
Tantangan Implementasi Program Makan Bergizi Gratis di Balikpapan
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diterapkan di Kota Balikpapan menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Mulai dari masalah kelayakan pangan hingga ketergantungan terhadap pasokan luar daerah, semua ini menjadi penghalang bagi keberhasilan program ini.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Balikpapan, Muhaimin, menjelaskan bahwa tantangan dalam implementasi MBG tidak hanya sebatas pengiriman makanan. Proses memasak, penghidangan, dan distribusi harus dilakukan dengan pengawasan ketat agar makanan tetap layak dikonsumsi.
“Masalahnya jauh lebih rumit dari yang kita bayangkan. Jika hanya mengirimkan makanan, bisa saja makanan sudah basi saat sampai di tangan siswa,” ujarnya saat berbicara di hadapan awak media.
Durasi waktu antara penyajian dan konsumsi menjadi faktor penting. Oleh karena itu, sosialisasi kepada orang tua murid sangat diperlukan agar program ini dapat berjalan secara efektif.
Keterbatasan Sentra Penyediaan Makanan Bergizi
Salah satu kendala lain adalah minimnya jumlah Sentra Penyediaan Makanan Bergizi (SPBG) yang memenuhi syarat. Meskipun banyak pelaku usaha yang tertarik untuk bergabung, persyaratan administratif seperti ketersediaan sarjana kesehatan lingkungan dan ahli gizi menjadi hambatan.
Dari target 65 SPBG, Muhaimin berharap setidaknya 50% dapat terpenuhi pada tahun depan. Namun, saat ini hanya 17% dari sekitar 150.000 siswa yang dapat menikmati program ini.
“Mudah-mudahan dengan adanya diskusi-diskusi FGD seperti ini, lebih banyak lagi pelaku usaha yang tertarik kemudian melengkapi persyaratan,” katanya.
Ketergantungan Pasokan Luar Daerah
Kondisi supply chain pangan Balikpapan juga menjadi permasalahan serius. Banyak komoditas seperti telur, sayur, daging, dan beras medium diimpor dari luar daerah. Hal ini membuat fluktuasi harga menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan program.
“Telur kita impor, sayur juga kita impor, daging kita impor (dari luar daerah),” ujarnya.
Muhaimin khawatir kenaikan permintaan hingga 50% akan memperburuk inflasi lokal, sementara standar harga MBG ditetapkan Rp12.000 per porsi.
Beban Tambahan pada Guru dan Infrastruktur Penyimpanan
Di tengah tantangan ini, beban tambahan juga menimpa guru yang kini harus mengumpulkan ompreng (wadah makanan) siswa. Infrastruktur penyimpanan pangan yang layak pun masih minim, mengingat jeda waktu antara pengantaran dan jam makan dapat mencapai setengah jam.
Sebagai solusi, Pemkot Balikpapan telah mengusulkan penyesuaian harga kepada Satgas Kepresidenan MBG. Muhaimin berargumen bahwa karakteristik daerah penghasil pangan seperti Pulau Jawa berbeda dengan Balikpapan.
“Harusnya harga makan bergizi gratis per daerah itu jangan disamakan. Harus disesuaikan dengan karakteristik daerah,” tegasnya.
Tantangan Harga Kebutuhan Pokok
Satuan Tugas Pangan Balikpapan kini dituntut untuk bekerja ekstra dalam menekan harga kebutuhan pokok. Menurut Muhaimin, tanpa intervensi pemerintah pusat, program ambisius ini terancam jalan di tempat mengingat komoditas seperti cabai dan kangkung saja sudah kerap memicu inflasi.
Selain itu, pemerintah daerah terus mendorong sinergi lintas sektor meski masih jauh dari sempurna. Adapun, dia menuturkan program MBG harus terus didorong demi pemenuhan gizi generasi mendatang.


















































