GUNA mencapai target net zero emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat, sekaligus mendukung pencapaian visi Indonesia Emas 2045, transisi energi berkeadilan harus menjadi prinsip utama.
Selain itu, percepatan transisi energi berkeadilan membantu Indonesia melaksanakan kesepakatan pada Conference of Parties (COP-28) untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat (triple up) dan menggandakan upaya efisiensi energi (double down) pada tahun 2030 untuk menjaga kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celsius.
Ketua Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Bambang Brodjonegoro, mengatakan bahwa untuk mencapai seluruh target tersebut diperlukan pendekatan yang adil, terarah dan inklusif. Menurutnya, bagi Indonesia, peningkatan kapasitas energi terbarukan dan efisiensi energi memerlukan langkah nyata yang memprioritaskan kesetaraan sosial dan ekonomi.
“Pendekatan transisi yang adil dan terarah perlu dilakukan secara kolaboratif, didukung oleh kebijakan yang tepat, investasi infrastruktur, penguasaan teknologi, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Artinya, kita perlu menyelaraskan antara kebijakan ekonomi dan energi untuk mendukung penciptaan lapangan kerja, resiliensi ekonomi dan pertumbuhan berkelanjutan, memastikan tidak seorangpun yang tertinggal dalam proses transisi energi,” kata Bambang pada pembukaan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024 yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) di Jakarta, Senin (4/11).
Bambang juga menegaskan pentingnya pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan mengubah pandangan bahwa transisi energi adalah peluang ekonomi bukan sebuah beban sehingga dapat menarik lebih banyak investasi dan menciptakan ekosistem bisnis yang berkelanjutan.
“ntegrasi praktik berkelanjutan dalam ekonomi Indonesia akan mendukung agenda Asta Cita dari kepemimpinan Prabowo-Gibran untuk mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen,” sebutnya.
Di kesempatan yang sama, Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste, Dominic Jermey CVO, OBE, menyatakan bahwa sebagai bagian dari aksi mitigasi iklim, Inggris telah mengakhiri operasi PLTU batu bara terakhirnya bulan lalu, sehingga kini seluruh pasokan listriknya tidak ada yang berasal dari batubara.
“Inggris berkomitmen untuk berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim, bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga dengan berbagai mitra global termasuk Indonesia, serta berkolaborasi bersama karena perubahan iklim merupakan tantangan global yang membutuhkan aksi global. Di Indonesia, sejauh ini investasi senilai lebih dari USD 800 juta telah disetujui dalam Just Energy Transition Partnership (JETP). Pembiayaan lainnya dari JETP internasional senilai USD 5-6 miliar sedang dinegosiasikan dan siap mengalir untuk mendukung transisi energi terbarukan. Indonesia tidak sendirian dalam perjalanan transisi energi,” jelas Dominic.
Sebagai mitra global, sambung Dominic, Inggris bersama anggota International Partners Group (IPG) lainnya dalam kemitraan JETP , senantiasa mendukung upaya dekarbonisasi sektor energi Indonesia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyebut bahwa pelaksanaan transisi energi yang adil dan tertata memerlukan komitmen dan kepemimpinan kuat yang mampu mendorong pemangku kepentingan mengambil langkah nyata dalam meningkatkan bauran energi terbarukan, melaksanakan efisiensi energi, dan membangun kolaborasi lintas sektor, serta mengatasi hambatan-hambatan investasi untuk mencapai target nasional.
“Peningkatan bauran energi terbarukan membutuhkan peningkatan investasi yang akan meningkatkan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi tinggi delapan persen yang menjadi target pemerintah Prabowo,” terang Fabby.
Selain itu, sambung dia, adanya target yang jelas dan peningkatan permintaan teknologi energi bersih dalam negeri akan mendorong minat investasi pada manufaktur industri teknologi energi bersih jika didukung kebijakan dan regulasi yang memadai. Pertumbuhan industri manufaktur domestik ini akan menyumbang pertumbuhan ekonomi. Selain itu, Fabby menegaskan bahwa ketersediaan energi bersih juga dapat menjadi daya tarik untuk investasi hilirisasi maupun industri manufaktur lainnya.
“Untuk itu, pemerintah perlu menyelaraskan perencanaan pembangunan, menyelaraskan kebijakan transisi energi dengan kebijakan industri dan juga peningkatan kualitas SDM,” jelas Fabby.
Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi menyebutkan bahwa investasi energi terbarukan di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan proyek energi terbarukan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, terdapat peluang investasi sebesar US$15,9 miliar.
“Pemerintah berupaya menarik investasi ini dengan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No. 11/2024 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, serta Peraturan Menteri Perindustrian No. 33/2024 tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri Untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Langkah ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan infrastruktur energi terbarukan sambil membangun industri energi terbarukan dalam negeri,” tandasnya. (J-3)