

PRESIDEN Prabowo Subianto melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Turkiye Recep Tayyip Erdogan di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat. Salah satu yang dibahas ialah kerja sama atau joint venture produksi alat pertahanan dengan perusahaan-perusahaan Turkiye.
Merespons itu, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyebut penguatan kerja sama produksi alat pertahanan dengan Turki adalah langkah strategis yang sejalan dengan upaya Indonesia membangun kemandirian alutsista.
Tak hanya itu, Khairul menilai kerja sama produksi alat pertahanan dengan Turki juga mengurangi ketergantungan terhadap negara-negara besar.
“Turki telah menunjukkan keberhasilan dalam mengembangkan industri pertahanan yang mandiri dan memiliki komitmen kuat terhadap inovasi teknologi pertahanan,” ungkap Khairul kepada Media Indonesia, Rabu (12/2).
“Turki menjadi mitra yang menarik karena industrinya berkembang pesat dengan berbagai produk unggulan, mulai dari kendaraan tempur darat, drone, hingga sistem pertahanan udara,” tambahnya.
Khairul membeberkan keberhasilan Turki dalam membangun teknologi sendiri tanpa terlalu bergantung pada negara lain adalah sesuatu yang juga ingin dicapai Indonesia.
Khairul menuturkan salah satu keunggulan kerja sama dengan Turki adalah fleksibilitas dalam transfer teknologi. Banyak negara maju, kata Khairul, memberlakukan pembatasan ketat dalam berbagi teknologi militer, yang sering kali membatasi ruang gerak Indonesia dalam mengembangkan industri pertahanannya sendiri.
Di sisi lain, Khairul menyebut Turki lebih terbuka untuk berbagi teknologi dan membangun kolaborasi jangka panjang yang memungkinkan Indonesia tidak hanya membeli, tetapi juga ikut memproduksi alutsista di dalam negeri.
“Turki juga memiliki pengalaman menghadapi sanksi dan pembatasan internasional. Setelah membeli sistem pertahanan udara S-400 dari Rusia, mereka menghadapi tekanan dari negara-negara Barat. Namun, alih-alih bergantung pada pemasok luar, mereka justru mempercepat pengembangan teknologi pertahanan dalam negeri,” tuturnya.
“Pengalaman ini bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam upaya memperkuat industri strategisnya tanpa terpengaruh dinamika geopolitik global,” tegas Khairul.
Khairul juga mengemukakan hubungan bilateral antara Indonesia dan Turki juga sudah terjalin erat, baik di sektor ekonomi, politik, maupun pertahanan. Kedua negara memiliki visi yang selaras dalam memperkuat ketahanan nasional dan mendorong kemandirian industri pertahanan.
Sehingga kerja sama ini bukan sekadar transaksi jual beli, tetapi juga mencerminkan upaya bersama dalam membangun ekosistem pertahanan yang lebih kuat dan mandiri.
“Dalam konteks ketahanan nasional, diversifikasi sumber alutsista menjadi hal yang penting. Ketergantungan pada satu atau dua negara dalam pengadaan alat pertahanan dapat menjadi risiko jika terjadi perubahan kebijakan atau embargo,” paparnya.
Dengan menggandeng Turki, lanjut Khairul, Indonesia memiliki lebih banyak opsi dan fleksibilitas dalam memilih teknologi yang sesuai dengan kebutuhan militernya.
Dari segi industri, Khairul mengatakan kerja sama ini dapat memberikan dorongan besar bagi perusahaan pertahanan dalam negeri. PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, dan PT PAL bisa mendapatkan akses ke teknologi baru, meningkatkan kapasitas produksi, serta mempercepat pengembangan berbagai sistem persenjataan.
Hal itu lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan dalam negeri. Menurutnya, kerja sama ini juga membuka peluang bagi Indonesia untuk memasuki pasar ekspor alutsista, sebagaimana yang telah dilakukan Turki dengan produk-produk pertahanannya.
“Kerja sama ini juga memiliki dampak strategis dalam memperkuat daya tangkal Indonesia di tengah dinamika geopolitik yang terus berkembang. Dengan memiliki sumber alutsista yang lebih beragam, Indonesia bisa lebih siap menghadapi berbagai ancaman di kawasan dan memastikan kedaulatan negara tetap terjaga,” pungkasnya. (Ykb/J-2)