Indonesia Discover –
Menurut Google, Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara terbesar yang gemar mencari tentang info zodiak, mulai dari asmara hingga sifat-sifat. Apa yang melatari populernya astrologi di tengah masyarakat kita?
Di lantai dua sebuah kafe di Senopati, terdapat pop-up booth kecil yang didirikan oleh astrologer sekaligus pendiri situs Foxglove Soulwork, Çanti Widyadhari.
Di atas meja terdapat beberapa pernak-pernik seperti berbagai batu kristal, tanaman-tanaman kering dalam vas, tumpukan kartu serta sebuah laptop yang Çanti gunakan untuk membaca ramalan astrologi.
Pelanggan pertamanya, Nana, tampak tak sabar mendengar pembacaan birth chart (bagan kelahiran)-nya. Ia mengaku sebelumnya tidak percaya soal zodiak. Terutama dengan banyaknya asumsi orang mengenai zodiak dia sendiri: Gemini.
“Jujur, aku kesulitan relate dengan sun sign aku, karena itu terlalu umum. Orang selalu bilang Gemini itu suka ngomong. Gemini itu makhluk sosial, sedangkan aku lebih introvert,“ ungkap Nana.
Sun sign adalah zodiak seseorang berdasarkan tanggal lahir dan musim zodiak saat itu. Ada dua tanda lain yang lazim dipakai, yakni moon sign dan rising sign yang baru bisa terlihat dari memasukkan tanggal, tempat, dan jam lahir ke dalam kalkulator bagan kelahiran.
Informasi itulah yang digunakan Çanti dalam ramalannya. Ketika tanggal, tempat dan jam lahir Nana dimasukkan ke sebuah program dalam laptopnya, di layar muncul bagan berbentuk lingkaran menyerupai jam yang berisi simbol-simbol astrologi dan planet-planet.
Mulanya, Çanti belajar astrologi secara otodidak dari buku-buku dan video YouTube. Seiring berjalannya waktu, ia mulai tertarik untuk menggali lebih dalam.
Motivasi untuk mempelajari astrologi menjadi semakin kuat ketika ia didiagnosa dengan attention deficit hyperactivity disorder atau ADHD dan autisme. Çanti mengatakan ia mulai menggunakan pola-pola yang ia pelajari di astrologi untuk memahami dunia di sekitarnya.
“Salah satu karakteristik yang sebenarnya masuk diagnosis yang muncul dengan psikologku adalah pengenalan pola. Jadi orang autis itu suka melihat pola dalam segala hal dalam hidup.
“Jadinya makin getol pelajari astrologi, karena sekarang aku lihat pola di mana-mana,” kata Çanti.
Pada 2019, ia mengikuti kuliah online di Australia selama setahun sebelum melanjutkan studinya di London School of Astrology untuk program diploma.
“Ada hitung-hitungannya dan ada rumusnya. Kami juga belajar contoh nyata. Jadi kita melihat birth chart selebritas atau figur publik, lalu kami bandingkan dengan kejadian-kejadian dalam hidup mereka,“ kata Çanti.
Selain itu, sambungnya, ada pula kode etik yang harus diikuti astrolog. Di antaranya, mereka tidak boleh memprediksi kapan seseorang akan meninggal, tidak boleh mengatakan suatu ramalan itu 100% akan terjadi, dan tidak boleh berprasangka atau menghakimi klien mereka.
“Kami harus berempati dan peduli dengan mereka. Kami harus mendengarkan klien, karena mereka yang menjalani hidup itu, keputusannya di tangan mereka,“ ujarnya.
Ia merasa bahwa selama ini masyarakat umum terlalu sering mengeneralisir atau bahkan menstereotip orang berdasarkan bintang zodiak mereka.
Sebab, masing-masing dari 12 zodiak memiliki kumpulan sifat yang melekat dengan mereka. Padahal menurut Çanti, sifat seorang tidak bisa ditentukan semata oleh sun sign-nya.
“Orang kadang bilang Gemini itu nyebelin, kalau seterotip bagusnya mereka friendly, tapi ada yang chaotic. Libra itu bucin, Pisces itu halu. Virgo perfeksionis pasti dibilangnya,” kata Çanti yang menyebutkan beberapa stereotip populer.
Menurut dia, memang manusia memiliki kecenderungan untuk mengeneralisasi orang lain berdasarkan pola-pola tertentu.
Kebetulan saja, astrologi merupakan salah satu sarana untuk mengelompokkan orang. Tetapi, ia sendiri merasa itu tidak sepenuhnya bisa dijadikan tolak ukur.
“Ingat bahwa setiap orang wataknya berbeda dan memang susah untuk memberi label atau menilai kepribadian seseorang apakah mereka akan cocok dengan Anda atau tidak hanya berdasarkan zodiak,” ungkap Çanti.
Kebiasaan masyarakat umum yang kerap kali mengelompokkan orang berdasarkan zodiak mereka terlihat di media sosial.
Tengok saja Twitter, di mana hashtag seperti #AdaApaDenganGemini, #LibraGalau dan #CowoVirgo sering muncul pada cuitan.
Seorang pengguna Twitter dengan username @exquisite9906 misalnya, pernah memiliki pengalaman ditolak kencan karena zodiaknya Gemini.
Ia sendiri menyebut Gemini adalah zodiak yang “paling dibenci semua orang”. Orang yang hendak pergi berkencan dengan dia pun membatalkan janji berkencan dengan alasan “enggak bisa sama Gemini”.
Dalam cuitan yang terpisah, seorang pengguna bernama @taqeeyyaa mengatakan bahwa alasan kenapa Gemini banyak dibenci adalah karena kebanyakan orang memiliki mantan yang menyebalkan dengan zodiak Gemini.
Nana, yang merupakan seorang Gemini, cukup sadar bahwa di media sosial banyak orang yang suka menganggap Gemini sebagai zodiak yang menyebalkan.
“Gemini bisa sangat moody. Mungkin itu bukan niat mereka,” ungkap Nana.
Oleh karena itu, ia mengatakan dirinya merasa dituntut untuk berperilaku seperti Gemini pada umumnya, yakni seseorang yang mudah bergaul dan pandai berbicara. Hal ini membuatnya merasa skeptis terhadap astrologi pada awal mempelajarinya.
“Aku sendiri bukan orang yang sangat ramah. Aku enggak suka berpesta, aku senang hangout tapi aku enggak bisa hangout setiap hari,” kata Nana
Ia sendiri mengaku merasa lebih direpresentasikan oleh rising sign Scorpio yang konon cenderung pendiam.
Alifia Amri merupakan seorang lulusan Antropologi dari Universitas Indonesia yang pernah membuat penelitian bertajuk “Tanda Dari Semesta: Divinasi Digital” yang membahas bentuk divinasi (astrologi, tarot) secara digital di media sosial.
“Sebenarnya pengetahuan astrologi lewat online atau web itu sendiri, itu sudah lama. Semenjak internet muncul. Tapi semakin intens, semakin diperluas [sekarang]. Ada media sosial seperti TikTok yang sekali scroll sudah dapet konten, tidak mencari tapi disuguhkan,“ jelas Alif.
Bahkan di Tiktok khususnya, Alif melihat ada bagian khusus yang membahas soal astrologi yang disebut sebagai Astrologytok.
Astrologytok biasa dipenuhi dengan konten-konten yang berisi ulasan zodiak, ramalan oleh astrolog dan skenario akting yang dibuat berdasarkan sifat-sifat zodiak.
“Isinya mulai dari penjelasan tentang astrologi sampai bagaimana dengan transit-transit astrologi mempengaruhi orang,“ ungkapnya.
Menurut Alif, astrologi sendiri lebih tepat disebut sebagai pola pikir. Kebetulan, pola berpikir inilah yang digunakan sebagai alat untuk menstereotip orang berdasarkan sifat-sifat yang dikaitkan pada zodiak.
“Ketika ada perbedaan cara berpikir, maka muncul stereotip. Astrologi sebagai alat untuk menstereotip orang, dan orang mendalami astrologi atau percaya [itu]. Menurut saya, astrologi bukan sebagai ‘kepercayaan’ tapi lebih ke cara berpikir magis,” kata Alif.
‘Dari sisi saintifik tidak ada dasarnya’
Ketua Kelompok Keahlian Astronomi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Taufiq Hidayat, mengatakan bahwa astrologi tidak bisa disebut sebagai ilmu. Sebab, menurut Taufiq, astrologi tidak memiliki basis saintifik.
“Astrologi tidak dimasukkan sebagai sains. Artinya dari sisi saintifik tidak ada dasarnya untuk mengatakan minggu ini rezeki akan melimpah, hubungan asmara baik dan sebagainya,” ungkap Taufiq kepada BBC Indonesia.
Dosen program studi astronomi itu menjelaskan bahwa memang benar pada zaman Babylonia, Yunani, dan Mesir kuno, astronomi dan astrologi muncul secara bersamaan.
Namun, pada kala itu, pergerakan bintang-bintang dan planet digunakan oleh para penasihat untuk memprediksi kejadian di bumi.
“Setiap raja punya penasihat militer, penasihat ekonomi, termasuk juga astrologi. Karena posisi benda-benda langit berdasarkan catatan-catatan. Waktu itu kalau begini kok ada bencana misalnya ada gempa bumi atau peperangan atau wabah, makanya ada kepercayaan semacam itu,” kata Taufiq.
Bahkan, Taufiq mengatakan bahwa rasi bintang-bintang yang disebut sebagai zodiak – seperti Cancer, Taurus, Gemini dan sebagainya- sudah berubah bentuk. Oleh karena itu, menurut dia, menyebut seorang adalah Leo berdasarkan tanggal lahir, tidak sepenuhnya akurat.
“Jadi kalau dibandingkan 5.000 tahun yang lalu dengan sekarang, itu pun tanggal-tanggalnya sudah berbeda sama sekali. Karena pergeseran posisi dalam waktu ribuan tahun terlihat. Kalau dalam satu atau dua hari memang enggak kelihatan,” katanya.
Selain itu, sambungnya, cara astrolog dan astronom menghitung letak benda luar angkasa dan susunan bintang pun juga berbeda jauh.
Taufik mengatakan para astrolog memiliki began-bagan tersendiri yang mereka gunakan untuk memperkirakan pergerakan planet yang sama sekali tidak bisa dibuktikan secara astronomi.
Meski begitu, ia merasa astrologi hanya sekadar kepercayaan saja yang populer di kalangan masyarakat. Tidak hanya di Indonesia saja, ia menyebut ada koran di Prancis yang diprotes akibat menghapus kolom astrologinya.
“Di mana-mana juga, di Eropa juga sama aja. Di Amerika juga sama. Bukan hanya kita. Orang yang percaya astrologi itu bukan monopoli kita. Di mana-mana sampai sekarang masih percaya. Kalau saintis umumnya enggak percaya. Apalagi astronomer,“ tegas Taufik.
Mengapa astrologi menjadi populer di Indonesia?
Peneliti Alifia Amri mengatakan bahwa tak heran jika Indonesia masuk ke dalam negara tiga besar yang suka mencari informasi mengenai astrologi. Sebab dalam budaya Jawa, ada pula sistem yang serupa.
“Di budaya kita juga ada, weton. Tapi weton dan astrologi itu sangat berbeda, karena menurut saya, punya kompleksitas yang berbeda. Dan menurut saya, weton jauh lebih sakral,“ kata Alif.
Weton merupakan sistem hitungan hari dalam budaya Jawa yang memberi makna pada suatu peristiwa yang terjadi pada hari tertentu. Kalendar tradisional Jawa digunakan untuk meramal dan menelaah terjadinya peristiwa tersebut dalam suatu siklus hari.
Pada dasarnya, weton membaca kejadian dari fenomena atau tanda-tanda alam yang telah terjadi sebagai panduan untuk memahami setiap peristiwa yang akan terjadi.
Mirip dengan astrologi, weton juga bisa digunakan untuk menentukan watak seseorang berdasarkan hari lahir, dengan istilah-istilah hari kalendar Jawa seperti Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.
Meski menurut Alif, astrologi dan weton jauh berbeda dari segi perhitungan dan unsur budaya, hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sejak awal memiliki kecenderungan untuk menggunakan pola berpikir magis.
“Dalam antropologi terdapat tiga cara berpikir: ada magical thinking, ada scientific thinking, dan ada religious thinking. Memang tidak menekankan kausalitas seperti sains, ada sebab-akibat. Tapi magical thinking ini menekankan korelasi.
“Di Indonesia kalau saya perhatikan, lebih cenderung dua-duanya hidup berdampingan. Ada tendensi [orang Indonesia] menggunakan moda berpikir magis,” kata Alif.
Senada, dosen Antropologi Agama, Imam Ardhianto, mengatakan bahwa konsep membaca rasi bintang untuk meramal kejadian sudah lama ada di budaya Indonesia. Namun, biasanya digunakan oleh nelayan dalam konteks melaut.
Terkait fenomena astrologi yang kini populer di media sosial, menurut Imam hal tersebut merupakan produk globalisasi yang muncul dari percampuran budaya.
Awal mula munculnya astrologi di Indonesia pun, tambahnya, berupa kolom horoskop di majalah dan media asing.
“Jadi astrologi bisa jadi salah satu bagian itu, karena itu bagian yang berhubungan juga dengan pinjam-meminjam ide dan gagasan, bisa dari India, bisa dari Afrika, bisa dari Amerika Latin, astrologi ada di situ,” ujar Imam.
Sepengetahuan dia, astrologi juga dekat dengan apa yang disebut dengan New Age Culture, yaitu budaya yang berkembang sejak awal abad ke-20 dan tumbuh populer pada fase-fase tertentu seperti di era Hippies dan lainnya.
“Orang ingin melihat bahwa hubungannya dengan alam, nasibnya sendiri itu tidak hanya dijelaskan dengan kerangka institusi-institusi yang dominan seperti agama dan negara.
“New age culture itu berjalan seiring dengan kolonialisme. Jadi ada di Indonesia namanya teosofi, aliran keagamaan yang mencampurkan ragam kepercayaan dan konsepsi mengenai roh, cakra, spirit, jadi agak mix match,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan astrologi hanya merupakan satu dari berbagai ‘kepercayaan’ yang dinilai irasional, namun populer di kalangan perkotaan. Atau yang ia sebut dengan istilah kosmopolit.
“Kosmopolit dalam artian dia berasal dari berbagai sumber peradaban. Astrologi merupakan satu bagian saja. Misalnya juga, orang-orang yang suka astrologi juga melakukan hal spiritual lainnya seperti yoga, meditasi dan sebagainya,” ungkap Imam.
Astrologi sebagai cara mencari validasi
Dosen Antropologi Agama, Imam Ardhianto, menyebut astrologi beserta segala bentuk divinasi atau ramalan erat kaitannya dengan cara manusia mengidentifikasi diri.
”Divinasi menunjukkan kamu itu sebenarnya begini karakternya. Dan kamu akan cocok dengan bintang yang ini, Ketika itu tidak terjadi, maka ada yang salah. Itu dianggap devian dan menyimpang,” ujar Imam.
Sehingga, walau ramalan yang dikatakan itu tidak menjadi nyata karena satu atau lain hal, orang yang percaya akan turut memberikan justifikasi terhadap kondisi itu agar menjadi benar.
“[Orang anggap] sebenarnya Virgo seharusnya begini. Tetap diyakini dan tidak menggugurkan keyakinan dan pengetahuan dia, Virgo seharusnya begini ke depan. Atau saya beruntung karena saya Virgo,” katanya.
Kemungkinan lain adalah, sambungnya, orang itu akan menjadikan sifat-sifat zodiak sebagai acuan cara berperilaku yang seharusnya. Dalam arti, sifat-sifat yang tertanam dalam zodiak menjadi aspirasi atau keinginan seseorang dalam membentuk jati dirinya.
“Sebenarnya itu memberikan tawaran mengenai bagaimana orang seharusnya harapannya dan aspirasinya untuk menjadi seperti apa. Jadi ketika dia merasa bahwa dia Virgo. Oh mungkin karena saya Virgo jadi sifat saya begini, atau ke depan yang Virgo mungkin akan begini,” ungkap Imam.
Hal ini dirasakan oleh Nana yang mengatakan astrologi telah membantunya untuk lebih mengenal diri sendiri dengan lebih baik. Sifat-sifatnya – baik yang baik maupun buruk – dapat ia terima setelah membaca zodiak.
“[Kadang] kita sulit menerima diri kita sendiri dan akhirnya enggak mengenal diri kita yang sebenarnya. Tetapi, astrologi membantu saya untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik,” ujar Nana.
Peneliti divinasi digital, Alifia Amri, mengatakan bahwa pada dasarnya semua manusia membutuhkan validasi. Karena dalam konteks astrologi, ramalan itu memberikan kesan adanya ‘kepastian dalam menghadapi ketidakpastian’.
Selain itu, ada pula orang-orang yang menggunakan stereotip-stereotip watak astrologi untuk mencoba meraba karakter seseorang yang belum ia kenal. Sehingga, ia bisa mencoba memprediksi seperti apa sifat mereka dan apakah mereka bisa akrab dengan orang itu.
“Misalnya, kamu lagi enggak pede atau ada kenalan baru. Terus kamu cari tahu zodiak-nya gitu. Sebenarnya coping mechanism ini jatuhnya ke poin validasi juga,” ungkapnya.
Menurut Alif, terlepas dari apakah bisa dibuktikan secara faktual atau tidak, zodiak dapat membantu seseorang untuk mengenal diri sendiri sekaligus mengembangkan diri. Sebab, kita menjadi sadar akan perilaku dan sifat-sifat kita.
“Jadi tidak cuma untuk diri sendiri, tapi juga bagi orang lain. Tapi perlu diketahui, bahwa itu enggak bisa meramal apa yang akan terjadi, tapi lebih untuk meningkatkan kesadaran.”