
Perjuangan Pencari Kerja di Jakarta Job Fest 2025
Hiruk-pikuk Jakarta Job Fest 2025 menyimpan banyak cerita berbeda dari para pencari kerja. Bagi mereka, deretan meja perusahaan bukan sekadar stand pameran, tetapi tempat menaruh asa agar hidup kembali bergerak dan terhindar dari jeratan pengangguran. Selain para generasi Z alias Gen Z yang baru saja lulus sekolah, ada juga kaum pekerja milenial yang dikejar batas umur demi mendapat pekerjaan.
Kisah sulitnya mencari kerja di Jakarta dirasakan oleh Sultan. Pria berusia 26 tahun bergegas mengunjungi acara yang berlangsung di Balai Kartini, Jakarta Selatan. Diantar oleh sang Ibu, Sultan telah menyusun rapi dokumen di dalam tas selempangnya sebagai modal bertarung di arena yang akrab disebut job fair. Riuh suara panggilan tawaran kerja dari setiap stand perusahaan membawanya terus menyusuri bilik-bilik yang disesaki oleh ratusan pencari kerja.
Sesekali Sultan berhenti di stand yang membuka lowongan pekerjaan sesuai keinginannya. Dia menanyakan syarat dan mendaftar dengan harapan menjadi salah satu karyawan di perusahaan tersebut. Bermodalkan ijazah S1 Teknik Lingkungan dari Universitas Andalas, Padang, Sultan tetap optimis bahwa perusahaan yang diinginkan akan memanggil untuk sesi wawancara. Pria kelahiran Jakarta 1999 itu bukan pemula dalam mencari pekerjaan. Dia telah melangkah menyusuri lowongan pekerjaan di platform online sejak lulus dari kampus 2023 silam.
“Kalau ikut job fair saya agak jarang ya, karena saya kan mengingat zaman sekarang lebih banyak yang online. Saya sih, kalau saya ingat saya ya, sekitar 200-an sudah ada melamar [di platform online] dan yang memang ada memanggil untuk wawancara itu sekitar 3 atau 4 aja,” kata Sultan kepada Bisnis saat pelaksanaan Jakarta Job Fest 2025 beberapa waktu lalu.
Selain secarik kertas ijazah, Sultan ‘menjual’ portofolionya ketika sempat magang sebagai ahli lingkungan di salah satu perusahaan semen ternama. Di sana, dia mendapatkan pengalaman mengatur kadar emisi yang dihasilkan oleh pabrik semen tersebut. Namun, bekal itu masih sulit bagi dirinya untuk terserap di lapangan pekerjaan. Dua tahun menganggur, Sultan telah mencicipi pahitnya mencari kerja. Sultan kerap dihadapkan dengan syarat yang tidak masuk akal di perusahaan. Salah satunya ketika perusahaan membutuhkan karyawan lulusan baru atau fresh graduate, tapi wajib memiliki pengalaman dua tahun.
“Secara definisi kan [saya] orang baru. Kalau anak baru sudah punya pengalaman, artinya bukan anak baru gitu. Anak berpengalaman. Itu sih salah satu masalah saya selain umur gitu loh,” ujarnya.
Sebagai anak pertama dari dua bersaudara, Sultan merasakan beban moral lantaran sampai saat ini belum mendapatkan pekerjaan. Pikiran dan batinnya terus diuji untuk melewati fase-fase ini. Satu tahun setelah kelulusan, sempat terbesit di pikirannya: “akan kah nasib ini dialami hingga waktu yang panjang?”
“Walaupun saya misalnya tidak perlu sangat sukses sekali gitu, tapi setidaknya orang tua saya tuh bisa ngeliat ‘Oh, anak saya ada yang bisa bekerja gitu, ada yang bisa menghasilkan uang sendiri’ Kalau dengan orang tua saya tersenyum seperti itu saja saya sudah ‘Ah, bersyukur saya,” ucap Sultan sambil tersenyum lirih.
Perjuangan serupa juga dilakukan oleh generasi milenial yang bernama Agung Putra. Usianya memang tidak lagi muda, 43 tahun. Namun, Agung tetap semangat mencari kerja layaknya seorang pemuda. Berbeda dengan Sultan, Agung telah lebih dulu mencicipi pahit-getir kehidupan dunia kerja. Dia mempunyai pengalaman tujuh tahun sebagai pegawai inventory. Pada Agustus tahun ini, dirinya mengundurkan diri karena hendak menjalankan ibadah Umrah.
Ironisnya perjalanan ke Tanah Suci dia peroleh setelah mendapatkan kupon Umrah gratis, justru batal terlaksana. Alhasil, Agung harus kembali meniti karir di usia lebih dari empat dekade. Pria kelahiran Malang, 1982 itu secara perdana mulai mencari pekerjaan melalui gelaran job fair di salah satu kampus di Jakarta dan kedua di acara Jakarta Job Fest 2025.
Selama hampir dua bulan menganggur, dia rutin memantau situs lowongan kerja daring. Hampir setiap hari mengirimkan CV ke perusahaan yang sesuai bidang dan menerima pekerja tanpa melihat batas usia. Meskipun nyatanya, hal itu sulit terlaksana. Begitupun ketika mengikuti gelaran job fair, Agung mendapat fakta bahwa sedikit perusahaan yang dapat menerima dirinya yang sudah memasuki usia senior. Namun, Agung tetap optimis barangkali beberapa perusahaan dapat menerimanya bekerja.
Agung berkelana ke setiap stand yang ada di dalam Balai Kartini, berbincang dengan perwakilan perusahaan, mendaftarkan diri melalui tautan barcode, dan menyimpan berbagai brosur. Salah satunya dia mendaftar sebagai anggota Pusat Pelatihan Kerja Daerah (PPKD).
“Makanya tadi saya di depan ada stand kementerian yang buka pelatihan-pelatihan itu. Itu saya senang sekali tuh. Jadi tidak ada batas sumur. Mau muda, mau tua yang penting udah ini bisa kemauannya udah ada,” kata Agung.
Saat ini, Agung bertahan hidup dengan cara Mantab atau ‘makan tabungan’ yang dia miliki. Agung berupaya keras mendapatkan pekerjaan agar tidak bergantung dari tabungan yang dalam jangka waktu tertentu akan habis. Agung berujar bahwa acara job fair diharapkan tetap diadakan secara berkala karena memberikan kesempatan mendapatkan pekerjaan.
Menurut Agung, pemerintah jangan hanya memberikan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat, tapi membuka lapangan pekerjaan yang luas. “Sebenarnya kita kan enggak ingin, enggak terlalu ingin kita dikasih uang gratis [bansos] sama pemerintah, kita pinginnya kasih kesempatan gitu biar bisa kerja sendiri,” tutur Agung.
Di umur yang tidak lagi muda, Agung mengimbau kepada kawula muda untuk memperluas relasi baik di dalam negeri maupun luar negeri. Anak-anak muda diminta melakukan kegiatan positif serta mengikuti pelatihan kerja agar tidak menyia-nyiakan saat di usia produktif. Apalagi, saat ini kemajuan teknologi mempermudah anak-anak muda mendapatkan pekerjaan, dibanding generasi-generasi sebelumnya.
Semangat dari generasi muda mencari pekerjaan, nyata dilakukan oleh perempuan bernama Rania. Gadis berumur 18 tahun itu baru saja lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Jurusan Desain Grafis di daerah Bogor. Bersama teman seperjuangan, dia berkeliling menghampiri setiap stand yang membuka lowongan pekerjaan di bidang itu. Dia datang membawa sejumlah CV untuk ditebar ke berbagai perusahaan. Pertama kalinya Rania menjejakkan kaki di acara job fair setelah diberitahu oleh guru pelatihan kerjanya semasa SMK.
Lulus di bulan Juli 2025, Rania telah mengirimkan sejumlah CV melalui aplikasi pencari kerja, namun sampai saat ini belum mendapatkan panggilan. Perempuan kelahiran Jakarta Timur pada 2007 itu juga menginginkan bekerja sebagai content creator karena memiliki pengalaman host live saat menjalani masa Praktik Kerja Lapangan (PKL). Namun, Rania terhalang ketentuan perusahaan yang sebagian besar menerima pekerja lulusan S1 dan D3, sedangkan dirinya belum menempuh pendidikan di jenjang tersebut. Rania merasa informasi acara job fair masih minim diinformasikan.
“Bikin berat terutama itu, lulusan harus S1 [dan] D3 itu lumayan berat juga. Terus biasanya yang berat sih nyari-nyari informasinya ya karena nyari informasinya agak lumayan susah juga kayak gini-gini. Itu pun saya tahunya juga dari guru saya. Untungnya saya ikut pelatihan,” ungkap Rania.
Rania menargetkan setidaknya terdapat 5 perusahaan mengabari dirinya untuk mengikuti tahap selanjutnya agar berpeluang kerja dalam jangka waktu dekat. Rania merasa kurang yakin gelaran job fair seperti Jakarta Job Fest 2025 dapat menyerap tenaga kerja. “Interaksi antara tenan dengan pencari kerja kurang berjalan baik. Penjaga stand cenderung mengarahkan pencari kerja mengetahui informasi dari barcode yang berisikan berbagai syarat dan informasi lainnya. Padahal, perusahaan bisa buka dialog langsung dengan kami,” imbuhnya.

330.000 Pengangguran Jakarta
Perjuangan Sultan, Agung, hingga Rania demi mendapat pekerjaan merupakan potret miris generasi muda di Indonesia saat ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) komposisi angkatan kerja di Jakarta pada Agustus 2025 terdiri dari 5,13 juta orang penduduk yang bekerja. Adapun, BPS mencacat sebanyak 330.000 orang berstatus pengangguran atau tak punya pekerjaan.
Jika dibandingkan Agustus 2024 (year on year/yoy), jumlah angkatan kerja meningkat sebanyak 13.000 orang, penduduk bekerja bertambah sebanyak 21.000 orang, sementara pengangguran berkurang 766.000 orang. BPS mencatat penduduk usia kerja (PUK) di Jakarta pada Agustus 2025 mencapai 8,43 juta orang, naik 66.000 orang dibanding kondisi Agustus 2024 yang lalu. Sebagian besar penduduk usia kerja merupakan angkatan kerja, yaitu sebesar 5,46 juta orang, sisanya bukan angkatan kerja sebanyak 2,97 juta orang.
BPS mengklasifikasi tiga sektor yang menyerap tenaga kerja yaitu sektor perdagangan sebesar 23,01%; sektor penyediaan akomodasi dan makan minum sebesar 12,67%; dan sektor pengangkutan dan pergudangan sebesar 11,83%. Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno mengatakan upaya menurunkan angka pengangguran di Jakarta adalah melalui gelaran job fair seperti Jakarta Job Fest 2025. Dia menargetkan 10 ribu tenaga kerja terserap melalui acara ini.
“Target ini sekaligus menekan angka pengangguran di Jakarta yang mencapai 330.000 orang,” ujarnya. Solusi lain yang ditawarkan Rano, yaitu merekomendasikan masyarakat atau para pencari kerja mendaftar sebagai supir Transjakarta. Pasalnya, BUMD milik Pemprov DKI Jakarta tersebut membutuhkan 1.000 tenaga kerja supir yang bisa didapatkan melalui Akademi Transjakarta.
Untuk mencegah angka pengangguran meningkat, Rano berencana memasukkan sejumlah bahasa asing di kurikulum sekolah. “Lapangan kerja tidak hanya didapat dari dalam negeri, tetapi bisa memanfaatkan lapangan kerja di luar negeri. Contohnya negara Jepang membutuhkan 750.000 tenaga kerja setiap tahunnya,” imbuh Bang Doel.
Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Provinsi DKI Jakarta Syaripudin juga optimis gelaran Jakarta Job Fest 2025 menjaring banyak tenaga kerja. Sebab, acara ini membuka 12.000 lowongan pekerjaan di berbagai bidang dari 70 perusahaan nasional dan 20 perusahaan internasional. “Selain itu, terdapat pelatihan kerja yang bertujuan melatih soft skill dan hard skill bagi pekerja yang datang,” ucapnya.

Job Fair Bukan Satu-satunya Solusi
Menanggapi fenomena tersebut, Nailul Huda selaku Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai gelaran job fair bukan solusi utama menekan angka pengangguran di DKI Jakarta. Menurutnya, penyelenggara kerja perlu ditingkat untuk menyerap tenaga kerja serta kompetisi pencari kerja turut disokong melalui program pelatihan.
Nailul menjelaskan DKI Jakarta masih menjadi pusat ekonomi di Indonesia karena perputaran uang tergolong cepat. Baginya hal tersebut merupakan kesempatan bagi pemerintah DKI Jakarta menciptakan lapangan pekerjaan terutama di sektor jasa. “Jika kita lihat, jasa perusahaan ataupun jasa lainnya mampu menjadi penyerap tenaga kerja. Selain itu, ada jasa kesehatan dan kegiatan sosial. Jakarta memang sudah menjadi kota jasa yang tidak bergantung pada industri. Dengan begitu, pekerjaan sektor jasa menjadi incaran pekerja di Jakarta,” katanya kepada Bisnis, Jumat (14/11/2025).
Dia juga meminta lebih cermat memberikan iklim yang tepat bagi pelaku usaha di bidang jasa sehingga sektor jasa mampu berkembang secara progresif. Meski demikian, dia mendukung upaya Pemprov DKI Jakarta menambah jumlah pelajaran bahasa asing di sekolah karena mampu menunjang pekerjaan atau keberhasilan pelamar kerja, khususnya di bidang jasa.
“Upaya itu sekaligus menarik perusahaan internasional untuk memiliki kantor di Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menilai job fair merupakan salah satu cara cepat untuk setiap industri mendapat karyawan dan juga peluang bagi pekerja aktif yang ingin meningkatkan keterampilan atau penghasilan. Dengan catatan, tata kelola job fair berjalan baik. Menurut Eko, Pemprov DKI Jakarta perlu proaktif meningkatkan up-skilling atau re-skilling untuk memastikan pencari kerja mempunyai kesempatan besar agar bisa diterima di perusahaan.
Dia menekankan industri yang terlibat harus relevan dengan kebutuhan di DKI Jakarta. Adapun, penambahan bahasa asing juga mampu berkontribusi terhadap serapan tenaga kerja. “Bahasa asing itu harus memang melihat dari market-nya apakah itu mandarin kah atau apa gitu yang kira-kira match dengan mitra-mitra kita. Jadi arah Indonesia ke depan itu mau bekerja sama di investasi mana dengan siapa itu akan menentukan bahasa yang perlu dipelajari,” jelas Eko.
Lebih lanjut, dia menilai 330 ribu pengangguran di DKI Jakarta masih tergolong besar, mengingat provinsi ini masih menjadi magnet investasi dan berkontribusi terhadap ekonomi nasional. “Pemprov DKI Jakarta harus menerapkan kebijakan pro investasi dan memprioritaskan tenaga kerja dalam negeri sehingga angka pengangguran dapat mengecil, serta menyerap lebih banyak usia produktif kerja,” ucapnya.






















































