Ragam Putar Musik, Diam Kena Sepi?

Putar Musik, Diam Kena Sepi?

28
0

Kafe: Ruang Sosial yang Tengah Diuji

Di banyak kota besar Indonesia, kafe bukan hanya sekadar tempat untuk menikmati secangkir kopi. Ia menjadi ruang sosial yang penting bagi masyarakat, tempat bertemunya ide, obrolan ringan, bahkan tempat kerja kreatif. Tak heran jika desain interior, kualitas seduhan kopi, dan suasana akustik menjadi hal utama yang diperhatikan. Namun di tengah tren ini, muncul pertanyaan sederhana namun penting: apakah lebih suka kafe yang memiliki musik atau yang hening?

Pertanyaan ini, yang terlihat seperti preferensi pribadi, kini berhubungan dengan isu hukum dan ekonomi: pembayaran royalti lagu. Musik di kafe tidak hanya menciptakan nuansa tertentu, tetapi juga menghadirkan tuntutan yang perlu dipenuhi.

Musik di Kafe: Antara Nuansa dan Tuntutan

Bagi sebagian orang, musik adalah nyawa dari sebuah kafe. Alunan jazz, instrumental pop, atau balada indie bisa membuat suasana lebih hangat dan nyaman. Bahkan ada penelitian yang menyebutkan bahwa musik dapat meningkatkan waktu tinggal pengunjung di kafe, sehingga mereka memesan lebih banyak.

Namun, setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, serta keberadaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), pemilik kafe wajib membayar royalti untuk setiap lagu yang diputar di ruang publik, termasuk kafe, hotel, dan restoran. LMKN telah menyediakan skema tarif berdasarkan luas tempat, jenis penggunaan, dan lokasi usaha. Untuk kafe menengah, royalti tahunan bisa mencapai jutaan rupiah. Meski jumlah ini tidak seberapa dibanding omzet tahunan, namun tetap menjadi beban tambahan, terutama bagi pelaku UMKM yang baru bangkit pasca pandemi.

Dilema Pengusaha Kafe

Sebagian pengusaha kafe memilih solusi aman: menghilangkan musik sama sekali, mengganti playlist dengan suara alam, atau membiarkan ruangan tetap hening. Beberapa lainnya memilih memainkan lagu bebas lisensi dari platform digital. Namun tak semua pengunjung merasa nyaman dengan itu. Ada pelanggan yang komplain karena suasana terlalu sunyi, bahkan kikuk. Tapi ada pula yang justru memilih kafe hening untuk bekerja, berdiskusi, atau menikmati waktu tanpa distraksi.

Masalah semakin rumit ketika petugas dari LMKN datang melakukan sidak. Kasus-kasus pemanggilan hukum terhadap pemilik kafe karena dianggap melanggar hak cipta mulai bermunculan. Ini menciptakan efek psikologis: kekhawatiran akan terkena denda hingga puluhan juta rupiah karena sekadar memutar lagu tanpa lisensi.

Antara Hak Cipta dan Hak Usaha

Tidak bisa dimungkiri, perlindungan hak cipta adalah keniscayaan dalam ekosistem musik yang sehat. Para pencipta lagu dan musisi berhak memperoleh imbal balik dari karya yang mereka hasilkan. Namun, implementasinya di lapangan acap kali timpang. Sebagian pelaku usaha mengeluhkan transparansi tarif, proses pembayaran yang berbelit, hingga kurangnya sosialisasi dari pemerintah. Sementara itu, LMKN dan Kementerian Hukum dan HAM berargumen bahwa sistem manajemen royalti justru memudahkan.

Di sinilah negara seharusnya hadir sebagai fasilitator, bukan hanya regulator. Dialog antara pelaku usaha dan pengelola hak cipta mesti lebih terbuka, setara, dan terintegrasi. Sebab jika tidak, yang terjadi justru penghindaran atau pembangkangan diam-diam.

Apa Kata Pelanggan?

Survei kecil yang dilakukan oleh beberapa komunitas kopi dan warganet menunjukkan hasil yang menarik. Sekitar 52% responden menyukai kafe yang memutar musik, 34% lebih suka yang hening, dan sisanya tidak peduli selama kopinya enak. Artinya, selera memang terbagi. Tapi, jika terlalu banyak kafe memilih “diam” karena takut royalti, maka bisa jadi pengalaman sosial dan estetika di banyak kafe akan ikut memudar.

Bayangkan kafe-kafe legendaris di Yogyakarta, Bandung, atau Jakarta yang biasanya lekat dengan suasana musik akustik atau live session, kini hanya terdengar suara mesin espresso dan sendok yang beradu dengan cangkir. Sunyi bukan selalu tenang. Bisa jadi, itu tanda kematian kreativitas ruang.

Menuju Skema yang Lebih Adil

Solusi harus dicari bersama. LMKN perlu menghadirkan mekanisme tarif yang adil dan proporsional, misalnya memberikan insentif kepada pelaku UMKM atau kafe kecil. Pemerintah daerah bisa turut memberikan subsidi royalti sebagai bagian dari dukungan sektor kreatif dan pariwisata. Sementara itu, asosiasi kafe dan restoran bisa bergabung membentuk konsorsium pengguna lagu untuk negosiasi kolektif—agar tarif lebih masuk akal dan administrasi lebih mudah.

Lebih jauh, sudah saatnya Indonesia memiliki platform musik lokal berbasis lisensi terbuka, yang bisa dipakai pelaku usaha tanpa proses berbelit. Ini sekaligus akan mendukung musisi independen tanah air.

Suara yang Harus Didengar

Kafe bukan hanya tentang kopi dan meja kayu. Ia adalah ruang pertemuan sosial yang seharusnya memanjakan indera, termasuk telinga. Namun ketika urusan royalti mengubah suasana jadi kaku, kita perlu bertanya ulang: apakah sistem yang kita bangun sudah cukup berpihak pada semua pihak? Apakah kita ingin musik terus hidup di ruang-ruang publik? Atau justru memilih diam karena hukum terlalu kaku?

Karena pada akhirnya, bukan hanya pemilik kafe yang dirugikan, tapi juga kita semua—yang rindu duduk di pojok kafe sambil menikmati lagu favorit, tanpa takut digugat atau dituntut.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini