Nasional B50 Biodiesel Tingkatkan Biaya dan Risiko Alat Tambang

B50 Biodiesel Tingkatkan Biaya dan Risiko Alat Tambang

22
0

Visi Pemerintah untuk Biodiesel 50% (B50)

Pemerintah Indonesia memiliki rencana ambisius dalam sektor energi, yaitu menerapkan biodiesel 50% (B50) pada tahun 2026. B50 merupakan campuran bahan bakar solar dengan 50% minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO). Tujuan utama dari kebijakan ini adalah menciptakan ketahanan energi, memperkuat energi hijau, serta mendukung upaya mencapai net zero emission (NZE).

Namun, kebijakan ini menimbulkan berbagai kekhawatiran, terutama dari kalangan teknisi dan pelaku industri alat berat. Perkumpulan Tenaga Ahli Alat Berat Indonesia (PERTAABI) menyatakan bahwa meskipun mereka mendukung tujuan pemerintah, perlu adanya pertimbangan yang lebih matang mengenai dampaknya pada performa alat dan biaya operasional.

Dampak Biodiesel pada Performa Mesin

Menurut Ketua Umum PERTAABI, Rochman Alamsjah, penggunaan biodiesel memiliki potensi risiko yang perlu diperhitungkan. Salah satu isu utama adalah sifat higroskopis dari biofuel. Sifat ini membuat bahan bakar mudah menyerap kelembapan dari lingkungan, sehingga rentan terhadap oksidasi dan pertumbuhan mikrobial di dalam bahan bakar.

Selain itu, biodiesel memiliki densitas yang lebih tinggi dibandingkan solar murni. Hal ini dapat menyebabkan butiran pengabutan yang lebih besar, sehingga memengaruhi sistem injeksi bahan bakar. Akibatnya, umur injektor bisa lebih pendek, dan risiko tekanan blowback di dalam sistem permesinan meningkat.

Kemudian, viskositas yang tinggi dari FAME (Fatty Acid Methyl Ester) juga dapat menyebabkan kontaminasi di dalam pelumas, sehingga pelumasan komponen-komponen mesin menjadi kurang optimal. Hal ini akan meningkatkan biaya perawatan dan perbaikan mesin.

Peningkatan Biaya Operasional

Rochman menjelaskan bahwa penerapan biodiesel sebelumnya, seperti B35 dan B40, telah menyebabkan peningkatan biaya pemeliharaan sekitar 17 persen. Di sektor pertambangan, sekitar 35-38 persen dari biaya operasional dialokasikan untuk bahan bakar.

Jika menggunakan biodiesel, nilai kalor yang lebih rendah daripada B0 (solar murni) akan menyebabkan kenaikan biaya bahan bakar sebesar 5-7 persen. Selain itu, biaya perawatan mesin juga meningkat sekitar 15-17 persen akibat efek negatif dari biodiesel.

Pandangan Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (ASPINDO)

Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (ASPINDO) juga menyampaikan pandangan serupa. Menurut Direktur Eksekutif ASPINDO, Bambang Tjahjono, semakin tinggi kadar biodiesel dalam bahan bakar, semakin berat beban biaya operasional. Hal ini disebabkan oleh disparitas harga CPO dengan solar, serta peningkatan kadar air yang mempercepat kerusakan filter peralatan tambang.

ASPINDO menyarankan penggunaan alat tambang berbasis listrik atau Electric Vehicle (EV) sebagai alternatif. Dengan peningkatan penggunaan truk EV, diharapkan permintaan biodiesel akan menurun, sehingga memberi waktu bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas biodiesel di dalam negeri.

Proyeksi Kebijakan B50

Dalam rangka menyambut penerapan B50, pemerintah memperkirakan kebutuhan sekitar 19,73 hingga 20,1 juta kiloliter (kl) biodiesel. Dengan implementasi ini, konsumsi solar diharapkan bisa diminimalkan hingga 20 juta kl per tahun pada semester II-2026.

Sejak tahun 2020 hingga 2025, pemanfaatan biodiesel telah berhasil menghemat devisa hingga US$ 40,71 miliar. Dengan penerapan B50 pada tahun 2026, pemerintah memproyeksikan potensi penghematan devisa tambahan yang sangat besar, yaitu mencapai US$ 10,84 miliar hanya dalam satu tahun.

Kesimpulan

Meski B50 memiliki potensi signifikan dalam mencapai target energi hijau dan NZE, penting untuk dilakukan penelitian lanjutan dan periode transisi yang cukup agar dampak negatif pada alat berat dan biaya operasional dapat diminimalkan. Selain itu, dukungan terhadap inovasi teknologi seperti EV juga perlu ditingkatkan untuk mengurangi ketergantungan pada biodiesel.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini