
Marcus Rashford sedang menikmati momen kebangkitan kariernya yang manis di Barcelona. Setelah melalui masa-masa sulit di Inggris, penyerang asal Manchester tersebut berhasil menemukan kembali ketajamannya di Camp Nou. Ia kini tercatat sebagai pemain paling produktif di tim dengan kontribusi 13 gol dan assist di tengah absennya sang kapten utama, Raphinha, yang mengalami cedera. Namun, masa-masa indah tersebut mungkin akan segera menghadapi ujian terberatnya. Raphinha telah kembali merumput pada akhir pekan kemarin melawan Athletic Club. Kembalinya pemain Brasil yang finis di peringkat kelima Ballon d’Or tersebut membawa dilema besar bagi pelatih Hansi Flick dan ancaman nyata bagi menit bermain Rashford yang selama ini melimpah.
Produktivitas Semu Rashford: Kuantitas vs Kualitas
Secara kasat mata, statistik Rashford di Barcelona memang terlihat sangat mengesankan dan sulit untuk dikritik. Dengan torehan 6 gol dan 7 assist dalam 16 pertandingan, ia adalah kontributor utama gol tim saat ini. Keterlibatannya dalam permainan juga meningkat drastis, di mana ia menyentuh bola rata-rata 60,2 kali per 90 menit, yang merupakan angka tertinggi sepanjang kariernya sebagai pesepakbola profesional.
Namun, jika dibedah lebih dalam, efisiensi Rashford menjadi tanda tanya besar yang mengkhawatirkan. Ia melepaskan rata-rata 4,5 tembakan per laga — hanya kalah dari Kylian Mbappe di liga top Eropa — namun nilai Expected Goals (xG) per tembakannya anjlok ke angka 0,07. Ini adalah rekor terendah dalam kariernya, yang mengindikasikan bahwa Rashford sering membuang-buang peluang dengan menembak dari posisi yang buruk atau memaksakan peluang bernilai rendah.
Komentar Flick pasca-kemenangan atas Elche menjadi sinyal peringatan halus namun tajam bagi sang pemain. “Ketika Anda melihat peluang yang dia miliki, satu atau dua gol lagi akan bagus,” ujar Flick saat itu. Meski terdengar seperti dorongan semangat, ini sebenarnya adalah kritik terselubung terhadap borosnya peluang yang sering dilakukan Rashford di depan gawang lawan.
Rashford sendiri mengakui bahwa fokusnya bukan sekadar pada output gol, melainkan membangun hubungan dengan tim. Namun, dalam sistem Barcelona yang mulai menurun produktivitasnya dibanding musim lalu, inefisiensi ini bisa menjadi masalah besar. Jika tim tidak bisa menoleransi peluang yang terbuang, posisi Rashford sebagai starter bisa tergeser seketika saat opsi lain tersedia.
Perbandingan dengan Raphinha: Standar Superstar
Masalah terbesar bagi Rashford sesungguhnya bukanlah performanya sendiri, melainkan standar yang ditetapkan oleh orang yang ia gantikan: Raphinha. Pemain sayap asal Brasil itu bukan sekadar pemain bagus; ia adalah mesin yang finis di lima besar Ballon d’Or setelah menjalani musim 2024/25 yang fenomenal dengan torehan 34 gol dan 26 assist.
Jika dibandingkan secara head-to-head, Rashford menghasilkan 1,03 gol dan assist per 90 menit pada musim ini. Angka tersebut memang solid, tetapi masih kalah jika dibandingkan dengan Raphinha yang mencatatkan 1,08 sebelum mengalami cedera. Perbedaan angka ini mungkin terlihat tipis, namun dampaknya di lapangan sangat terasa berbeda dalam hal konsistensi permainan.
Raphinha mampu berfungsi sebagai kepingan pelengkap yang menyatu sempurna dengan sistem tim sembari memproduksi angka-angka level superstar. Ia tidak menuntut bola sebanyak Rashford, namun mampu memberikan dampak yang lebih besar dan efisien bagi tim. Ini membuat Raphinha menjadi elemen yang lebih integral dalam skema permainan Flick.
Sebaliknya, Rashford membawa status superstar namun dengan output yang sedikit kurang efisien dan seringkali mengambil keputusan yang dipertanyakan di sepertiga akhir lapangan. Di klub sebesar Barcelona, di mana persaingan untuk satu tempat di lini depan sangatlah ketat, menjadi “bagus” saja tidak cukup ketika pesaing langsung Anda adalah pemain yang sedang menjalani musim terbaik dalam hidupnya.
Kelemahan Fatal: Statistik Defensif yang Mengkhawatirkan
Di sinilah letak perbedaan paling mencolok dan mungkin paling menentukan bagi masa depan Rashford di starting XI Barcelona. Sistem Flick sangat bergantung pada kesadaran defensif total dan pressing intens dari para penyerangnya segera setelah bola hilang. Dalam aspek krusial ini, Rashford tertinggal sangat jauh dari Raphinha dan rekan-rekan penyerang lainnya.
Data statistik defensif Rashford di LaLiga musim ini sangatlah mengkhawatirkan jika dibandingkan dengan standar tim. Ia hanya mencatatkan rata-rata 0,6 tekel dan intersepsi per 90 menit. Bandingkan dengan Dani Olmo dan Lamine Yamal yang mampu mencapai angka 2,0, atau Raphinha yang musim lalu memiliki rata-rata 1,5, Rashford terlihat sangat pasif saat tim tidak menguasai bola.
Lebih parah lagi, di ajang Liga Champions, statistik tekanan intensitas tinggi (high-intensity pressures) Rashford juga sangat rendah. Dengan angka 18,9, ia menempati urutan ketiga terendah di antara pemain non-bek di klub. Hal ini kontras dengan peran Raphinha yang dikenal sebagai pemimpin counter-press Barcelona dengan rata-rata 31,9 tekanan per pertandingan.
Laporan media Sport menyebutkan bahwa kembalinya Raphinha akan menjadi dorongan besar bagi agresi tim. Musim lalu, kerja keras Raphinha tanpa bola adalah fondasi yang memungkinkan Barcelona memenangkan LaLiga dan Copa del Rey. Rashford, dengan segala bakat menyerangnya, belum bisa menyamai etos kerja defensif ini, yang bisa menjadi alasan utama Flick untuk mencadangkannya.
Dilema Taktis Flick: Menggeser atau Mencadangkan?
Kembalinya Raphinha dari cedera menempatkan Flick dalam sebuah dilema taktis yang rumit. Mencadangkan Rashford yang sedang produktif tentu berisiko mengganggu momentum, tetapi mengabaikan kembalinya kapten tim yang merupakan pemain terbaik musim lalu juga merupakan hal yang mustahil. Flick harus mencari solusi agar kedua bintang ini bisa berkontribusi.
Salah satu opsi yang mungkin diambil adalah menggeser posisi bermain Rashford. Flick mungkin akan mencoba memainkan Rashford di posisi tengah sebagai penyerang lubang atau striker, alih-alih bersaing langsung di sayap kiri. Fleksibilitas Rashford sebagai penyerang serbaguna menjadi aset yang bisa dimanfaatkan dalam situasi ini.
Eksperimen ini sempat terlihat dalam laga melawan Girona, di mana Rashford terlihat mati kutu saat bermain di kiri namun tiba-tiba hidup saat bergerak ke tengah. Namun, staf pelatih sendiri dikabarkan belum satu suara mengenai posisi terbaik Rashford. Ketidakpastian ini menambah rumit situasi sang pemain di paruh kedua musim.
Jika Flick memutuskan untuk tetap memainkan Rashford di sayap, pemain Inggris itu harus siap untuk menit bermain yang berkurang drastis. Raphinha, jika langsung kembali ke performa terbaiknya, hampir pasti akan mengambil alih kembali tempatnya. Rashford sebagai “petahana” sementara mau tidak mau harus beradaptasi dengan peran baru atau tersingkir ke bangku cadangan.
Kesimpulan: Masa Depan yang Belum Pasti
Rashford telah membuktikan bahwa ia memiliki kualitas teknis untuk bermain di salah satu tim terbaik dunia seperti Barcelona. Ia mendapatkan kepercayaan awal dari Flick dan menjadi figur penting di paruh pertama musim. Namun, ia juga masih membawa paket inkonsistensi yang tak terelakkan: momen genius yang diselingi periode di mana ia “menghilang”.
Dengan adanya rumor bahwa Flick mungkin akan meninggalkan klub di akhir musim, masa depan Rashford menjadi semakin tidak pasti. Pelatih baru mungkin akan memiliki pandangan berbeda tentang perannya dan menuntut kontribusi defensif yang lebih besar, sesuatu yang saat ini menjadi kelemahan terbesarnya.
Kembalinya Raphinha adalah ujian realitas pertama bagi “renaisans” Rashford di Spanyol. Ia harus segera membuktikan bahwa dirinya bukan sekadar pemain pengganti yang mewah, tetapi figur yang tak tergantikan. Ia harus meningkatkan efisiensi di depan gawang dan, yang terpenting, meningkatkan kontribusi defensifnya secara signifikan.
Apakah Rashford akan terus menjadi protagonis utama di Camp Nou atau perlahan memudar kembali ke latar belakang? Jawabannya akan sangat bergantung pada bagaimana ia merespons tantangan dari kembalinya sang standar emas, Raphinha, dalam beberapa minggu ke depan. Ini adalah momen penentuan bagi karier Rashford di tanah Matador.






















































