
Perbedaan Pandangan Antara VISI dan AKSI dalam Sistem Royalti Musik
Masalah royalti musik di Indonesia terus menjadi perdebatan antara dua asosiasi besar, yaitu Vibrasi Suara Indonesia (VISI) dan Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI). Keduanya memiliki pandangan yang berbeda mengenai bagaimana sistem pembayaran royalti harus dikelola. Rumitnya proses pembayaran dan tumpang tindihnya implementasi membuat keduanya saling berselisih.
VISI, yang kebanyakan anggotanya adalah para penyanyi, menilai bahwa penarikan dan distribusi royalti sebaiknya dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), bukan melalui LMK untuk sementara waktu. Mereka juga menyarankan agar penyelenggara acara membayar royalti sebagai syarat izin keramaian dari kepolisian, bukan dari pencipta lagu. Hal ini mereka tuliskan dalam akun Instagram mereka pada 22 Agustus 2025.
Revisi Undang-Undang Hak Cipta yang sedang dibahas di DPR juga menjadi topik penting bagi VISI. Mereka menyatakan bahwa LMK, VISI, dan AKSI masuk dalam tim perumus revisi UU tersebut. VISI juga meminta agar LMK segera melakukan audit untuk meningkatkan transparansi. Keputusan DPR melalui Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebutkan bahwa dalam dua bulan ke depan akan dilakukan konsultasi untuk menyelesaikan UU Hak Cipta. Semua pihak sepakat menjaga suasana dunia musik tetap damai, dengan delegasi penarikan royalti dipusatkan di LMKN sambil menyelesaikan UU Hak Cipta.
VISI berargumen bahwa langkah mereka hanya bertujuan memperjuangkan royalti. Mereka merasa profesi sebagai penyanyi disudutkan, sementara mereka mendorong transparansi royalti dan kesejahteraan pencipta lagu. Salah satu fokus utama VISI adalah digitalisasi LMK agar setiap karya musisi dapat tercatat, terjaga, dan dibayar secara adil.
VISI juga meminta pemerintah untuk melakukan audit menyeluruh terhadap LMK dan mempercepat transformasi digital. Mereka menekankan bahwa tidak cukup hanya mengganti “pemain”, tetapi perlu membenahi seluruh tata kelola royalti. VISI memilih jalan damai dengan membangun sistem yang membuat korupsi mustahil terjadi, serta keadilan menjadi kebiasaan. Mereka percaya bahwa musik Indonesia layak dikelola dengan jujur karena musik bukan sekadar industri, tetapi juga memiliki identitas dan jiwa bangsa di dalamnya.
Sementara itu, AKSI yang diisi oleh mayoritas pencipta lagu setuju dengan skema direct license yang digagas oleh musisi dan pencipta lagu, seperti Ahmad Dhani. Melalui direct license, komponis bisa langsung menarik royalti dari penyanyi tanpa melalui LMK, serta berhak menentukan jumlah uang yang harus diterima.
AKSI berpendapat bahwa direct license adalah bagian dari transformasi digitalisasi tata kelola royalti. Dengan sistem ini, transparansi meningkat sehingga pencipta bisa memantau pemakaian karyanya. Penghitungan otomatis sesuai data juga memberikan akurasi yang lebih baik. Royalti bisa diterima secara real time, mengurangi konflik antara pencipta, performer, LMK, dan penyelenggara acara. Aksi juga menilai bahwa direct license memudahkan akses dengan menghilangkan birokrasi berlapis, lisensi bisa diurus melalui aplikasi.
Ketua Dewan Pembina AKSI, Ahmad Dhani, aktif di media sosial untuk menyuarakan pemenuhan hak royalti pencipta lagu. Ia menegaskan bahwa penyanyi profesional yang tidak meminta izin kepada komposer saat hendak konser bisa disebut sebagai maling, mengacu pada UU Hak Cipta Pasal 9. Ia menilai semua biaya ditanggung promotor, bukan tanggung jawab VISI, Fesmi, atau Pappri.
Dhani juga menyentil Ariel Noah, yang merupakan bagian dari VISI sekaligus penyanyi. Ia mengatakan bahwa Ariel tidak pernah memikirkan nasib komposer selama 10 tahun terakhir. Ia juga menanggapi pernyataan Once Mekel, mantan rekan satu bandnya di Dewa 19, yang mengatakan bahwa musik pada dasarnya sesuatu yang menggembirakan. Dhani menilai bahwa menggembirakan bagi penyanyi, tetapi menyedihkan bagi komposer. Hanya kasta ksatria yang bisa memikirkan nasib orang lain.