
Perayaan HUT ke-80 RI di Medan dengan Pendekatan Seni Film
Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia di Kota Medan berlangsung dengan cara yang unik dan menarik. Berbeda dari tradisi upacara bendera atau lomba rakyat, acara ini menggunakan media seni yang dekat dengan kalangan muda, yaitu film.
Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia melalui program unggulan Kongkow Film Medan bekerja sama dengan Yayasan Sinema Manuproject Production Indonesia untuk menyelenggarakan kegiatan Nobar Film dan Diskusi Perfilman. Acara ini digelar serentak di 16 kota di Indonesia, termasuk Medan, yang diselenggarakan oleh komunitas Sinema Mikro dan Bioskop Keliling.
Di Medan, kegiatan berlangsung di Lapangan SMK Broadcasting Bina Creative Medan, Jalan Bhayangkara No.368, Indra Kasih, Medan Tembung. Sekitar seratus peserta hadir dalam acara tersebut, termasuk anggota komunitas film lokal, pelajar, pengajar, serta pemerhati perfilman.
Mereka diajak menonton film Kadet 1947 (2021), sebuah drama biografi perang yang dibuat oleh sutradara Rahabi Mandra dan Aldo Swastia. Film ini mengangkat kisah misi serangan udara pertama Angkatan Udara Republik Indonesia pada 29 Juli 1947. Film dipilih karena dinilai mampu membangkitkan semangat perjuangan sekaligus memperkuat rasa nasionalisme melalui cerita sejarah yang disampaikan secara sinematis.
Setelah pemutaran film, acara dilanjutkan dengan diskusi panel yang menghadirkan Tam Cing Kyat, produser film di Medan, dan Dr Immanuel Prasetya Gintings, sineas asal Medan sekaligus Ketua Yayasan Sinema Manuproject Production Indonesia. Diskusi berlangsung hangat dan penuh antusiasme.
Para pembicara menekankan pentingnya kebebasan berkarya bagi sineas lokal, bagaimana merepresentasikan sejarah secara bertanggung jawab, serta memperkuat identitas budaya melalui medium film. “Film menjadi jembatan antara memori kolektif dan suara generasi muda. Lewat acara ini kami membuka ruang bagi sineas lokal untuk bercerita tentang identitas dan sejarah daerahnya,” ujar perwakilan Kongkow Film Medan.
Peserta aktif terlibat dalam sesi tanya jawab. Mereka banyak mengajukan pertanyaan terkait teknik produksi dengan sumber daya terbatas, strategi pendanaan alternatif untuk proyek film lokal, hingga persoalan etika ketika menampilkan peristiwa sejarah di layar.
Immanuel Gintings menegaskan bahwa kegiatan ini tidak hanya sekadar peringatan kemerdekaan, tetapi juga sebuah ruang praktik dan dialog. “Kita ingin anak muda tidak hanya mengenang, tetapi juga bisa mengekspresikan nilai kebangsaan lewat karya kreatif. Itulah yang membuat perayaan kemerdekaan relevan dengan zaman,” katanya.
Penyelenggara juga menegaskan bahwa kegiatan ini tidak berhenti sampai di sini. Program nobar dan diskusi film serupa direncanakan menjadi agenda berkala, menjangkau lebih banyak sekolah dan komunitas perfilman di Sumatra Utara. Melalui upaya ini, mereka berharap ekosistem perfilman lokal dapat tumbuh lebih kuat, memberi kesempatan luas bagi sineas muda di daerah untuk menyampaikan gagasan, sekaligus menumbuhkan rasa cinta Tanah Air lewat layar lebar.