
Sejarah Hilman Djajadiningrat, Tokoh yang Berada di Tengah Perpecahan
Dalam sejarah Banten, terdapat banyak tokoh yang berpengaruh. Salah satunya adalah Hilman Djajadiningrat. Keluarga Djajadiningrat merupakan keluarga priayi yang memiliki kedudukan tinggi selama masa kolonial. Anggota keluarganya sering menjabat sebagai bupati Hindia Belanda. Meskipun dikenal karena pandangan Barat dan kesetiaan kepada penguasa Belanda, keluarga ini juga berjuang dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dari tahun 1945 hingga 1949.
Keluarga Djajadiningrat berasal dari Suku Baduy di Banten. Pada akhir abad ke-19, mereka mendapatkan perlindungan dari sarjana dan pendidik Belanda bernama Snow Hogrunch. Hogrunch percaya bahwa dengan memberikan pendidikan Belanda kepada anak-anak elit Indonesia, mereka akan lebih mudah diterima di lingkungan pemerintahan kolonial. Hal ini memungkinkan kakak beradik Djajadiningrat untuk masuk ke Conning Willem 3 School di Batavia.
Hilman Djajadiningrat lahir pada tanggal 28 Februari 1896 di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Ia adalah putra Raden Bagus Djajawinata (Bupati Serang 1893–1898) dan Ratu Salehah. Kakaknya, RA Achmad Djajadiningrat, juga menjadi Bupati Serang pada periode 1901–1924. Keluarga ini memiliki pengaruh besar di berbagai bidang. Misalnya, Hoesein Djajadiningrat dikenal sebagai tokoh bahasa dan nasionalis, sedangkan Soenario Djajadiningrat aktif di bidang diplomasi.
Hilman memilih jalur birokrasi kolonial, mengikuti jejak ayah dan leluhurnya. Ia lulus dari Hogere Burgerschool dan mulai bekerja sebagai pegawai di Dinas Perumahan Rakyat DKI Jakarta. Setelah itu, ia menjadi camat di beberapa kecamatan di Jawa Barat. Pada masa pemerintahan kolonial, ia menjabat sebagai Bupati Serang dari tahun 1935 hingga 1945.
Setelah Indonesia merdeka, Hilman memihak faksi pro Belanda. Ia mencalonkan diri sebagai calon wali negara Pasundan namun kalah dari Wiranata Kusuma. Ia kemudian diangkat sebagai gubernur wilayah Federal Batavia. Selama masa jabatannya, pemerintah Jakarta merancang pembangunan kota satelit Kebayoran Baru. Namun, para pemilik tanah di Kebayoran Baru menolak negosiasi dan meminta harga yang terlalu tinggi. Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk mengambil tanah tersebut secara paksa.
Pada masa Jepang, Hilman diangkat sebagai Residen Keresidenan Banten pada tanggal 29 April 1942. Setelah kemerdekaan, gelombang revolusi sosial terjadi di Banten. Jabatan Residen Banten digantikan oleh K. H. Ahmad Khatib, seorang tokoh agama dari Partai Republik. Meski berhaluan republik, Ahmad Khatib tidak mengganti jabatan bupati yang dipegang oleh bangsawan pro Belanda seperti Hilman.
Para petani dan pejuang lokal di Banten marah atas kebijakan ini. Pada bulan Oktober 1945, sekelompok pejuang Laskar Gulkut menculik dan memenjarakan Hilman di penjara Serang. Ia dibebaskan pada bulan Januari 1946 oleh tentara Indonesia dan melarikan diri ke Sukabumi. Ia kemudian menjabat sebagai pejabat Bupati Sukabumi pada tahun 1947.
Ketika Belanda bersiap mendirikan negara Pasundan, Hilman diangkat sebagai rekomba atau komisaris pemerintah untuk urusan administrasi Jawa Barat. Ia memimpin konferensi Bandung pertama dan kedua untuk mengumpulkan orang-orang berpengaruh. Dalam konferensi ketiga, ia ditunjuk sebagai rekomba menggantikan Abdul Kadir sebagai pemimpin fraksi federalis pro Belanda. Ia mencalonkan diri sebagai kandidat wali negara Pasundan namun kalah dari Wiranata Kusuma.
Setelah terbentuknya negara Pasundan, Kota Batavia diintegrasikan ke dalam negara bagian sebagai daerah federal Batavia. Hilman diangkat sebagai Gubernur Daerah Federal Batavia pada tanggal 2 November 1948. Selama masa jabatannya, pemerintah Jakarta merancang pembangunan kota satelit Kebayoran Baru. Proyek ini menghadapi tantangan dari pemilik tanah yang enggan melakukan negosiasi.
Hilman Djajadiningrat dikenang secara ambivalen dalam sejarah Indonesia. Sebagian menilainya sebagai bagian dari elit yang cenderung mendukung penjajahan. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa ia hanya mencoba menjaga stabilitas daerah. Kontroversi ini mencerminkan kompleksitas sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Tidak semua tokoh harus dipandang secara hitam putih. Posisi Hilman menggambarkan realitas politik lokal dan dilema para elit pribumi yang berada di antara tuntutan kolonial dan aspirasi rakyat untuk merdeka. Ia adalah simbol dari dinamika dan dilema politik pada masa transisi kekuasaan dari Belanda ke Indonesia.