

INDONESIAN Petroleum Association (IPA) atau Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Bumi (migas) mendorong simplifikasi bisnis hulu migas di Tanah Air.
Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong menyebut perizinan migas saat ini masih berbelit-belit, sehingga membutuhkan waktu lama untuk melakukan eksplorasi. Hal itu yang kerap menjadi keluhan para investor.
“Persyaratannya jangan banyak. Menurut saya, hal itu yang perlu dilakukan simplifikasi,” ujarnya saat berdiskusi dengan jajaran redaksi Media Indonesia di Jakarta, Kamis (27/2).
Panjangnya proses perizinan, sambungnya, menjadi masalah laten dalam kegiatan hulu migas. Hal itu membuat kurang kondusifnya iklim investasi pada sektor tersebut.
Marjolijn mendorong pemerintah untuk memecahkan hal tersebut guna mendongkrak investasi hulu migas.
“Tolong dong, tahun ini kita bersama pemerintah serius membahas kemudahan perizinan usaha hulu migas. Jadi, jangan omon-omon saja. Untuk memecahkan hal itu perlu sinergi yang amat besar antara satu kementerian dengan kementerian lain,” ucapnya.
Ia optimistis dengan adanya perbaikan iklim usaha, proses peningkatan produksi migas nasional dapat terwujud sesuai target pemerintah. Sesuai Asta Cita ketahanan dan swasembada energi Presiden Prabowo Subianto, peningkatan produksi siap jual atau lifting minyak mencapai 900 ribu-1 juta barel pada 2028-2029.
“Harus ada tujuan bersama, jangan tujuan kementerian masing-masing. Apalagi peningkatan produksi migas itu tujuan negara. Masalah ini yang kita bahas dalam IPA Convention & Exhibition (IPA Convex) 2025,” terangnya.
IPA Convex, sambungnya, menjadi ajang besar pertemuan stakeholder migas dengan buyer atau pembeli. Dengan mengusung tema Delivering Growth with Energy Resilience in Lower Carbon Environment, IPA Convex 2025 akan digelar pada 20-22 Mei 2025 di ICE BSD, Tangerang.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pemberitaan Media Indonesia Abdul Kohar berharap IPA Convex dapat meningkatkan keberlangsungan industri hulu migas. Pasalnya, beberapa kasus mengenai tumpang tindih perizinan regulasi masih ditemukan. Seperti, sengketa tanah ulayat yang melibatkan masyarakat adat dengan pengusaha. Hal itu juga menjadi hambatan investasi hulu migas.
“Misalnya, sudah ditemukan cadangan migas di suatu kawasan, tapi karena di situ ada tanah adat, akhirnya jadi problem,” imbuhnya. (Ins/E-1)