
Ia pun mempermasalahkan bahwa Mahfud hanya sekadar berasumsi terkait dana TPPU sebesar Rp35 triliun itu dan kaitannya dengan para pegawai Kemenkeu.
“Asumsi itu bersifat sangat subyektif pak. Sedangkan data-data keuangan itu harus dinilai tidak boleh berdasarkan asumsi tapi berdasarkan penilaian profesional, atas fakta yang ada,” katanya.
Menko Polhukam dukung UU Perampasan Aset
Selain itu Mahfud MD mengatakan bahwa perlu adanya UU Perampasan Aset untuk menangani kejahatan keuangan seperti korupsi dan TPPU dengan lebih lancar.
“Mohon ini UU Perampasan Aset dan pembatasan belanja uang tunai ini bisa [disahkan], mungkin akan menyulitkan memang, tidak selalu sempurna tapi saya kira ikhtiar kita harus dilakukan itu,” katanya.
Anggota Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan pun setuju dengan Mahfud MD. Menurut dia, seringkali barang yang disita ujung-ujungnya disalahgunakan oleh aparat penegak hukum.
“Apakah dari Menko Polhukam ada yang mengelola sampai proses lelang? Kita juga harus melihat ke sana. Sisi ini kita kurang perhatikan,” ujar Trimedya.
Hinca Pandjaitan, anggota Komisi III dari fraksi Partai Demokrat, pun menilai situasi terkini sudah sangat genting, sehingga RUU Perampasan Aset perlu segera disahkan.
“Saya minta Pak Mahfud sampaikan kepada Presiden Jokowi, buat saja Perpu-nya, supaya kita dengarkan di sini.
“Karena kegentingan yang memaksa untuk menyelamatkan ratusan triliun untuk bangsa dan negara,” sebut Hinca.
Anggota Komisi III Didik Mukrianto menambahkan bahwa segenap publik dan wartawan selalu bertanya soal RUU Perampasan Aset.
“Diharapkan ini mampu mengungkap kejahatan TPPU bukan hanya di Kementerian Keuangan, karena kejahatan lain juga banyak sekali.”
‘Presiden hendaki keterbukaan informasi’
Rapat yang telah diagendakan sejak Senin (20/03) lalu diundur ke Jumat (24/03) dan dilaksanakan hari ini untuk meminta penjelasan dari Mahfud atas pernyataannya yang menyebut terdapat lebih dari Rp300 triliun dugaan transaksi mencurigakan pencucian uang di Kemenkeu.
“Saya akan menjelaskan ke DPR juga dengan sejelas-jelasnya tanpa ada yang ditutup-tutupi. Karena presiden kita ini menghendaki keterbukaan informasi sejauh sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” kata Mahfud di Jakarta (27/03).
Dalam akun Twitternya, Mahfud juga menuliskan,”Sudah siap tiba di DPR sebelum jam 14.00 WIB tapi ada info RDP Menko Polhukam/Ketua KNK PP TPPU dengan Komisi III DPR diundur menjadi jam 15.00. Saya memaklumi, agenda DPR pasti padat, seperti halnya agenda saya. Tapi jam 15.00 insyaallah saya sudah tiba di Gedung DPR.”
Mahfud juga menantang beberapa anggota Komisi III DPR yang “lantang berbicara” terkait dugaan transaksi mencurigakan Rp300 triliun ini untuk hadir dalam RDP itu.
Bagaimana kronologi awal laporan Rp300 triliun?
Pada Rabu (08/03), di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Mahfud MD menyatakan bahwa dirinya telah menerima laporan terkait dugaan transaksi mencurigakan mencapai Rp300 triliun di Kemenkeu.
Mahfud menambahkan, pergerakan uang itu sebagai besar terjadi di Direktorat Jenderal Pajak dan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Mahfud selaku Ketua Tim Pengendalian Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) menambahkan, dia telah menyerahkan laporan itu ke Kemenkeu.
“Sekarang, hari ini, sudah ditemukan lagi kira-kira Rp 300 triliun. Itu harus dilacak. Dan saya sudah sampaikan ke Ibu Sri Mulyani. PPATK juga sudah menyampaikan,” kata Mahfud, Rabu (08/03).
Di hari yang sama, Mahfud kembali mengungkapkan pernyataan yang sama saat berada di Universitas Islam Indonesia (UII). Lebih rinci, Mahfud menyebut, transaksi mencurigakan itu terjadi dari tahun 2009 hingga 2023 di mana ada sekitar 160 laporan yang melibatkan 460 orang.
Saat dikonfirmasi oleh wartawan, Inspektur Jenderal Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh yang tengah melakukan konferensi pers kasus Rafael Alun, Rabu (08/03) mengatakan, lembaganya belum menerima informasi terkait pergerakan uang mencurigakan itu.
Keesokan harinya, Kamis (08/03), saat mendampingi kunjungan kerja Presiden Jokowi di Solo, Menkeu Sri Mulyani untuk pertama kalinya merespon dengan mengatakan tidak pernah mendapat laporan Rp300 triliun itu.
Pejabat Kemenkeu kemudian mendatangi kantor Kemenko Polhukam untuk bertemu dengan Mahfud MD pada Jumat (10/03). Usai pertemuan, Mahfud menjelaskan, transaksi mencurigakan Rp300 triliun di Kemenkeu itu bukanlah dugaan korupsi, melainkan dugaan TPPU yang terdiri dari 197 laporan dengan melibatkan 467 pegawai sepanjang 2009-2023.
Mahfud juga menegaskan, selama ini laporan dugaan TPPU dari PPATK tidak pernah ditindaklanjuti, sehingga dia akan mendalami lebih lanjut untuk mengetahui tindak pidana utama di balik dugaan itu.
Keesokan harinya, Sabtu (11/03), giliran Mahfud yang mendatangi kantor Kemenkeu untuk bertemu dengan Sri Mulyani. Sri Mulyani mengaku belum bisa berkomentar ke publik karena tidak kunjung mendapatkan laporan rinci yang memuat nilai transaksi janggal Rp300 triliun itu dari PPATK.
Kemenkeu sebut bukan korupsi atau TPPU
Tidak berhenti, pertemuan pun kembali berlanjut saat Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mendatangi kantor Kemenkeu, Selasa (14/03). Usai berdiskusi, Ivan mengatakan bahwa laporan transaksi mencurigakan itu bukan merupakan aktivitas dari pegawai Kemenkeu.
Sementara itu, Irjen Kemenkeu Awan Nurmawan mengatakan bahwa angka Rp300 triliun itu bukan angka korupsi atau TPPU di Kemenkeu.
“Jadi jelas, prinsipnya angka Rp300 triliun itu bukan angka korupsi atau TPPU pegawai di Kementerian Keuangan,” kata dia, saat ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (14/3/2023).
Mendengar itu, Mahfud yang tengah melakukan kunjungan ke Australia berkomentar dengan mengatakan, “Sesudah saya pulang ke Indonesia nanti kita jelasin. Katanya bukan korupsi, bukan TPPU, terus apa? kan sudah jelas angkanya, angkanya sekian, ada namanya, itu apa?” kata Mahfud dalam keterangan videonya, dikutip Jumat (17/03).
Mahfud juga menambahkan dalam Twitternya, “Saya sarankan, lihat lagi pernyataan terbuka Ketua PPATK di kemenkeu Selasa kemarin. Beliau “tidak bilang” bahwa info itu “bukan korupsi” dan “bukan pencucian uang”. Sama dengan yang saya katakan, beliau bilang itu bukan korupsi tapi laporan dugaan pencucian uang yang harus ditindaklanjuti oleh penyidik/kemkeu.”
Bertambah, dugaan transaksi jadi Rp349 triliun
Mahfud, Sri Mulyani, dan Ivan kembali bertemu untuk melakukan rapat kerja, Senin (20/03). Hasilnya, transaksi mencurigakan malah meningkat menjadi Rp349 triliun.
Usai pertemuan, Mahfud kembali menegaskan bahwa transaksi mencurigakan itu bukan dugaan korupsi, melainkan dugaan TPPU yang melibatkan pegawai di dalam Kemenkeu maupun pihak di luar seperti perusahaan.
“Jadi jangan berasumsi bahwa ‘wah Kementerian Keuangan korupsi Rp 349 triliun’. Enggak, ini transaksi mencurigakan dan itu banyak juga melibatkan dunia luar, orang yang punya sentuhan-sentuhan, dengan mungkin orang Kementerian Keuangan, tetapi yang banyak itu kan mereka,” kata Mahfud.
Dalam kesempatan yang sama, Sri Mulyani menegaskan, nilai transaksi janggal itu bukan nilai korupsi yang dilakukan di dalam Kemenkeu, melainkan total temuan PPATK terkait indikasi TPPU.
Nilai Rp349 triliun itu merupakan total dari sekitar 300 surat temuan PPATK terkait indikasi pencucian uang yang datanya dikirimkan ke Kemenkeu pada periode 2009-2023.
Sri Mulyani membagi surat PPATK itu ke tiga jenis.
Pertama adalah 65 surat terkait indikasi TPPU yang melibatkan badan usaha atau perorangan non-pegawai Kemenkeu sebesar Rp253 triliun.
Kedua, sekitar 99 surat yang ditujukan ke aparat penegak hukum dengan nilai transaksi Rp74 triliun.
Terakhir, sebanyak 135 surat terkait temuan transaksi mencurigakan pegawai Kemenkeu dengan total Rp22 triliun.
Melangkah ke DPR
Komisi III DPR kemudian melakukan rapat kerja dengan PPATK untuk membahas dugaan pencucian uang tersebut. Kepala PPATK Ivan kembali menegaskan, nilai transaksi mencurigakan itu tidak semua terkait tindak pidana yang dilakukan di Kemenkeu, tapi terkait tugas pokok dan fungsi Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal.
Beberapa hari kemudian, giliran Sri Mulyani yang menghadiri rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (27/03). Dalam kesempatan ini, Sri Mulyani menceritakan kronologi dugaan transaksi mencurigakan yang diawali oleh pernyataan Mahfud itu.
Sri Mulyani juga kembali menegaskan bahwa transaksi mencurigakan Rp349 triliun yang dilaporkan PPATK itu mayoritas tidak terkait dengan Kemenkeu
Dari temuan transaksi mencurigakan pegawai Kemenkeu dengan total Rp22 triliun, Sri Mulyani mengatakan hanya Rp3,3 triliun yang berhubungan dengan pegawai Kemenkeu, sisanya Rp18,7 triliun menyangkut transaksi korporasi.
“Jadi yang benar-benar berhubungan dengan pegawai Kemenkeu itu Rp3,3 triliun, ini 2009 hingga 2023, 15 tahun seluruh transaksi debit kredit pegawai yang di-inquiry, termasuk penghasilan resmi, transaksi dengan keluarga, jual beli aset, jual beli rumah,” kata Sri Mulyani.
“Jadi, tidak ada hubungannya dalam rangka untuk pidana, korupsi atau apa, tapi kalau kita untuk mengecek tadi profiling risk dari pegawai kita. Jadi banyak juga beberapa yang sifatnya adalah dalam rangka kita melakukan tes dari integritas dari staf kita,” tuturnya.
“Bahkan dari Rp22 triliun ini, Rp18,7 triliun itu menyangkut transaksi korporasi yang enggak ada hubungan dengan Kemenkeu. Jadi yang benar-benar berhubungan dengan pegawai Kemenkeu itu Rp3,3 triliun,” katanya di DPR.
Hari ini, tiba bagi Mahfud MD untuk menghadap ke DPR. Sebelumnya, Senin (27/03), Mahfud telah menghadiri rapat khusus dengan Presiden Joko Widodo. Mahfud mengatakan, Jokowi meminta dirinya untuk hadir dan menjelaskan ke DPR terkait dugaan transaksi mencurigakan ini.
“Saya diminta hadir, menjelaskan ke DPR apa itu pencucian uang. Saya akan menjelaskan sejelas-jelasnya tanpa ada yang ditutup-tutupi, karena presiden kita ini menghendaki keterbukaan informasi sejauh sesuai dengan perundang-undangan,” jelas Mahfud.