
Tren Perlambatan Kinerja Dunia Usaha di Indonesia
Kinerja dunia usaha di Indonesia tercatat mengalami perlambatan secara tahunan pada kuartal II-2025. Hal ini terlihat dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Saldo Bersih Tertimbang (SBT) mencapai 11,70%, angka ini lebih tinggi dibandingkan kuartal I-2025 yang sebesar 7,63%. Namun, peningkatan ini masih lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yaitu kuartal II-2024 yang mencatat SBT sebesar 17,20%.
Hasil survei BI untuk kuartal III-2025 menunjukkan bahwa kegiatan usaha masih melanjutkan tren peningkatan, dengan SBT sebesar 11,98%. Meskipun sedikit meningkat dari kuartal sebelumnya, angka ini tetap lebih rendah dibanding kuartal III-2024 yang mencatat SBT sebesar 14,40%. Dengan demikian, meskipun ada perbaikan secara kuartalan, secara struktural dunia usaha masih menghadapi tekanan.
Menurut Rizal Taufiqurrahman, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, faktor utama yang menyebabkan perlambatan adalah tekanan biaya produksi, ketidakpastian global, serta konsumsi domestik yang belum sepenuhnya pulih. Ia menilai bahwa tekanan-tekanan ini menjadi penyebab lemahnya momentum pertumbuhan sektor usaha, yang tidak sekuat tahun lalu.
Rizal memproyeksikan bahwa perlambatan ini akan terus berlanjut pada kuartal III-2025 dengan estimasi SBT sebesar 11,98%, yang lebih rendah dibanding kuartal III tahun lalu. Ia menjelaskan bahwa meskipun ada ekspansi secara kuartalan, kecepatannya tidak sekuat tahun lalu.
Selain itu, kombinasi dari tingginya biaya produksi, ketidakpastian global, pelemahan konsumsi rumah tangga, serta dampak dari kebijakan fiskal dan moneter yang cenderung ketat, menjadi faktor utama melambatnya ekspansi usaha. Jika kuartal III-2025 kembali mencatatkan perlambatan, maka hal ini menjadi sinyal konsisten terhadap perlambatan siklus bisnis yang sedang berlangsung.
Dampak pada Lapangan Kerja
Perlambatan kinerja dunia usaha berpotensi berdampak langsung terhadap lapangan kerja, khususnya di sektor-sektor padat karya seperti manufaktur, perdagangan, konstruksi, dan jasa. Dunia usaha yang melambat cenderung menahan ekspansi tenaga kerja, mengurangi jam kerja, atau bahkan melakukan efisiensi tenaga kerja dalam skala terbatas.
Dampak ini berisiko menahan penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT), atau bahkan mendorong naiknya angka pengangguran baru. Jika tren ini terus berlanjut hingga akhir tahun, maka pemulihan pasar tenaga kerja pasca-pandemi bisa tertahan. Dampaknya bisa menimbulkan tekanan sosial-ekonomi yang lebih berat, khususnya bagi kelompok berpendapatan rendah.
Peluang Pemulihan di Tahun 2026
Meskipun kondisi saat ini menunjukkan perlambatan, Rizal memprediksi bahwa peluang pemulihan di tahun 2026 cukup besar. Hal ini dipicu oleh masih tingginya suku bunga kebijakan Bank Indonesia, ketegangan perdagangan global, serta belum optimalnya realisasi belanja pemerintah di sektor produktif.
Namun, jika arah kebijakan fiskal dan moneter berubah ke arah yang lebih akomodatif, maka dunia usaha berpotensi rebound pada paruh pertama 2026. Ini penting untuk menjaga ekosistem bisnis dan ekonomi.
Langkah Kebijakan yang Diperlukan
Untuk menghadapi tantangan ini, Rizal menyarankan tiga langkah kebijakan yang terukur dan responsif:
Peningkatan Belanja Infrastruktur dan Stimulus Fiskal: Pemerintah perlu segera mempercepat belanja infrastruktur, memperkuat stimulus fiskal khusus bagi sektor UMKM dan industri strategis, serta mempercepat program reskilling tenaga kerja agar selaras dengan kebutuhan pasar.
Evaluasi Ruang Pelonggaran Suku Bunga: Bank Indonesia perlu mengevaluasi ruang pelonggaran suku bunga secara bertahap, tanpa mengganggu stabilitas harga.
Sinergi Kebijakan dan Pelaku Usaha: Diperlukan sinergi antara kebijakan fiskal, moneter, dan pelaku usaha guna menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional serta melindungi kesejahteraan masyarakat.