
Perspektif Ilmu Sosial terhadap Film Frankenstein (2025) oleh Guillermo del Toro
Film Frankenstein (2025) karya sutradara Guillermo del Toro membuka ruang refleksi yang luas tentang relasi antara ilmu pengetahuan, kemanusiaan, dan tanggung jawab sosial. Dalam tulisan ini, Dr. Jeanne Francoise—perempuan pertama bergelar Doktor Ilmu Pertahanan dari Universitas Pertahanan Republik Indonesia sekaligus dosen tetap Hubungan Internasional di President University—menelaah film tersebut dari perspektif ilmu sosial. Melalui pendekatan ini, ia mengajak pembaca memahami bagaimana karya del Toro bukan sekadar kisah horor klasik, melainkan cerminan kompleksitas moral dan sosial manusia modern.
Walaupun plot cerita Frankenstein kental dengan pembahasan ilmu pasti (natural science) dan ilmu kedokteran, namun dampak sosial yang ingin diungkapkan oleh penulis novel aslinya, Mary Shelley, justru sangat berkaitan dengan prinsip dasar ilmu sosial, terutama konsep Moral dan Etika. Terlebih film Frankenstein terbaru hasil arahan sutradara terkemuka pemenang Oscar, Guillermo del Toro, yang sedang tayang di Netflix sejak 7 November 2025 ini, mengingatkan kita pada dominasi perpaduan plot khas sang sutradara: komedi hitam, eksistensi monster, dan bersifat puitis.
Sejak adaptasi dari novel ke dalam layar lebar sejak tahun 1941, hingga kini setidaknya sudah terdapat 46 karya film Frankenstein, baik dalam bentuk kisah solo, tokoh dalam series, maupun kartun. Agaknya ketika kisah Frankenstein ini akhirnya dilirik oleh sutradara Guillermo del Toro, maka pemirsa akan dapat menebak bahwa alur ceritanya akan berubah. Beberapa film Frankenstein yang sudah dibuat, mengikuti keaslian novelnya dan menekankan kepada kemampuan dunia akademik dalam menggapai kemampuan Tuhan. Namun film Frankenstein (2025) karya Guillermo del Toro justru pertama kalinya mengungkapkan perspektif cerita dari si ‘monster’ sendiri, yang sebetulnya tidak pernah dinamakan ‘Frankenstein’.
Pemahaman Kehidupan dan Kematian
Dengan durasi yang cukup lama 2 jam 29 menit, penonton akan menyelami perasaan dan emosi si monster Frankenstein yang selama ini belum terungkap, bahkan dalam novel aslinya sekalipun, terutama kekecewaannya akan tidak adanya pilihan untuk tiba-tiba ‘hidup’ dan rasa sedih-nya ketika melihat orang-orang baik disekitarnya dijemput sakratul maut, satu-satunya hal di dunia ini yang tidak akan pernah dia hadapi, akhirnya membuat kita berpikir ulang tentang makna kehidupan itu sendiri. Disinilah ciamik-nya sutradara Guillermo del Toro, dalam menyajikan kelengkapan kisah Frankenstein dari perspektif ilmu sosial, terutama Moral dan Etika.
Apabila kita merenungi makna kehidupan, secara Moral, pemikiran kita tidak terhindarkan tentang bagaimana kita lahir, hidup, mencari nafkah, dan meninggal suatu hari nanti. Secara Etika, perasaan kita tidak akan terhindarkan dari rasa cinta, kesadaran batin, relasi dengan keluarga, pasangan, dan orang lain. Semua urusan moral dan etika itu bisa terjawab, karena akhir dari dunia yang fana ini adalah kematian. Namun ketika penonton akhirnya mengetahui bahwa si monster Frankenstein punya moral dan etika, penonton tetap tidak bisa menjawab akhir hidup si monster, yang tidak akan pernah berakhir, karena dia abadi dan tidak bisa mati.
Keabadian dan Rasa Sedih
Sehebat-hebatnya dan se-gagah-gagahnya manusia, manusia tetap tahu bahwa suatu hari akan meninggal dunia, sehingga terdapat keabsahan dan kepastian untuk menjalani hidup ini, entah jadi orang baik, atau orang jahat, ujung-ujungnya tetap akan mengalami kematian raga. Namun bayangkan kalau kita sebagai si monster Frankenstein, hidupnya tetap abadi, mengalami kesedihan ketika melihat orang-orang yang kita sayang mendahului kita, dan rasa stress karena sendirian menjadi makhluk abadi.
Sungguh menyedihkan dan ironi. Hidup serasa jauh lebih menyeramkan daripada di neraka. Perihal ini seolah-olah menampar kita semua, yang terkadang ingin tidak cepat-cepat mati, awet muda, bahkan terkadang menyesalkan kenapa orang-orang yang kita kasihi mengalami kematian. Ternyata kisah Frankenstein terbaru ini menempatkan kematian sebagai sesuatu yang juga berharga bagi kehidupan.
Pengalaman Menonton Film Horor yang Berbeda
Oleh sebab itu, Guillermo del Toro mampu menghadirkan kisah terkenal Frankenstein menjadi lebih hidup, lebih intim, dan justru lebih menyeramkan. Sebagai pecinta film horror, bagi saya film ini paling horror di antara film horror terbaru lainnya, karena keabadian dan anti-mati ternyata sungguh menyeramkan. Kematian ternyata justru menjadi hal yang berharga dan dirindukan.
Perlu diketahui bahwa Guillermo del Toro, juga yang menuliskan naskah film ini, artinya kekhasan dirinya dalam ghotisme, dunia monster, dan dominasi puisi, dapat dirasakan sejak awal. Sebagai contoh, plot film ini dibagi ke dalam 3 (tiga) babak utama, yakni Prelude, Story of Victor Frankenstein, narasi cerita prespektif sang kreator monster, dan Story of Monster, atau narasi cerita perspektif dari sang monster. Walaupun kita sudah sangat familiar dengan kisah Frankenstein selama ini, Guillermo del Toro tetap dapat menghadirkan kekuatan cerita yang membuat pemirsa fokus dan terkesima hingga akhir babak.
Perspektif Ilmu Sosial dan Kehidupan Sehari-hari
Dalam konteks ilmu sosial, film adalah karya yang bersifat subjektif dan unik, sehingga film Frankenstein terbaru ini janganlah dibandingkan dengan film-film bertema serupa yang pernah ada. Namun marilah kita mendiskusikan tentang paradigma baru yang coba dihadirkan oleh Guillermo del Toro. Misalnya sebagai warga negara Indonesia, kita terbiasa sarapan nasi uduk dan gorengan, namun sanggupkah suatu hari nanti, kebiasaan ini tidak akan pernah berakhir, artinya kita tidak punya pilihan lain, selain berada di ritme sarapan yang sama terus-menerus tanpa henti.
Itulah yang ingin coba disampaikan oleh Guillermo del Toro, tentang rutinitas yang membuat kita ‘mati’ sebelum kita benar-benar mati. Semoga film Frankenstein terbaru ini memberikan cara pandang yang baru kepada kita semua dalam memandang apa itu hidup dan apa itu mati. Sebab bersyukurlah kita bukan monster yang diciptakan dengan petir dan tidak dapat mati, namun kita adalah manusia yang dilahirkan, dengan harapan suatu hari nanti memiliki anugerah kematian yang bahagia.



















































