Nasional Bebek Djibouti: Kehidupan di Tengah Gurun

Bebek Djibouti: Kehidupan di Tengah Gurun

27
0

Pengalaman Perjalanan ke Djibouti dan Makkah

Saya sudah mengurus visa ke Djibouti dan berhasil. Saya ingin melihat negara yang berada di mulut Laut Merah itu. Karena sedang berada di Jeddah, saya mencoba mengecek jarak antara Jeddah dan Djibouti melalui Google Maps. Ternyata jaraknya hanya lima sentimeter—tapi ini tidak benar. Ternyata tidak ada penerbangan langsung dari Jeddah ke Djibouti. Ini terasa aneh. Bagaimana bisa Djibouti sampai tidak memiliki penerbangan langsung dari dan ke Jeddah?

Mencari alternatif, pilihan harus melewati jalur yang jauh ke barat atau kembali ke timur. Misalnya, lewat Addis Ababa di Ethiopia atau lewat Qatar. Semua opsi ini terasa sulit. Seandainya saya belum pernah ke Ethiopia, mungkin akan lebih mudah. Tapi saya baru saja kembali dari Addis Ababa. Sementara jika melewati Qatar, saya akan dibilang terlalu jauh.

Saya melihat ada nama pesawat yang belum pernah saya lihat di bandara Jeddah, yaitu Buroq Air. Tapi ini bukan Bouraq Air dari Indonesia yang kembali hidup. Warna pesawatnya tidak hijau dan tulisan menggunakan huruf “u” bukan “ou”.

Oh… ternyata pesawat ini adalah milik Libya. Tidak mungkin juga saya melewati negara Qadhafi.

Akhirnya, saya memutuskan untuk pergi ke Makkah—meskipun Februari nanti sudah sepakat dengan istri untuk berangkat umrah. Saya ajak Novi Basuki dan Bambang Ming Yen beserta istrinya ke Makkah. Yang terakhir ini seorang mualaf. Pemilik pabrik panci terkenal Kedawung. Pendiri Yayasan Cheng Ho. Pemrakarsa berdirinya masjid-masjid Cheng Ho di beberapa lokasi di Jawa Timur.

Tiba di halaman Masjidilharam, saya melihat Ny. Bambang memakai kerudung model seperti Bu Sinta Nuriyah-nya Gus Dur. Tapi saya tidak bisa melakukan salat. Maka kami masuk ke mal di bawah Clock Tower yang ada di halaman masjid itu. Kami membeli abaya.

Sekalian meminta petugas toko memakaikannya. Foto dia sedang pakai abaya saya kirim ke Galuh Banjar. Mereka berteman baik. Lalu menyampaikan salam. Menantu Pak Iskan itu tidak iri karena tidak diajak ke Makkah—tapi tiga bulan lagi tidak lama.

Sebenarnya ketika di halaman Masjidharam tidak pernah ada yang memperhatikan pakaian Ny. Ming Yen. Sudah pakai kerudung. Celananya juga panjang. Toh semua orang sibuk dengan pikiran masing-masing. Tapi kami ingin masuk Masjidharam. Dengan pakaian itu pun sebenarnya tidak mengapa. Tapi kan mau salat dekat Kabah.

Saya lupa: tanpa pakaian ihram tidak bisa lagi mendekat Kakbah. Baik untuk salat maupun tawaf. Aturan ini sudah sejak sekitar tiga atau lima tahun. Saya sudah pernah mengalami—dilarang ke area Kakbah saat hendak tawaf wada.

Untuk yang tidak pakai pakaian ihram tawafnya harus di lantai dua, tiga, atau di rooftop. Pak Bambang dan istri pun salat di lantai dua.

Kami hanya punya waktu tiga jam di Makkah. Harus balik ke Jeddah. Masalahnya: kini sudah ada Warung Madura di Makkah. Kami pun ke sana. Kali pertama. Ke Warung Madura Bu Risma. Warung baru. Letaknya di satu ruangan di belakang lobi sebuah hotel.

Kami makan siang di situ. Pesan bebeMadura. Nasi campur. Kue-kue. Cendol dawet.

Laris. Bu Risma sudah punya dua warung seperti itu di Makkah. Kabarnya segera buka cabang di Jakarta.

Bu Risma tinggal di Makkah tapi tidak sedang di Makkah. Saya gagal bertemu wanita hebat itu. Pun suaminyi.

Bu Risma asli Pontianak tapi aslinya asli keturunan Sampang. Sedang suami keturunan Pamekasan.

Hari itu sudah tiga hari saya digelontor kambing di Jeddah. Begitu ketemu bebek Madura rasanya seperti sudah sampai di Djibouti.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini