Ekonomi & Bisnis Kebijakan Tarif AS Buka Relokasi Industri Kendaraan Listrik ke Indonesia

Kebijakan Tarif AS Buka Relokasi Industri Kendaraan Listrik ke Indonesia

15
0
Kebijakan Tarif AS Buka Relokasi Industri Kendaraan Listrik ke Indonesia
Warga tengah mengisi daya pada kendaraan listrik di stasiun pengisian kendaraan listrik umum atau SPKLU di Gambir, Jakarta, Selasa (18/02/2025).(MI/Usman Iskandar)

KEBIJAKAN tarif tinggi yang diterapkan Amerika Serikat (AS) terhadap produk Tiongkok membuka peluang besar bagi Indonesia dalam industri kendaraan listrik (EV). Namun, tantangan fiskal serta strategi penguatan rantai pasok nasional menjadi isu utama dalam pengembangan industri ini.

Direktur Riset Ekonomi Makro, Kebijakan Fiskal, dan Moneter CORE Indonesia, A. Akbar Susanto, menilai kebijakan tarif AS yang mencapai 60% terhadap produk Tiongkok membuat produsen EV di Negeri Tirai Bambu mempertimbangkan relokasi industri mereka. Indonesia, dengan kekayaan sumber daya mineral dan kebijakan pro-investasi, berpotensi menjadi salah satu tujuan utama.

“Indonesia sudah punya modal kuat dalam rantai pasok baterai EV dengan produksi nikel yang besar. Namun, tantangan fiskal akibat pemangkasan anggaran pemerintah di 2025 perlu dikelola agar insentif tetap bisa berjalan efektif,” ujar Akbar dalam CORE Media Discussion (CMD) yang digelar oleh CORE Indonesia dan ENTREV.

Selain isu tarif dan relokasi industri, pembahasan juga menyoroti tren pasar kendaraan listrik di Indonesia. Pembina Industri Ahli Muda di Kementerian Perindustrian, Patia Jungjungan Maningdo, mengungkapkan bahwa meskipun pemerintah memberikan berbagai insentif untuk kendaraan listrik murni (BEV), minat masyarakat masih cenderung lebih besar pada mobil hybrid.

Menurutnya, keterbatasan infrastruktur pengisian daya serta kekhawatiran pengguna terkait jarak tempuh masih menjadi faktor utama kendaraan hybrid lebih diminati dibandingkan EV murni. “Konsumen Indonesia masih dalam tahap transisi. Banyak yang melihat hybrid sebagai solusi sementara sebelum benar-benar beralih ke EV murni. Ini perlu diperhatikan dalam strategi kebijakan jangka panjang,” jelas Patia.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Sepeda Motor Listrik Indonesia (AISMOLI), Hanggoro Ananta Khrisna, menilai bahwa relokasi industri dari Tiongkok ke Indonesia memang membuka peluang, tetapi ada tantangan dalam kesiapan ekosistem industri dalam negeri.

“Kalau kita ingin benar-benar menarik investasi manufaktur EV, kita harus pastikan bahwa ekosistemnya siap, termasuk rantai pasok lokal dan tenaga kerja yang kompeten. Jangan sampai kita hanya jadi tempat perakitan, bukan pusat produksi yang sesungguhnya,” tegasnya.

National Project Manager ENTREV, Boyke Lakseru, menambahkan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk menyeimbangkan antara insentif permintaan dengan penguatan kapasitas produksi lokal. “Selama ini kebijakan lebih condong ke subsidi pembelian, padahal penguatan kapasitas produksi di dalam negeri juga harus didorong. Kalau hanya mengandalkan insentif tanpa membangun industri lokal, kita hanya jadi pasar, bukan pemain utama,” ujar Boyke.

Menurutnya, ke depan, pemerintah harus berani merancang kebijakan yang tidak hanya menarik investor asing, tetapi juga mendorong tumbuhnya industri lokal yang berdaya saing tinggi. (I-2)

Tinggalkan Balasan