
Pajak Olahraga di Jakarta: Dampak pada Masyarakat dan Kebijakan Fiskal
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan pajak sebesar 10 persen terhadap sejumlah fasilitas olahraga. Wakil Gubernur Jakarta, Rano Karno, menyatakan bahwa pajak ini akan digunakan untuk mendanai infrastruktur olahraga di provinsi tersebut. Ia menjelaskan bahwa mekanisme pajak ini mirip dengan pajak yang diterapkan pada industri film.
“Sebetulnya sama dengan pajak film,” ujarnya saat menghadiri penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) kerja sama sponsorship antara Bank Jakarta dan Persija Jakarta di Taman Menteng, Jakarta, pada Kamis, 17 Juli 2025.
Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Badan Pendapatan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 257 Tahun 2025. Dalam kebijakan tersebut, 21 jenis fasilitas olahraga seperti tenis, futsal, bulu tangkis, basket, atletik, hingga padel dianggap sebagai objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dalam kategori jasa kesenian dan hiburan.
Kritik dari Lembaga Penelitian
Kebijakan ini mendapat kritik dari lembaga penelitian dan advokasi kebijakan The Prakarsa. Ema Kurnia Aminnisa, peneliti kebijakan ekonomi dan fiskal di The Prakarsa, menilai bahwa pajak ini berpotensi menjadi disinsentif bagi masyarakat untuk menjalani gaya hidup aktif, terutama bagi kelas menengah.
“Berbeda dengan golf yang identik dengan kelas atas, olahraga seperti futsal, bulu tangkis, dan renang umumnya menjadi olahraga yang dilakukan oleh masyarakat kelas menengah,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa, 8 Juli 2025.
Ema juga membandingkan kebijakan ini dengan sejumlah negara maju yang memberikan insentif pajak untuk mendorong aktivitas fisik warganya. Contohnya, Kanada menerapkan Children’s Fitness Tax Credit yang memungkinkan orang tua mendapatkan pengurangan pajak atas biaya aktivitas olahraga anak-anak mereka. Di Inggris, pemerintah memiliki skema Cycle to Work yang membebaskan pajak untuk pembelian sepeda bagi karyawan yang ingin bersepeda menuju tempat kerja.
Dampak pada Kelas Menengah
Ekonom The Prakarsa, Roby Rushandie, menilai bahwa kebijakan fiskal semacam ini cenderung membebani kelas menengah. Mereka selama ini menjadi tulang punggung ekonomi dan patuh pajak. “Pemerintah biasanya menjadikan kelas menengah sebagai jalan pintas untuk menggenjot penerimaan pajak, padahal mereka juga menghadapi beban keuangan yang semakin besar,” katanya.
Dari sisi ekonomi, kebijakan ini bisa berdampak pada tingkat partisipasi masyarakat dalam berolahraga. Jika biaya olahraga meningkat, maka jumlah peserta di fasilitas olahraga bisa menurun. Hal ini dapat berdampak pada pertumbuhan sektor olahraga dan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
Pertimbangan Kebijakan yang Lebih Inklusif
Dalam konteks kebijakan fiskal, penting untuk mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi dari setiap kebijakan pajak. Meski tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan pendapatan daerah, pemerintah perlu mencari solusi yang lebih inklusif agar tidak memberatkan masyarakat kelas menengah.
Beberapa alternatif yang bisa dipertimbangkan antara lain memberikan diskon atau pembebasan pajak untuk fasilitas olahraga yang ramah lingkungan atau mendorong partisipasi masyarakat melalui program-program pemerintah. Dengan demikian, kebijakan pajak bisa menjadi alat yang bermanfaat tanpa mengurangi akses masyarakat terhadap fasilitas olahraga.