
Gempa Karawang-Bekasi dan Mitos di Balik Sesar Baribis
Gempa berkekuatan 4,7 Skala Richter (SR) yang terjadi di Kabupaten Karawang dan Bekasi, Jawa Barat, pada Rabu (20/8) pukul 19.54 WIB, menjadi perhatian masyarakat Jabodetabek dan sekitarnya. Peristiwa alam ini memicu kegundahan dan kewaspadaan, terutama karena dampaknya terasa hingga wilayah perkotaan yang padat penduduk.
Hingga malam Kamis (21/8), kata kunci seperti “Gempa”, “Bekasi”, dan “BMKG” masih mendominasi daftar topik trending di media sosial X. Hal ini menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap informasi terkini mengenai gempa dan penjelasan resmi dari instansi terkait.
Gempa tersebut menyebabkan gangguan sementara dalam aktivitas kota metropolitan, termasuk perjalanan Kereta Rel Listrik (KRL) dan delapan jadwal kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh mengalami Berhenti Luar Biasa (BLB). Meski tidak ada korban jiwa, kejadian ini menjadi pengingat akan potensi bencana yang bisa terjadi kapan saja.
Sesar Baribis: Penyebab Gempa yang Aktif
Sesar Baribis disebut sebagai salah satu penyebab gempa yang terjadi di wilayah Karawang dan Bekasi. Sesar ini merupakan patahan terpanjang di Pulau Jawa dan memiliki status aktif. Menurut data dari tim ekspedisi geologis lembaga Skala Indonesia bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sesar Baribis melintang dari Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, hingga Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Panjang patahan ini mencapai sekitar 25 kilometer di area Jakarta Selatan.
Secara ilmiah, Sesar Baribis lebih tepat disebut sebagai Sistem Baribis atau West Java back-arc thrust (sesar naik busur belakang Jawa Barat) karena memiliki banyak segmen. Akun X Humas BMKG @InfoHumasBMKG menjelaskan bahwa gempa M4,7 yang terjadi di Karawang-Bekasi dipicu oleh West Java back-arc thrust, meskipun sering disebut sebagai Sesar Baribis.
Legenda dan Mitos di Balik Sesar Baribis
Meskipun tidak sepopuler Sesar Lembang atau Cimandiri, Sesar Baribis memiliki kisah legendaris yang terkait dengan Waduk Jatigede. Di desa-desa Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, terdapat mitos tentang kepiting putih yang disebut keuyeup bodas dalam bahasa Sunda. Mitos ini tercantum dalam ramalan Uga Keuyeup Bodas yang berbunyi, “Jatigede dikeueum bakal ngahudangkeun keuyeup bodas anu bakal ngabobol bendungan” atau diterjemahkan menjadi “Jatigede (bila) direndam akan membangunkan kepiting putih yang akan membobol bendungan”.
Mitos ini kemudian dikaitkan dengan Sesar Baribis yang melewati area Sumedang. Jika digambarkan di atas peta, garis patahan ini membentuk seperti cangkang punggung kepiting yang seolah sedang mengawasi Waduk Jatigede.
Selain itu, Sesar Baribis juga melewati aliran Sungai Citarum ke arah Waduk Jatiluhur. Fakta ini semakin menegaskan pentingnya pemantauan terhadap aktivitas sesar ini, terlebih setelah hasil kajian ulang menunjukkan bahwa titik pusat gempa Bekasi dan Karawang sangat dekat dengan Waduk Jatiluhur.
Pentingnya Edukasi Mitigasi Bencana
Meski mitos dan kisah legenda mungkin hanya sekadar cerita, ancaman dari pergerakan lempeng tektonik seperti Sesar Baribis adalah nyata. Potensi kerugian nyawa dan harta sangat besar, terutama bagi wilayah perkotaan seperti Jabodetabek. Oleh karena itu, pendidikan mitigasi bencana harus terus diperkuat agar masyarakat lebih siap menghadapi risiko yang mungkin terjadi.