Penyebab Banjir di Tapanuli: Bukan Hanya Cuaca Ekstrem
Satya Bumi menyatakan bahwa banjir besar yang terjadi di kawasan Tapanuli, Sumatera Utara, bukan hanya disebabkan oleh cuaca ekstrem dan siklon tropis. Kerusakan ekosistem yang telah berlangsung bertahun-tahun tanpa perbaikan memperburuk dampak krisis iklim, terutama di wilayah Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah yang kini mengalami banjir terparah.
Juru Kampanye Satya Bumi Riezcy Cecilia Dewi menjelaskan bahwa penebangan hutan, pembukaan lahan yang tidak berkelanjutan, serta degradasi ekosistem mengurangi kemampuan alam menyerap air. Ketika hujan ekstrem turun, aliran air bergerak cepat sambil menyeret material kayu dari hulu ke hilir, merusak rumah, infrastruktur, dan lahan pertanian.
“Pada banyak video yang beredar, terlihat aliran sungai sangat deras, disertai potongan kayu, yang diduga berasal dari hulu Sungai Batang Toru di kawasan Harangan Tapanuli,” kata dia dalam keterangan tertulis, Jumat, 28 November 2025.
Air yang mengalir dari hulu ke hilir membawa dampak lebih parah jika kondisi hutan di bagian hulu telah rusak. Tanah menjadi tidak stabil, rawan longsor, dan tidak ada lagi pohon yang berfungsi sebagai pengikat tanah.

Kondisi jembatan yang terputus akibat banjir di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatra Utara, 25 November 2025.
Satya Bumi juga menyoroti aktivitas industri yang terus menekan ekosistem Batang Toru—habitat satu-satunya Orangutan Tapanuli. Kerusakan lingkungan di ekosistem Batang Toru yang memiliki fungsi hidrologis penting, menurut penilaian Satya Bumi, memicu bencana terbesar setelah beberapa dekade.
Ekspansi tambang emas Martabe di kawasan itu berlangsung sejak 1997. Meski luas konsesinya menyempit pada 2018, pembukaan hutan tetap terjadi. PT Agincourt Resources tercatat memperluas area tambang dari 509 hektare pada Januari 2022 menjadi 603,21 hektare per Oktober 2025, dengan sebagian besar berupa hutan utuh.
Pada 2020, perusahaan ini berencana meningkatkan kapasitas produksi dari 6 juta ton menjadi 7 juta ton per tahun, termasuk pembangunan fasilitas tailing seluas 583 hektar yang membutuhkan pembersihan lahan dalam skala besar. “Pembangunan TMF memerlukan pembersihan lahan besar-besaran. Ada sekitar 195,2 hektare (lahan) akan dibuka, dan ada potensi hilangnya 185.884 batang pohon,” ucap Riezcy.
Pembukaan lahan itu, dia meneruskan, bahkan belum termasuk anakan dan pohon berukuran kecil yang ada di bawah kanopi. Satya Bumi menilai deforestasi ini diketahui, disetujui, serta difasilitasi oleh pemerintah.
Selain tambang, PLTA Batang Toru yang diperkirakan rampung pada akhir 2025 dinilai belum mampu menahan debit air besar dari kawasan hulu. Kehadiran bendungan dan terowongan air di lanskap sensitif itu justru dikhawatirkan menambah kerentanan, terutama di tengah perubahan tata air akibat deforestasi.
Bentang Alam Tergerus Proyek Energi dan SDA
Satya Bumi mendesak pemerintah untuk mengevaluasi izin industri ekstraktif dan alih fungsi lahan di sekitar ekosistem Batang Toru. Regulator juga diminta menghentikan sementara ekspansi sawit dan industri yang berpotensi merusak daerah aliran sungai di wilayah tersebut, serta memulihkan kawasan hulu melalui rehabilitasi berbasis masyarakat.
Ada berbagai proyek yang dianggap menekan bentang alam. Proyek yang disinggung Satya Bumi antara lain:
- Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Pahae Julu di Sumatera Utara
- Geothermal PT Sorik Marapi (SOL) di kawasan Mandailing Natal
- Penanaman kembali hutan tanaman industri milik PT Toba Pulp Lestari di sekitar Danau Toba
- Perkebunan sawit milik PT Sago Nauli dan PTPN III
PT Agincourt Resources (PTAR) sebelumnya sudah mengklaim bahwa aktivitas pertambangan perusahaan tidak berkaitan dengan penyebab banjir bandang yang melanda Kabupaten Tapanuli Tengah. Manajemen menyebut lokasi bencana berada pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Aek Ngadol, sementara tambang emas Martabe beroperasi di DAS Aek Pahu, artinya tidak terhubung satu sama lain.
Nandito Putra berkontribusi dalam tulisan ini.



