
Perkembangan Sengketa Tanah yang Melibatkan Tokoh Nasional
Sebuah sengketa lahan antara PT Hadji Kalla dan PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) Tbk kembali menjadi sorotan publik. Dalam perkara ini, pengadilan memutuskan bahwa GMTD menang dalam persengketaan tanah seluas 16,4 hektar di Makassar. Hal ini membuat Anggota Komisi II DPR, Azis Subekti, menyampaikan perhatiannya terhadap isu malaadministrasi pertanahan yang masih marak terjadi.
Azis mengatakan bahwa kasus ini tidak hanya membuka mata publik tentang adanya mafia tanah, tetapi juga menunjukkan bahwa sistem administrasi pertanahan di masa lalu memiliki banyak kelemahan. Ia menegaskan bahwa bahkan seorang mantan Wakil Presiden bisa menjadi korban dari kesalahan administrasi, apalagi rakyat kecil yang tidak memiliki akses atau jaringan kuat.
Masalah Serius dalam Tata Kelola Pertanahan
Menurut Azis, masalah utama dalam tata kelola pertanahan mencakup penerbitan sertifikat ganda, data yang tumpang tindih, serta proses administrasi yang tidak transparan. Hal ini berdampak pada ketidakpastian hukum yang merugikan warga negara dan mengurangi kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Ia menjelaskan bahwa data nasional mencatat sedikitnya 11.083 sengketa tanah, 506 konflik, dan 24.120 perkara tanah pada tahun 2024. Hingga bulan Oktober 2025, Kementerian ATR/BPN mencatat 6.015 kasus pertanahan yang diterima, dengan tingkat penyelesaian sekitar 50 persen. Artinya, lebih dari separuh masalah pertanahan masih menggantung dan berpotensi menjadi sumber konflik sosial di masa depan.
Rakyat Kecil Jadi Korban Utama
Azis menyoroti bahwa rakyat kecil justru berada di posisi paling rentan dalam kasus-kasus seperti ini. Ia menyebutkan bahwa sepanjang 2024, terdapat sekitar 2.161 kasus pertanahan yang melibatkan masyarakat kecil. Banyak dari mereka tidak memiliki kemampuan hukum, akses informasi, atau jaringan politik untuk memperjuangkan haknya.
“Di sinilah negara harus hadir secara aktif, bukan pasif,” ujarnya. Azis menekankan bahwa negara perlu memberikan perlindungan kepada rakyat kecil, bukan hanya menyelesaikan kasus besar yang menjadi sorotan media.
Langkah Pembenahan Administrasi Pertanahan
Azis menilai bahwa kasus sengketa tanah di Makassar harus menjadi pelajaran penting. Ia menilai ini adalah momentum untuk membenahi total keterbukaan administrasi dan sistem pemberian hak atas tanah, dari hulu hingga hilir.
“Tidak boleh lagi ada ruang abu-abu yang memungkinkan terjadinya sertifikat ganda, manipulasi data, maupun praktik percaloan yang merugikan warga negara,” kata Azis. Ia mendesak Kementerian ATR/BPN untuk membuka ruang seluas-luasnya bagi penanganan kasus serupa yang melibatkan rakyat kecil.
Peran Negara dalam Menyelesaikan Kasus
Azis pun mendukung langkah tegas Menteri ATR/BPN Nusron Wahid untuk membersihkan institusi dari oknum yang bermain dalam urusan tanah dan mempercepat reformasi sistem administrasi pertanahan. Ia menekankan bahwa digitalisasi data, transparansi proses pelayanan, mekanisme pengawasan yang kuat, serta akses informasi yang mudah bagi publik harus dipercepat.
“Kasus yang menimpa Pak Jusuf Kalla ini harus menjadi titik balik. Negara tidak boleh kalah oleh mafia tanah. Tanah di Indonesia harus kembali pada fungsi mulianya: memberi kepastian hidup yang adil bagi seluruh rakyat, dari tokoh bangsa hingga rakyat paling kecil sekalipun,” imbuhnya.
Perspektif Jusuf Kalla Terhadap Sengketa Lahan
Sebelumnya, Jusuf Kalla meluapkan kekesalannya atas sengketa lahan antara Hadji Kalla dengan GMTD. Ia menuding ada praktik mafia tanah dalam kasus tersebut. JK menilai, eksekusi lahan oleh Pengadilan Negeri (PN) Makassar yang dilakukan dua hari sebelumnya tidak sah secara hukum.
Pernyataan itu disampaikan langsung oleh JK saat meninjau lokasi sengketa di Jalan Metro Tanjung Bunga, Tamalate, Makassar, pada Rabu (5/11/2025) pagi. Menurut JK, lahan seluas 16,4 hektar tersebut telah dimiliki Hadji Kalla sejak tahun 1993. Namun, pengadilan justru memenangkan pihak GMTD.
“Kalau begini, nanti seluruh kota (Makassar) dia akan mainkan seperti itu, merampok seperti itu. Kalau Hadji Kalla saja dia mau main-main, apalagi yang lain,” kata JK. “Padahal, ini tanah saya sendiri yang beli dari Raja Gowa, kita beli dari anak Raja Gowa. Ini kan dulu masuk Gowa ini. Sekarang masuk Makassar,” sambung dia.






















































