
Tanda-Tanda Anak yang Mengalami Tekanan Emosional
Anak dan remaja sering kali mengalami perubahan sikap yang tidak biasa akibat tekanan emosional, seperti bullying atau lingkungan yang tidak mendukung. Perubahan ini bisa menjadi tanda bahwa anak sedang membutuhkan bantuan. Berikut beberapa tanda-tanda yang perlu diperhatikan:
Perubahan Sikap Drastis
Anak tiba-tiba menjadi pendiam, menarik diri dari teman dan keluarga. Mereka mungkin tidak lagi tertarik berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.Penolakan Sekolah atau Aktivitas
Ada keengganan untuk sekolah, sering pura-pura sakit, atau mendadak menjadi sangat malas belajar. Ini bisa menjadi tanda bahwa anak merasa tidak nyaman di lingkungan sekolah.Kondisi Emosi Tidak Stabil
Anak menjadi sangat sensitif, mudah marah, atau menangis tanpa alasan yang jelas. Perubahan emosi yang tiba-tiba bisa menjadi indikasi adanya masalah internal.Gangguan Fisik atau Verbal
Anak mungkin mengucapkan kata-kata singkat seperti “aku capek”, “aku enggak kuat”, atau “hidupku enggak berarti”. Ucapan-ucapan ini bisa menjadi petunjuk bahwa mereka sedang mengalami stres berat.
Peran Orang Tua dan Sekolah dalam Mendeteksi Masalah
Psikolog Miryam A. Sigarlaki, M.Psi., menjelaskan bahwa tanda-tanda awal anak yang tidak sanggup menahan tekanan akibat perundungan bisa dikenali sejak dini. Ia menegaskan bahwa peran orang tua dan sekolah sangat penting dalam mendeteksi perubahan emosi anak sebelum sampai pada titik berbahaya.
Kolaborasi antara Orang Tua dan Sekolah
Anak menghabiskan sebagian besar hidupnya di dua tempat, yaitu rumah dan sekolah. Oleh karena itu, keduanya harus bekerja sama dalam mengenali perubahan perilaku anak. Di sekolah, guru dan konselor perlu memiliki kepekaan terhadap perubahan sikap siswa.Pentingnya Mendengarkan dengan Empati
Saat tanda-tanda tersebut mulai muncul, orang tua atau guru tidak hanya perlu menegur, tetapi juga mulai mendengarkan dan memeluk dengan empati. Anak jangan dulu dihakimi, tetapi harus didengarkan terlebih dahulu.Jangan Menghakimi Sebelum Memahami
Kadang, orang tua merasa lebih tahu dan lebih berpengalaman, sehingga saat anak mau curhat sedikit dan terlihat salah, kita langsung men-judge. Padahal seharusnya dirangkul dulu, didengar dulu.
Langkah-Langkah Pemulihan bagi Anak Korban Bullying
Miryam menekankan bahwa pemulihan mental tidak bisa dilakukan secara instan. Proses ini butuh waktu dan dukungan. Langkah pertama adalah membuat remaja merasa aman dan diterima apa adanya. Setelah itu, mereka bisa mulai menata emosi dengan bantuan pihak yang dipercaya, seperti guru, psikolog, atau orang dewasa yang dipercaya.
Proses Penyembuhan Melalui Terapi dan Aktivitas Sosial
Proses penyembuhan bisa lewat terapi, bercerita, menulis jurnal, olahraga, atau kegiatan sosial yang membuat mereka merasa berdaya kembali.Jangan Suruh Melupakan Begitu Saja
Luka emosional tidak hilang dengan waktu. Luka itu sembuh karena diterima dan dirawat. Dengan pendampingan yang tepat, mereka bisa belajar bahwa rasa sakit itu bisa diubah menjadi kekuatan.
Pentingnya Komunikasi yang Aman di Rumah
Miryam menjelaskan bahwa pentingnya membangun komunikasi yang aman di rumah agar anak merasa didengar sebelum rasa sakit menumpuk. Kunci utamanya adalah mendengarkan dengan hati, bukan hanya dengan telinga. Active listening dengan empati berarti mencoba merasakan dari sudut pandang si anak, bukan dari POV orang tua.
Membuat Ruang yang Aman untuk Bercerita
Banyak anak ingin bercerita, tapi takut disalahkan atau diremehkan. Keluarga perlu menciptakan suasana di mana anak boleh marah, boleh sedih, atau kecewa tanpa takut dihakimi.Menunjukkan Empati dengan Kata-Kata Sederhana
Orang tua bisa bilang, “Mama paham kamu lagi sedih, kamu boleh cerita kapan aja, mama siap dengar”. Atau memberi apresiasi, “Terima kasih sudah berani cerita”.Momen Obrolan Ringan Setiap Hari
Hubungan emosional tidak dibangun dari nasihat panjang, tapi dari rasa kehadiran dan penerimaan yang konsisten. Keluarga bisa membiasakan momen obrolan ringan setiap hari, misalnya saat makan malam atau sebelum tidur.
Kesimpulan
Miryam menegaskan bahwa kasus ini menjadi pengingat bahwa bullying bukan sekadar masalah disiplin sekolah, tapi persoalan kesehatan mental dan empati sosial. Setiap anak punya ambang emosi yang berbeda. Karena itu, penting bagi keluarga dan sekolah untuk menjadi tempat pertama anak merasa aman dan didengar, bukan tempat di mana mereka takut untuk menjadi diri sendiri.




















































