Internasional Aktivitas dan Tugas Mahkamah Internasional di Den Haag

Aktivitas dan Tugas Mahkamah Internasional di Den Haag

147
0

Sejarah dan Fungsi Mahkamah Internasional (ICJ)

Mahkamah Internasional (International Court of Justice – ICJ) adalah lembaga hukum yang memiliki peran penting dalam menyelesaikan sengketa antar negara. Meskipun memiliki status unik, putusan ICJ sering kali sulit ditegakkan karena keterbatasan kekuasaan penegakan hukumnya. Bangunan utama ICJ berada di Den Haag, Belanda, yang dikenal sebagai Istana Perdamaian. Arsitektur bangunan ini mencerminkan gaya klasik dengan menara hias yang memperlihatkan keindahan arsitektur abad ke-19.

Sejarah pembangunan Istana Perdamaian dimulai pada tahun 1913, sebelum Perang Dunia I pecah. Meskipun sempat menghadapi tantangan selama dua perang dunia, bangunan ini tetap bertahan dan menjadi pusat aktivitas hukum internasional. Setelah Perang Dunia II, Den Haag kembali menjadi pusat hukum internasional ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan. Di sini, ICJ mulai menjalankan tugasnya sebagai badan peradilan utama PBB.

Struktur dan Keanggotaan ICJ

ICJ terdiri dari 15 hakim yang masing-masing berasal dari negara berbeda. Mereka dipilih oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB. Setiap tiga tahun, lima hakim baru bergabung dalam panel pengadilan. Saat ini, ICJ diketuai oleh hakim Jepang Yuji Iwasawa, dengan Julia Sebutinde dari Uganda sebagai wakil presiden.

ICJ hanya mengadili kasus-kasus yang melibatkan negara-negara sebagai pihak tergugat. Hal ini berbeda dengan Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yang menangani perkara individu yang dituduh melakukan kejahatan perang atau kejahatan kemanusiaan.

Yurisdiksi ICJ

Yurisdiksi ICJ bersifat terbatas. Untuk dapat mengadili suatu kasus, semua negara yang terlibat harus telah membuat deklarasi penyerahan, yang menyatakan bahwa mereka menyerahkan semua sengketa hukum internasional kepada ICJ. Selain itu, negara-negara yang belum membuat deklarasi ini bisa secara sukarela sepakat untuk membawa masalah tersebut ke ICJ. Dalam beberapa kasus, negara bisa digugat tanpa persetujuan langsung, jika penggugat merujuk pada konvensi PBB yang menetapkan ICJ sebagai pengadilan.

Contoh paling signifikan adalah Konvensi Genosida PBB tahun 1948. Pasal 9 dari konvensi ini menyatakan bahwa sengketa harus diserahkan kepada ICJ atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa. Ukraina menggunakan konvensi ini untuk menggugat Rusia setelah invasi pada 2022. Gugatan Afrika Selatan terhadap Israel juga didasarkan pada konvensi yang sama, terkait tuduhan genosida terhadap penduduk Palestina di Jalur Gaza.

Tantangan dalam Penegakan Putusan

Meskipun putusan ICJ bersifat mengikat secara hukum, tidak ada mekanisme penegakan hukum yang kuat. Pengadilan ini tidak memiliki aparat seperti polisi dunia untuk menegakkan keputusan. Oleh karena itu, ICJ sangat bergantung pada kerja sama para pihak yang terlibat.

Contohnya, dalam kasus Ukraina, ICJ memerintahkan Rusia untuk menghentikan perang agresifnya pada Maret 2022. Namun, Rusia tetap melanjutkan perang, menunjukkan kelemahan utama ICJ dalam menegakkan putusannya. Hal ini juga berlaku dalam kasus lain, seperti gugatan Iran terhadap sanksi AS pada 2018, yang akhirnya memenangkan Teheran. Namun, pemerintahan Trump kemudian mengakhiri perjanjian persahabatan dengan Iran.

Kesimpulan

Meskipun ICJ memiliki peran penting dalam menyelesaikan sengketa internasional, kelemahan utamanya adalah kurangnya kekuasaan penegakan hukum. Meski demikian, lembaga ini tetap menjadi salah satu institusi hukum internasional yang paling dihormati. Kehadirannya di Den Haag, di tengah sejarah panjang, mencerminkan pentingnya perdamaian dan hukum internasional dalam menjaga stabilitas global.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini