
Konsep Kota Spons di Kopenhagen untuk Menghadapi Banjir
Kota Kopenhagen, ibu kota Denmark, telah menerapkan konsep kota spons (sponge city) untuk mengatasi ancaman banjir yang sering terjadi setiap tahun. Konsep ini pertama kali diadopsi dalam rencana Cloudburst Management Plan pada 2012, dengan tujuan utama untuk mengurangi dampak banjir akibat hujan deras yang diperkirakan semakin sering terjadi karena perubahan iklim.
Perencanaan kota ini lahir setelah terjadinya banjir besar pada 2 Juli 2011, yang menyebabkan kerugian mencapai miliaran kroner atau sekitar US$ 1 miliar. Saat itu, hujan lebat dengan intensitas lebih dari 15 milimeter dalam waktu 30 menit tercatat sebagai kejadian yang disebut cloudburst. Dalam peristiwa tersebut, tercatat hujan sebesar 135,4 milimeter turun di Kebun Raya Kopenhagen, sementara di daerah Ishøj, hujan sebesar 31 milimeter turun dalam waktu 10 menit. Lebih dari 5.000 sambaran petir juga tercatat dalam tiga jam.
Banjir tersebut menyebabkan gangguan lalu lintas di beberapa wilayah metropolitan, dengan jalan raya menjadi seperti sungai dan beberapa jalan ditutup selama 1–3 hari. Untuk mengatasi hal ini, pihak berwenang merancang 300 proyek dalam waktu 20 tahun, yang akan dilaksanakan oleh Kota Kopenhagen, Greater Kopenhagen Utility Company, serta partisipasi aktor swasta seperti pemilik tanah.
Proyek ini mencakup pengembangan area hijau, ruang biru, dan infrastruktur air yang terintegrasi. Tujuannya adalah memastikan bahwa air hujan dapat diserap dan disimpan secara alami, sehingga mengurangi risiko banjir. Pendanaan proyek berasal dari anggaran lokal, investasi perusahaan, dan perusahaan utilitas, dengan total anggaran sebesar 1,5 miliar euro.
Dalam rencana tersebut, sistem drainase akan direstrukturisasi, termasuk pemisahan air hujan dari air limbah dan pengelolaan lanskap jalan. Jalan-jalan akan diubah menjadi saluran air saat hujan ekstrem, sehingga air dapat dialirkan ke outlet dan cekungan retensi. Selain itu, konsep greenscaping diterapkan melalui pembangunan taman hijau, atap hijau, dan bioswales untuk mencegah air hujan langsung masuk ke saluran pembuangan.
Salah satu contoh nyata adalah Danau Sankt Jørgens Sø, yang berfungsi sebagai ruang terbuka publik di musim panas. Saat banjir terjadi, sebagian besar danau akan terendam air, hanya jalur tengah yang bisa dilewati. Air kemudian akan meresap ke bawah tanah dan menjadi cadangan air.
Konsep kota spons awalnya dikembangkan oleh arsitek lanskap asal Tiongkok, Kongjian Yu, pada akhir 1998. Ia mempelajari cara lahan basah alami menyerap air saat banjir dan mengisi cadangan air saat kekeringan. Konsep ini juga terinspirasi dari pengelolaan irigasi tradisional di Tiongkok, yang membantu memperlambat dan menahan air, mencegah banjir, serta menjaga keanekaragaman hayati.
Desain yang dibuat oleh Yu mencakup elemen-elemen modern seperti trotoar, taman, hingga tangki penyimpanan air bawah tanah. Elemen-elemen ini bekerja sama untuk menyerap kelebihan air hujan, memurnikan air, dan mengisi kembali air tanah, menciptakan lanskap perkotaan yang lebih tangguh.
Konsep ini tidak hanya diterapkan di Kopenhagen, tetapi juga diadopsi dalam perencanaan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Penerapan kota spons sudah diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Pada 2023, Otorita IKN melakukan kunjungan ke Deltares, lembaga riset di Den Haag, Belanda, untuk pengembangan kota tersebut.