
Pengembangan Material Perubahan Fasa untuk Manajemen Energi
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sedang melakukan penelitian dan pengembangan phase change material (PCM), yaitu bahan yang mampu menyimpan dan melepaskan energi termal saat mengalami perubahan fase dari padat ke cair atau sebaliknya. PCM ini digunakan sebagai media pengatur suhu dalam berbagai sistem, seperti sel bahan bakar dan baterai lithium.
Menurut Anggito Pringgo Tetuko, Peneliti Ahli Madya di Pusat Riset Material Energi BRIN, riset ini didukung oleh berbagai pihak, termasuk Pemerintah Australia, LPDP, Program Rumah Inovasi ORNM BRIN, serta NEDO Jepang. Selain itu, terdapat kolaborasi internasional dengan universitas di Australia, Cina, Korea, Vietnam, dan Indonesia sendiri.
Proses perpindahan panas pada PCM biasanya dimulai dari konduksi, kemudian konveksi, dan akhirnya terjadi perubahan fasa. Dalam sistem proton exchange membrane fuel cell (PEMFC), PCM membantu menjaga suhu operasi antara 60–80 derajat Celsius agar tidak terjadi overheating.
Selain digunakan dalam sel bahan bakar atau baterai, PCM juga bisa dimanfaatkan sebagai penyimpan energi panas yang disisipkan ke beton atau dinding bangunan. Hal ini dapat membantu menghemat penggunaan energi pendingin dan pemanas.
Namun, salah satu tantangan utama dalam penggunaan PCM adalah konduktivitas termal yang rendah. Untuk mengatasinya, Anggito menambahkan nanopartikel magnetik FeO guna meningkatkan hantaran panas tanpa mengurangi kapasitas panas laten.
Teknologi Solid Oxide Cell untuk Produksi Hidrogen
Pusat riset yang sama juga melakukan penelitian terkait Solid Oxide Cell (SOC), sebuah teknologi konversi energi ramah lingkungan yang memiliki emisi rendah dan digunakan untuk produksi hidrogen. Menurut Riyan Achmad Budiman, Peneliti Ahli Muda di BRIN, SOC bekerja melalui reaksi antara oksigen dan hidrogen yang membentuk air dan energi listrik.
Terdapat juga Solid Oxide Electrolysis Cell (SOEC) yang bekerja secara terbalik, yakni memanfaatkan energi listrik untuk menguraikan uap air menjadi hidrogen. Kedua sistem ini memiliki struktur dan komposisi material serupa, termasuk lapisan elektroda berbasis lanthanum strontium cobalt iron oxide, gadolinium doped ceria (GDC), serta elektrolit yttria stabilized zirconia (YSZ).
Riyan menjelaskan bahwa SOEC lebih fokus pada skala industri besar, sementara teknologi SOFC di Jepang seperti ENE-FARM Type S mampu menghasilkan daya hingga 0,7 kilowatt untuk kebutuhan rumah tangga dan 5 kilowatt untuk bangunan komersial.
Perusahaan seperti Topsoe (Denmark) sedang membangun pabrik SOC berskala Eropa dengan efisiensi 20–30 persen lebih tinggi dibandingkan teknologi elektrolisis suhu rendah, serta biaya produksi hidrogen yang lebih ekonomis.
Teknologi Co-Electrolysis SOEC untuk Bahan Bakar Sintetis
Penelitian terkini juga mengarah pada teknologi co-electrolysis SOEC, yang menggabungkan uap air dan karbon dioksida untuk menghasilkan bahan bakar sintetis cair. Pendekatan ini memungkinkan proses daur ulang karbon dioksida serta peningkatan efisiensi konversi energi.
Salah satu proyek percontohan co-electrolysis SOEC dikembangkan oleh New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) Jepang bersama Institute of Advanced Science and Technology (IAST). Tujuan utama dari riset ini adalah meningkatkan durabilitas dan stabilitas jangka panjang SOC agar mampu beroperasi lebih dari sepuluh tahun dengan degradasi performa di bawah 15 persen.
Penelitian ini didukung NEDO Jepang dalam program fundamental research and development for liquid synthetic fuel production, yang mengombinasikan proses produksi gas sintetik berbasis energi terbarukan dan reaksi Fischer–Tropsch.






















































